Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah tentang pedekatan Semiotik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Pendekatan terhadap karya sastra dapat diartikan sebagai cara-cara menghampiri objek, atau jika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pendekatan berarti usaha, perihal mendekati objek. Pendekatan bertujuan untuk diposisikan sebagai pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri. Pendekatan perlu dikemukakan dan dijelaskan secara luas dan mendasar dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Adapun di dalamnya terkandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik secara teoretis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan tersebut. Pada dasarnya di dalam melakukan suatu penelitian, pendekatanlah yang terdahulu dibandingkan teori dan metode. Maka, pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, sehubungan dengan hal tersebut makalah ini akan membahas tentang pendekatan  semiotik, yaitu salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam penelitian sebuah drama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara mewujudkan pendekatan semiotik dalam drama?
2.      Apakah pengertian secara menyeluruh tentang pendekatan semiotik ?
C.    Tujuan
1.      Untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah pengkajian drama
2.      Untuk mengetahui hubungan sebuah pendekatan dengan penelitian karya sastra khususnya drama.
3.      Untuk mengetahui lebih dalam tentang pendekatan semiotik


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik atau studi tentang sistem lambang pada dasarnya merupakan lanjutan dari strukturalisme. Sebab itulah semiotik sering disebut sebagai strukturalisme semiaotik. Dengan kata lain semiotika merupakan perkembangan strukturalisme..
Secara sederhana semiotika berarti ilmu tentang tanda. Semiotika memperlajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti, yang bertujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda yang menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Kajian semiotika ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik memandang semua fenomena sosial budaya (fashion, makan, prabot, seni, desain, arsitektur, iklan, pristiwa, mobil, dan lain-lain) dapat dipahami berdasarkan modal bahasa. Dalam lingkup yang lebih luas ini fenomena sosial yang muncul dapat dianggap sebagai tanda.
Seperti dikatakan di atas bahwa semiotika merupakan lanjutan dari strukturalisme dan memang kedua teori ini tidak dapat dipisahkan. Alasannya, karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, makna, serta konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic).
1.      Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
2.      Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3.      Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.

B.     Teori Semiotik
1.      Sanders Pierce.
Sanders Pierce seorang warga kebangsaan USA mengatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Menurut Pierce tanda mengacu kepada sesuatu yang disebut dengan obyek.yang disebut dengan mengacu adalah :mewakili” atau “menggantikan”. Pierce menambahkan tanda harus dapat ditangakap agar dapat berfungsi,namun tanda hanya bisa berfungsi bila ada dasarnya (ground).
Hubungan tiga unsur tanda (obyek,ground,interprentant) disebut hubungan triadik atau segetiga pembuka. Tanda memang bersifat transindivudual hingga mampu dipahami oleh banyak orang, namun ada tanda yang bersifat individual, sehingga berfungsi setelah diinterpretasi. Pierce membagi menjadi tiga hubungan antara tanda dengan acuannya yang berbeda. Yaitu : ikon, indeks, simbol.
a.       Ikon
ikon adalah suatu tanda yang acuan dengan hubungannya memiliki kemiripan. Dalam ikon pierce membagi menjadi tiga, yaitu : ikon tipologis,yakni tanda yang acuan dengan penghubungnya memiliki kemiripan. Contoh : peta, sketsa,globe. Ikon diadramatik, yakni tanda yang memiliki kemiripan rasional. Contoh : dalam sebuah pagelaran kesenian daerah , tempat duduk sudah diatur menurut stasus sosial. Dan ikon  metaforsi, yakni tanda yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan acuannya melainkan dua acuan yang diacu oleh tanda yang sama. Contoh : dalam cerita anak si kancil, tanda “ kancil mengacu binatang kancil (sebagai acuan langsung), kemudian manusia (acuan tidak langsung) namun diantara kedua acuan ini terdapat ciri yang sama yaitu sifat cerdik.
b. Indeks
indeks adalah tanda yang dengan acuannya memiliki kelekatan esksistensi .Contoh, hari mendung menjadi tanda hujan. Gambaran suasana yang muram dalam pementasan wayang merupakan indeks tokoh sedang bersedih.
c. Simbol
simbol adalah sebuah tanda yanghubungan dengan acuannya terbentuk secara konvensional. Jadi suda ada persetujuan antara pemakai tanda tentang hubungan tanda dengan acuannya,. Misalnya, peristiwa jabat tangan, rambu lalu lintas, dan lain sebagainya.
2.      Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur       tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006)
3.      Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes menerus meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Contohnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
4.      Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yangpalsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006)
5.      J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
6.      Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
7.      Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian)

C.      Wawasan semiotik dalam studi sastra
1.    Karya sastra merupakan gejala konsumsi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.
2.    Karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
3.    Karya sastra merupakan fakta yang harus direkrontruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

D.      Kelebihan semiotik dalam menelaah karya sastra
1.    Memperindah karya sastra
2.    Mengetahui keindahan karya sastra
3.    Dalam penelitian analisisnya lebih spesifik dan komperhensif
4.    Memberikan pemahaman makna dari simbolik baru dalam membaca karya sastra
5.    Kita pembaca minimal mengetahui dua makna yaitu makna bahasa secara literlag dan maksna simbolik ( global ).

E.       Kelemahan semiotik dalam menelaah  karya sastra
1.    Kurang memperhatikan struktur, mengabaikan unsur intrinsik
2.    Memerlukan banyak dukungan ilmu bantu lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi, dll
3.    Perlu kematangan konsep luas tentang sastra wawasan luas, dan teorinya
4.    Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti, dan menguasai materi yang  akan diteliti secara totalitas, karena kalau tidak itu tidak terpenuhi maka makna yang ada dalam teks cenderung kurang tereksplor untuk diketahui oleh pembaca, justru cenderung menggunakan subjektifitasnya yang menampilkan itu semua dan itu sangat risjan untuk meneliti dengan teori ini

F.       Contoh dalam teks drama
Koor         : Jaman telah berubah. Bisnis berjalan   lancar.
Bingkai     : Jangan terlalu sempit.
Koor         : Jangan bermata sempit.
Boneka II : Benar,ini kan Cuma soal rejeki dan bagaimana mendpatkannya
Bingkai     : Berusaha dan berjuang.
Boneka II : Pakai apa?
Koor         : Sangkurrrrrr!!
Boneka II : O, seperti kodok-kodok botak berdasi            itu.
Koor         :  Benar seperti Dharma Putra yang       agung.
Bingaki     : Jangan ngelantur. Jaman telah berubah           (kepada           boneka). Sekarang            cepat katakan siapa yang        kirim                kabar kepadamu!
Boneka II :  Mimpi. Ya. Sang mimpi. (Boneka      Setengah Waras, halaman 7)
            Dari kutipan di atas, dijelaskan bahwa si tokoh (boneka II) mempunyai ambisi untuk menjatuhkan kekuasaan dari Bingkai. Sama artinya dengan kudeta yang terjadi pada masyarakat kita dari zaman ke zaman hingga kini. Secara tersirat pada adegan ini terdapat semacam usaha penghasutan yang dilakukan oleh tokoh Boneka II kepada tokoh-tokoh lain. Pada kalimat “Benar, ini kan cuma soal rejeki dan bagaimana cara mendapatkannya?” dari kalimat tersebut terlihat jelas tabiat dari boneka II yang mulai menghasut tokoh lain. Dengan kata lain kalimat tersebut menyatakan bahwa dewasa ini mempunyai taraf ekonomi yang riskan atau mengkhawatirkan, hal ini terjadi akibat kelalaian pemimpin yang tidak bertanggung jawab.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan Semiotik merupakan salah satu kritikan yang penting dan popular dalam bidang bahasa dan kesusasteraan. Pendekatan ini menggunakan prinsip-prinsip teori Semiotik sebagaiamana yang yang dikemukakan oleh beberapa orang tokoh seperti Fredinand de Saussure, Sander Pierce, Micheal Riffaterre, Umbarto Eco,  dan lain-lain.
Kajian semiotika ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik memandang semua fenomena sosial budaya (fashion, makan, prabot, seni, desain, arsitektur, iklan, pristiwa, mobil, dan lain-lain) dapat dipahami berdasarkan modal bahasa. Dalam lingkup yang lebih luas ini fenomena sosial yang muncul dapat dianggap sebagai tanda.






DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Jiwa. 1986. Notasi Tentang Novel Dan Semiotika Sastra. Jakarta : Nusa Indah
Munaf yami dkk. 2001: kajian semiotik dan mitologis terhadap masyarakat tradisional kepulauan mentawai. Jakarta : pusat bahasa departemen pendidikan nasional.
Nurhayati. 2012. Pengantar Ringkas Teori Sastra. Yogyakarta : Media Perkasa.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Jakarta : Pustaka Pelajar.

Post a Comment for "Makalah tentang pedekatan Semiotik"