Kajian Sosiopragmatik di lingkungan terminal
Berbahasa adalah aktivitas sosial.
Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia
terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama
menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan
bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan
bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan
penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan
dalam Wijana, 1996: 55).
Di dalam berbahasa juga terdapat etika
komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral.
Dalam berkomunikasi,
tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan kasar, baik
berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang
diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung
unsur kesantunan berbahasa. Di
lingkungan terminal, kita sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh
pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan
kata-kata kasar. Peneliti sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah
‘terpaksa’ memberi sejumlah persenan kepada
calo. Jika
para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang tidak sesuai
dengan keinginan para calo maka akan ada teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar
(sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan kondektur.
Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadang-kadang mereka
pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi “adu
mulut” antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh
pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.
Fenomena kebahasaan yang terjadi di terminal merupakan contoh realisasi salah satu
prinsip percakapan yaitu prinsip kesopanan. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada bahasa Indonesia.
Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu
sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga
tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang wajar untuk keduanya. Melalui penelitian ini akan dicoba melakukan telaah
terhadap tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di
lingkungan terminal yang mengandung kekasaran berbahasa dengan memperhatikan
tuturan yang dilakukan oleh mereka.
B. Rumusan Masalah:
Bagaimana realisasi
dan penyimpangan prinsip kesopanan
yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur?
C.
Pembahasan
Prinsip kesantunan
menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu
penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam
mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun
tanpa menyinggung pendengar. Prinsip
kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa)
dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan. Prinsip kesantunan berkenaan
dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial,
estetis, dan moral di dalam bertindak
tutur (Rustono, 1999: 61).
Secara umum, santun
merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan
makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara
inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa
ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu,
situasi varibel penting dalam kesantunan.
Prinsip kesantunan memiliki sejumlah
maksim, yakni Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim), Maksim Kemurahan (Generosity Maxim), Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation Maxim), Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim), Maksim Penerimaan (Approbation Maxim), dan Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) (Wijana, 1996: 55).
Berikut ini penulis
akan menganalisis tuturan langsung ketidaksantunan berbahasa di lingkungan
terminal oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Tuturan yang
dianalisis hanyalah tuturan yang melanggar prinsip kesantunan Leech.
- Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan
Dalam konteks tuturan sehari-hari yang
spontan, banyak kita jumpai pelanggaran terhadap maksim ini, baik disengaja
ataupun tidak disengaja. Seperti tuturan di bawah ini:
No Data : 01
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Kondektur : “Bang, sini saya aja yang nyupirin!”
Supir : “Nah gitu dong, gue dari tadi pegel-pegel
nih. Anjing cape juga ya cari duit?”
Kondektur : “Ya emang gini kali bang nasib kita
hahaha…”
Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kebijaksanaan,
karena telah memaksimalkan kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan
orang lain. Dari
tuturan tersebut seolah-olah memang sudah lama supir ingin digantikan menyupirnya dan ingin istirahat
karena cape, setelah lelah mencari uang. Seharusnya supir mengucapkan terima
kasih kepada kondektur yang rela membantunya. Dalam tuturan itu juga ada satu
kata kasar yakni ‘anjing’. Namun dari
jawaban kondektur sepertinya ia menerima tuturan yang dilontarkan supir. Sepertinya kondektur sudah terbiasa menerima
ucapan yang dilontarkan supir, sehingga ia menjawab bahwa sudah memang nasibnya
mencari uang itu susah dan melelahkan sambil tertawa terbahak-bahak. Tuturan
kondektur dan supir tersebut dikategorikan TIDAK
SANTUN.
No Data : 02
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Supir : “Wan, gawat dari tadi tidak
penuh-penuh?”
Calo : “Nanti juga penuh
penumpangnya.”
”Supir: “Ah, dasar bodoh
kamu, ga bener nyari penumpang!”
Tuturan ini juga termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kebijaksanaan,
Tuturan supir dan calo di atas terasa kurang enak didengar. Supir yang
menyuruh calo agar cepat-cepat mencari penumpang ke dalam angkotnya karena ia
merasa dari tadi penumpangnya belum juga penuh. Seharusnya perkataan tersebut
tidak layak diucapkan, karena supir semestinya berterima kasih sebab calo sudah
membantu mencarikan penumpang ke dalam angkotnya. Tuturan tersebut
dikategorikan ke dalam tuturan yang TIDAK
SANTUN.
- Maksim Penerimaan
Pelanggaran terhadap maksim penerimaan akan
membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya bagaimana
menghormati orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri hati.
No Data : 03
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Kondektur : Na, minjem duit ya?”
Supir : “Wah, lagi ga
punya duit sekarang, memang berapa?”
Kondektur : Anjing pelit banget kamu sih, dua
puluh ribu aja tuh!”
Supir : “Nyet, kalau saya ga punya uang gimana?
Supir : “Nyet, kalau saya ga punya uang gimana?
Kondektur : Ya udah lah
pelit benar sih kamu..”
Tuturan kondektur dan supir di atas kurang enak
didengar dan mengandung celaan getir. Tuturan kondektur dan supir tersebut melanggar Maksim Penerimaan. Pada tuturan di atas
justru meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan
diri sendiri. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
No Data : 04
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Supir : “Andri, Ekstra Jos sama rokoknya
sebungkus!”
Pedagang Asongan : “Ini mas, jadi tujuh ribu lima ratus”.
Pedagang Asongan : “Ini mas, jadi tujuh ribu lima ratus”.
Supir : “Alah…bayar mah gampang, yang penting
barangnya dulu aja!”
Pedagang Asongan : “Sekarang aja mas, saya sekarang belum ada pemasukkan”.
Pedagang Asongan : “Sekarang aja mas, saya sekarang belum ada pemasukkan”.
Supir : “Anjing lu, kaya saya ga biasa aja!”
Tuturan
antara supir dan kondektur di atas menyakiti hati dan mengandung celaan getir.
Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan. Seharusnya supir saat meminta
barang dagangan pedagang asongan ia langsung membayarnya. Tuturan ini termasuk
ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan Maksim Penerimaan, karena peserta tindak tutur telah meminimalkan kerugian
bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
3.
Pelanggaran Maksim Kemurahan
Ketika penghinaan dan pelecehan
dituturkan, maka tuturannya masuk dalam tuturan yang melanggar maksim
kemurahan. Dikatakan demikian, karena maksim kemurahan menuntut peserta
pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian
pada orang lain. Seperti tuturan berikut ini:
No Data : 05
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Kondektur : “Bang, bajunya bagus deh!”
Calo : Ya, iya mahal guwe belinya”.
Kondektur : “Hebat…hebat beli dimana bang?”
Calo : “Alah….lu ga akan mampu, emang kenapa mau
lu nyet?”
Dalam tuturan di atas jelas sekali melanggar
maksim kemurahan ini, karena kondektur bersikap sopan dan berusaha
memaksimalkan lawan tuturnya. Namun yang terjadi justru si lawan tutur yaitu
calo justru berlaku tidak sopan dengan menyombongkan diri, Calo dalam tuturan
di atas seharusnya berterima kasih telah dipuji oleh si kondektur, bukan malah
mencela kondektur dengan mengatakan bahwa kondektur tidak akan membelinya
karena tidak memiliki uang. Pada tuturan terakhir yang dituturkan oleh calo,
terdapat kata kasar yaitu ‘nyet’ yang kependekan dari monyet. Tuturan calo dan
kondektur tersebut dikategorikan TIDAK
SANTUN.
No Data : 06
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Calo : “Ris, kemaren siapa cewek yang sama kamu?”
Kondektur : “Oh itu pacar saya bang, kenapa cantik
banget yah?”
Calo : “Gila, hebat banget kau punya pacar cantik kaya gitu!”
Kondektur : “Hahaha…saya kan ganteng bang, masa cewenya jelek ga mungkin dong!”
Calo : “Anjing, lu ganteng dari Hongkong!”
Calo : “Gila, hebat banget kau punya pacar cantik kaya gitu!”
Kondektur : “Hahaha…saya kan ganteng bang, masa cewenya jelek ga mungkin dong!”
Calo : “Anjing, lu ganteng dari Hongkong!”
Kondektur pada tuturan di atas sasaran
ujarannya mengarah kepada kesombongan diri dan fisik. Tuturan antara calo dan
kondektur tersebut kurang enak didengar. Kondektur pada tuturan itu terlalu menyombongakan
dirinya sendiri. Ia merasa ganteng sehingga merasa harus memiliki pacar yang
cantik. Namun, si calo pun menimpali ucapan yang mengandung celaan dan hinaan
kepada kondektur. Dalam tuturan di atas jelas sekali melanggar maksim kemurahan, karena telah
meminimalkan rasa hormat pada orang lain, dan memaksimalkan rasa tidak hormat
pada orang lain. Tuturan tersebut juga dikategorikan ke dalam tuturan yang TIDAK SANTUN.
4.
Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati
Pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati secara terus menerus akan
membentuk stigma kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti
sosial, dan bahkan yang terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan
tuturnya, karena bagaimanapun bertransaksi komunikasi dengan orang yang selalu
melanggar maksim kerendahan hati akan sangat tidak nyaman. Seperti tuturan di
bawah ini:
No Data : 07
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Supir angkot 1 : “Diliat-liat angkot si Iwan bagus
juga yah?”
Supir angkot 2 : “Ah, itu angkot dapet minjem kali, mending punya saya jelek-jelek
gini juga punya sendiri ga dapet minjem”.
Supir angkot 1 : “Masa sih? Monyet sama dong sama
saya angkot dapet minjem hahaha..Miskin..miskin…”
Tuturan kedua supir angkot di atas mengandung kepahitan dan
olok-olok/sindiran pedas. Sasaran ujarannya mengarah kepada perbuatan. Ketika
supir angkot pertama memuji angkot temannya yang bagus, supir angkot kedua
justru sedikit merendahkan angkot temannya tersebut dengan agak menyombongkan
diri. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kerendahan Hati, karena telah meminimalkan ketidakhormatan pada
diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Tuturan tersebut
dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
5.
Pelanggaran Maksim Kecocokan
Bila komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk meminimalkan
ketidaksesuaian antara dirinya dengan yang lain. Pelaku yang menaati maksim ini
akan dicap sebagai seorang yang santun dan selalu perhatian terhadap topik yang
dibicarakan. Dalam konteks umum atau kontroversial pelaku pelanggaran terhadap
maksim ini akan mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak
berwawasan luas. Yang terburuk, lawan tutur akan merasa enggan berkomunikasi
dengannya.
No Data : 08
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Supir : “Dari pagi saya keluar, tapi cuma dapat
dua puluh ribu.”
Calo : “Ah, kata siapa pak, buktinya sekarang saya
udah dapet tujuh puluh ribu, hebat kan? Itu sih bapak aja yang bego!”
Supir : “Ah kamu, rezekinya cuma segini kali ya?”
Supir dan calo pada tuturan di atas merupakan tuturan yang kurang enak
didengar dan mengandung olok-olok atau sindiran pedas. Saat supir mengeluh
bahwa ia hanya mendapatkan penghasilan dua puluh ribu rupiah, padahal ia sudah
bekerja dari pagi hari. Calo yang diajak bicara oleh supir menjawab dengan
sangat tidak santun. Seharusnya,
calo bersikap sopan, karena yang ia hadapi saat berbicara adalah orangtua yang
seharusnya dihormati bukan sebaliknya justru diolok-olok. Bahkan supir pun
berani mengeluarkan kata kasar dengan mengucapkan kata ‘bego’. Tuturan antara
calo dan supir tesebut melanggar maksim kecocokan, karena telah meminimalkan
kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan keidakcocokan di antara mereka.
Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk
memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di
antara mereka. Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan
asertif. Tuturan supir dan calo di atas dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
No Data : 08
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Pedagang Asongan : “Enak yah jadi orang kaya
banyak uangnya, ga usah cape-cape kerja kaya kita?”
Calo : “Ah kata siapa, jadi saya juga enak tinggal
berdiri tiap hari dapet uang banyak! Emang udah nasib kamu aja udah gendut
miskin pula hahaha…”
Tuturan
antara pedagang asongan dan calo tesebut melanggar maksim kecocokan, karena
telah meminimalkan kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan keidakcocokan
di antara mereka. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur
untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan
di antara mereka. Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan
asertif. Tuturan pedagang asongan di atas dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
6.
Pelanggaran Maksim Simpati
Simpati adalah suatu model kesantunan dimana setiap pelaku tutur diwajibkan
untuk ikut memahami perasaan lawan tuturnya, terutama disaat lawan tuturnya
sedang gundah gulana karena didera oleh cobaan hidup atau musibah. Dengan
pemahaman rasa seperti ini diharapkan lawan tutur menjadi sedikit terhibur atau
merasa nyaman saat melakukan transaksi komunikasi sosial bersama sang pelaku
tutur.
No Data : 08
Hari/Tanggal : Mei 2012
Tempat : Terminal………
Pedagang Asongan 1 : “Gila, ponakan saya ga lulus
SMA! Sekarang susah mau lulus aja tuh!”
Pedagang asongan 2: “Hahaha…Kasian anak zaman
sekarang, goblok, goblok emang!”
Tuturan dua pedagang asongan di atas kurang enak didengar, mengandung
kepahitan dan olok-olok. Sasaran
ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi. Tuturan yang dituturkan
oleh pedagang asongan kedua tersebut melanggar maksim kesimpatian. Maksim
kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalakn rasa
simpati, dan meminimalkan ras antipati kepada lawan tuturnya. Tuturan pedagang
asongan tersebut justru sebaliknya. Yakni meminimalkan rasa simpati dan
memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Tuturan pedagang asongan itu
dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
D. Penutup
Setelah melakukan analisis terhadap tuturan langsung di lingkungan terminal
dan respons penutur bahasa di luar lingkungan terminal, penulis menarik
beberapa simpulan bahwa penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan,
supir dan kondektur melanggar maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim
kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian.
Pelanggaran terbesar ada pada maksim kebijaksanaan. Maksim kebijaksanaan ini
menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain
dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
E. Daftar Pustaka
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik.
Jakarta:
Universitas Indonesia.
Rustono. 1999. Pokok- Pokok
Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Penerbit Andi
Post a Comment for " Kajian Sosiopragmatik di lingkungan terminal"