Makalah Bahasa Jawa
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tindak
tutur terdapat dalam komunikasi bahasa. Tindak tutur merupakan produk dari
suatu ujaran kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil
dari komunikasi bahasa yang menentukan makna kalimat.
Seorang
penutur yang ingin mengemukakan sesuatu kepada mitra tutur, maka yang
ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat. Cara menyampaikan
makna atau maksud, penutur harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur. Tindak
tutur yang akan dipilih sangat bergantung pada beberapa faktor. Maksud
dalam tindak tutur perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak
tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan
struktur yang ada dalam bahasa itu. Penutur cenderung menggunakan bahasa
seperlunya dalam berkomunikasi.
Bahasa Jawa merupakan peninggalan leluhur yang biasa
digunakan dalam pergaulan sehari-hari masyarakat jawa. Jadi suatu tradisi, adat
istiadat/prilaku, akhlaq/budi pekerti, tempat tinggal, pergaulan, dan bahasa,
semuanya dapat dikatakan kebudayaan atau hasil budaya. Hasil budaya tersebut
dilestarikan secara turun temurun dengan berbagai cara, salah satu faktor
terpenting dalam pelestarian kebudayaan adalah bahasa.
Pada saat ini, tidak jarang kita menemui masyarakat
khususnya anak yang sudah mengabaikan tata bahasa daerah, khususnya bahasa
jawa. Komunikasi sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Jawa ngoko (kasar)
dan bahasa Indonesia. "Maka tidak mengherankan jika seorang anak atau
siswa tidak
menghargai orangtua atau gurunya lagi. Dalam
berbahasa dan bertindak-tanduk, anak-anak memperlakukan orangtua dan guru seperti
teman sebaya. Padahal, untuk menggunakan bahasa Jawa, masyarakat Jawa harus
mengikuti sopan-santun. Misalnya, bahasa Jawa ngoko digunakan untuk orang
sebaya atau orangtua terhadap anaknya, sedangkan bahasa Jawa krama, baik krama
alus maupun krama inggil digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Bahasa Jawa dalam peranan sejarahnya?
2.
Bagaiman
penggunaan bahasa Jawa dan pengelompokannya?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
sejarah bahasa Jawa di pulau Jawa.
2.
Memahami
ragam bahasa Jawa di pulau Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
- BAHASA JAWA DALAM PERANAN SEJARAHNYA
Kongres Bahasa Jawa yang diawali pada 6
Juli1991 sebagai kongres bahasa Jawa yang pertama dan diprakarsai oleh tiga
kepala daerah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dan yang ke lima dilaksanakan pada tanggal 27-30 November 2011 di Surabaya.
Bahasa Jawa adalah bahasa Ibu internasional
yang ke 11 dari 6000 bahasa ibu di dunia , menurut catatan Unesco. Para ahli
bahasa menyebut bahwa Bahasa Jawa sebagai Bahasa Nusantara Purba, kemudian
muncul pertanyaan ; mengapa tidak menggunakan istilah bahasa Indonesia Purba ?
Cladius Ptolemaeus dalam karyanya “Geographike
Hyphegesis” menulis tentang pulau Jawa pada abad II Masehi
dengan nama Chryse Chernesos artinya negeri emas atau
semenanjung emas. Nama pulau Jawa disebut pula sebagai nama sebuah
tempat Iabadiou atau pulau Jelai. Iabadiou dibaca ; ‘Yawadiwu’, Yawa bahasa
sansekerta artinya Jelai, diwu bahasa pakrit dapat pula disebut dwipa dalam
bahasa sansekerta. Meskipun Prof. Krom sendiri tidak yakin akan hal ini, tetapi
setidaknya nama Jawa sudah dapat dipahami pada masa itu.
Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal
menyebut nama Dwipa Yawa, juga dalam berita Cina menyebut nama Yeh-p’o-t’i
untuk pulau Jawa, meski beberapa sarjana menganggap” tidak harus diartikan
sebagai pulau Jawa”. Bahkan prasasti di angkor Wat menyebutkan bahwa pada
abad V Kamboja pernah diserang oleh pasukan dari kerajaan Jawa
sehingga porak poranda. Dan pada abad VII Raja Jayawarman II menyerang
kerajaan Jawa dan berhasil dengan kemenangan gemilang. Jadi nama yang dikenal
di Cina, Kamboja dan India hanya dua nama yakni Suvarnnabumi dan Yawadwipa.
Bahasa Nusantara purba adalah bahasa
Jawa tempo doeloe yaitu bahasa Jawa yang dikenal dalam
keserumpunan bahasa Melayu Purba, digunakan di Malagasi dan beberapa tempat di
daratan Asia Tenggara (Slamet Mulyana, 1964 ;18-19), yang kemudian oleh J. Crawfurd
melakukan penelitian kosakata dalam berbagai kamus mengenai bahasa-bahasa di
Austronesia, yang dibandingkan satu persatu, dengan bahasa Jawa, antara lain :
a.8000
kata Malagasi ada 140 kata yang sama dengan bahasa Jawa
b.4560
kata Selandia Baru ada 103 kata yang sama dengan bahasa Jawa
c.3000
kata Marquesas ada 70 kata yang sama dengan bahasa Jawa
d.9000
kata Tagalog ada 300 kata yang sama dengan bahasa Jawa
Bahwa angka kesamaan yang hanya sekitar 2% itu
dianggap tidak ada kesamaan dalam keserumpunan, meski demikian ada dua hal yang
patut untuk dicatat yaitu; 1) Bahwa orang Indonesia bukan berasal dari
mana-mana bahkan merupakan induk suku bangsa yang menyebar kemana-mana 2)
bahasa Jawa adalah bahasa tertua dan bahkan merupakan induk dari bahasa-bahasa Austronesia
yang lain. Dalam hal ini P.J. Veth tidak sependapat mengenai bahasa Jawa
sebagai bahasa Induk dari bahasa-bahasa Austronesia termasuk Wilhem van
Humboldt (1836) tentang tanggapannya terhadap bahasa Jawa kuna yang disebut
sebagai bahasa Kawi, yang terintervensi oleh bahasa Sansekerta (Slamet Mulyana,
1992 ; 19) , tetapi setidaknya bahasa Jawa memiliki konten yang menarik untuk
dipelajari, diteliti dan dikemukakan kepada masyarakat penutur bahasa Jawa
khususnya. Para peneliti bahasa Jawa pada saat itu hanya memelajari Serat-Serat Kasusastran Jawa sebagai bukti
peninggalan sejarah dari abad IX- XVII Masehi, sebab bahasa Jawa yang asli
sudah sulit untuk ditemukan lagi karena pada saat itu sama sekali tidak
dibukukan dalam bentuk kamus (bausastra Jawa) atau yang sejenisnya
(Poerbatjaraka, 1952 ; vii).
Nampaknya kasus yang dihadapi Bahasa Jawa
Purba tempo doeloe, adalah kehilangan saksi bisu yang berupa tradisi tulis, dan
ini sangat menyulitkan untuk melacak kesejarahan bahasa Jawa, sebelum lahirnya
bahasa kawi atau Bahasa Jawa Kuna. Barulah ketika orang-orang India masuk ke
Nusantara ini, kedua bangsa (pribumi dan migrant) ini mengadopsi tradisi
tulisan yang kemudian dikembangkan secara turun-temurun (Poerbatjaraka, 1952 ;
vii), dengan cara saling bertukar informasi dan terjadinya perkawinan antara
pribumi dan pendatang. Pada akhirnya ditentukan garis, sebagai batas waktu
penelitian sejarah kebudayaan Jawa, yakni sejak masuknya kebudayaan India ke
Austronesia (kepulauan Nusantara) dalam hal ini ke pulau Jawa. Dari sekian
perjalanan sejarah penguasaan asing di Nusantara, yang sangat dominan
pengaruhnya dalam ke-bahasa-an Jawa adalah dari Bahasa Sansekerta dan Arab,
pengaruh tersebut tidak hanya pada kosa katanya, tetapi juga dalam kaidah
paramasastra banyak sekali dipengaruhi oleh kedua bahasa tersebut. Hal ini
tentu saja tidak bisa dihindari lagi, karena hampir semua bahasa di dunia
dipengaruhi oleh kedua bahasa tersebut (Hazeu, et al., 1979 ; 111-112).
Sejarah bergulir seiring dengan perjalanan
waktu, Bahasa Jawa Purba akhirnya digantikan oleh Bahasa Jawa Kuna yang
sebagian besar dipengaruhi oleh masa pemerintahan Hindu sejak zaman dinasti
wamça Syailendra, dan wamça Sanjaya yang berturut-turut menguasai Nusantara
ini, mulai dari Rakai Mataram 732-760 M sampai Rakai Watuhumalang dipertengahan
abad IX (Sulaiman, 1980 ; 107), dengan bukti teks Jawa kuna sebelum aksara Jawa
kuna digunakan secara resmi, seperti pada prasasti Canggal 732 M, Kalasan 778
M, Karangtengah 804 M, Gandasuli 832M, Perot 850 M, Ratubaka 856 M, Pereng 864
M, Argapura 864 M maupun Salingsingan 876 M. Jarak antara peralihan Bahasa Jawa
Purba (Sundik) ke Bahasa Jawa Kuna ini pun cukup panjang, mungkin beberapa
abad, karena memang tidak ada bukti yang menandai perjalanan waktu tersebut,
seperti artefak dan sejenisnya.
Munculnya pengakuan atas kekuasaan yang pernah
menguasai pulau Jawa tertua tentang dinasti Salakanegara, yang menyatakan telah
berdiri jauh sebelum kerajaan Tarumanegara,maka setidaknya bahasa Jawa kuna
atau sebelumnya, pernah digunakan oleh orang -orang Jawa pada jaman dahoeloe kala. Jika benar apa yang ditulis dalam naskah
Wangsakarta tentang keberadaan kerajaan Salakanegara, yang pernah menggunakan
Bahasa Jawa Purba, maka setidaknya bahasa Jawa itu sudah dikenal pada masa abad
III Masehi, atau mungkin sebelum itu sekitar awal abad satu masehi.
Pengaruh budaya India
Pengaruh budaya India dalam bentuk seni patung
yang banyak ditinggalkan di Indonesia (terutama diJawa Tengah dan Jawa Timur),
memberikan bukti bahwa budaya Hindu benar-benar menguasai di negeri ini dalam
kurun waktu yang cukup lama. Dari peninggalan yang berupa; artefak, prasasti,
candi dan patung dewa-dewa termasuk patung Budha, adalah merupakan tanda bahwa
keberadaan budaya Hindu maupun Budha pernah ada dan berpengaruh besar di
Nusantara ini.
Peradaban dunia dalam tradisi bahasa tulis,
yang sudah dimulai sejak jaman Mesir kuno, yakni dengan bukti berupa pyramid
dan artefak lainnya, yang mungkin terjadi sekitar 6000 tahun yang silam. Yang
secara berangsur-angsur peradaban itu bergeser sampai ke Yunani serta mengalami
masa kejayaan ketika memasuki jaman Romawi, yang kemudian sejalan dengan proses
dinamika kehidupan, peradaban itu bergeser ke India. Padahal bagi orang India
(Hindu) sendiri sebenarnya mereka itu dibawah pengaruh orang Indo-Arya yang
datang dari Iran migrasi ke India dan banyak mempengaruhi terhadap budaya yang
dianut oleh orang India yakni Hindu termasuk dewa-dewa sampai pada penambahan
kasta yang semula hanya tiga, dengan kasta çudra sehingga menjadi empat kasta
(Cardozo, 1985 ; 3).
Ketika orang membicarakan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan Nusantara, apakah itu politik,ideology, budaya,
social ekonomi maupun pertahanan dan keamanan, maka tidak bisa melepaskan diri
dari alur sejarah yang ada di bumi Nusantara ini. Menurut para arkeolog, bahwa
sejak jaman prasejarah penduduk Nusantara ini adalah pelaut yang sanggup
mengarungi lautan lepas, hal ini sehubungan bahwa kepulauan Nusantara adalah
tergolongan Negara perairan. Meski demikian, lautan bukanlah sebagai penghalang
untuk menjalin komunikasi dengan penduduk di pedalaman pulau, sehingga
perjalanan air merupakan komoditas transportasi yang utama. Hampir seluruh
sejarah kehidupan di bumi Nusantara ini berawal dari laut ke laut, oleh sebab itu
kebudayaan di pesisir cenderung lebih maju daripada yang ada di pedalaman.
Interaksi sosial dengan antar etnis, budaya, bahasa, agama banyak didominasi
oleh penduduk pesisir.
Dalam penelitian prasejarah, benda-benda
peninggalan yang mengandung ciri yang menunjukkan hubungan interinsulair antara
kepulauan Nusantara dan Asia tenggara, adalah berupa artefak yang berbentuk
Nekara dari perunggu, dan ini dipandang sebagai sasaran penting dalam
penelitian purbakala yang dilakukan oleh para arkeolog. Yang sangat terkenal
dalam hal ini adalah Dr. F. Heger, dalam klasifikasinya bahwa Nekara dibedakan
dari tipe local dan tipe Asia Tenggara. Meskipun ada anggapan bahwa Nekara ini
dibuat di Nusantara karena memang terbukti adanya peninggalan berupa cetakan –
cetakan pengecoran logam pada jaman prasejarah, tetapi mungkin juga bahwa
Nekara itu memang dibuat dan dibawa dari daratan Asia Tenggara,seperti Nekara
di Sangeang (Poesponegoro, et al., 1984 ; 3). Dalam hal Nusantara itu diketemukan
oleh orang-orang dari daratan Asia Tenggara khususnya para pedagangdari India,
beberapa ahli berpendapat bahwa Kepulauan Nusantara telahberkembang kehidupan
masyarakatnya, sehingga memungkin orang-orang yangbermigrasi itu, akan
memperoleh manfaat yang besar dalam menjalin hubungantersebut. JC. Van Leur dan
O.W.Wolters berpendapat bahwa hubungan antara India dan Indonesia lebih dahulu
jikadibandingkan dengan hubungan Indonesia – Cina.
Meski dikatakan bahwa hubungan India dengan
Indonesia itu dianggap lebih awal,namun terdapat kesulitan untuk menentukan
ketepatan waktunya. Hal ini mengingat bahwa sumber-sumber informasi yang dapat
memberikan kejelasan secara tertulis yang berasal dari Nusantara, menurut
penelitian para ahli ternyata tidak ada. Sedangkan tulisan yang umum digunakan
di Nusantara ini justru berasal dari tulisan (aksara) India. Namun demikian
sumber-sumber di India tidak pernah membuat catatan- catatan resmi mengenai
suatu kejadian penting dalam suatu kurun waktu tertentu. Sumber yang dapat
digunakan sebagai acuan dari India hanyalah sastra, yang tentu tidak bertujuan
untuk memberikan fakta-fakta tentang keadaan awal terjadinya hubungan
bilateralantara India dan Indonesia.
Para peneliti menyebut adanya kitab ‘ Jataka’,
yang memuat kisah sang Budha dan di dalamnya menyebut tentang Suvarnnabhumi
sebagai sebuah negeri yang untuk mencapainya, memerlukanperjalanan penuh
bahaya.Tetapi Suvarnabhumi tidak identik dengan Nusantara, karena S. Levi dalam
Ptolemee le Nidessa et la Brhakatha,menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah
sebuah negeri di sebelah timur teluk Benggala. Kecuali itu ada kitab lain yaitu
Ramayana, dalam kitab tersebut menyebut nama Yawadwipa, yang dihiasi oleh tujuh
Kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas perak. Juga menyebut nama Suwarnadwipa,
yang kemudian dijadikan nama pulau Sumatera, salah satu sastra India yang oleh
para ahli dianggap dapat dipercaya adalah kitab Mahaniddesa,Levi berpendapat
bahwa keterangan geografis mengenai beberapa tempat di timur jauh yang terdapat
di dalamnya mencerminkan perbendaharaan pengetahuan di India, mengenai
tempat-tempat itu pada abad III Masehi.
Dalam usahanya untuk mengetahui awal hubungan
India dengan daerah-daerah di sebelah timurnya, para peneliti telah mengkaji
sumber-sumber barat jaman kuna (Levi, 1925 ; 29). Sebuah kitab yang dijadikan
sumber adalah Periplous tès Erythras Thalassès. Periplous adalah kitab pedoman
untuk berlayar di lautan (Erythrasa) yaitu Samudera Hindia. Diperkirakan kitab
itu ditulis pada awal tarikh Masehi (Wheatley, 1961:129). Dari beberapa sumber
yang berusaha untuk menemukan hubungan awal India dengan Nusantara baik sumber
dari India maupun sumber Barat, belum dapat mengungkapkan sepenuhnya awal
hubungan India-Nusantara. Tetapi dapat diambil kesimpulan di sekitar abad II
Masehi, dan hubungan itu relative sudah intensif.
Ketika dimunculkan pertanyaan; apa alasan
dagang orang India ke Nusantara ? oleh Coedès memberikan penjelasannya, bahwa
pada awal tarikh Masehi India mengalami defisit yang luar biasa, mereka
kehilangan sumber emas yang utama yang didatangkan dari Siberia melalui Baktria
(Yunani). Tetapi ada berbagai gerakan yang memutuskan jalur perdagangan
tersebut. Sebagai gantinya India mengimpor mata uang emas dalam jumlah besar
dari Romawi. Usaha inipun kemudian dihentikan oleh kaisar Romawi Vespasianus (69-79
M) karena, mengalirnya mata uang emas yang dalam jumlah besar keluar negeri
akan membahayakan ekonomi Negara. Kemungkinan dengan alasan inilah India
melakukan terobosan kearah timur yang telah dikenal sejak dahoeloe sebagai
penghasil emas dan perak. Jika benar teori Coedès maka hal itu akan menegaskan
bahwa tentang alasan India ke Nusantara hanyalah semata-mata soal perdagangan
saja, bukan alasan politik sebagaimana yang diajukan oleh para peneliti abad XX
(Coedes, 1968 ; 20). Perdagangan AsiaTenggara dengan India adalah perdagangan
Internasional dalam pasaran internasional pula, sehingga misi perdagangan ke
Nusantara pada saat itu tentu bukan sekedar perdagangan kecil-kecilan. Van Leur
menyebut perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang India itu misalnya; logam
mulia,jenis tenunan dan rempah-rempah, juga kayu gaharu dan cendana. Kehadiran
orang India di Asia Tenggara cukup mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia
perdagangan di Nusantara. Sedangkan unsur-unsur budaya India yang dapat
mempengaruhi dalam budaya Indonesia, peranan ini lebih dilakukan oleh para
Brahmana. Yang kedatangannya atas undangan dari para penguasa Indonesia
(Poesponegoro, et al., 1984; 24).
Berkembangnya pengaruh budaya India diNusantara
Hubungan dagang antara India dan Indonesia itu
telah berimbas pada masuknya pengaruh budaya India kedalam budaya Nusantara.
Tentang bagaimana sesungguhnya proses itu berlangsung, para ahli membagi dua
hal pokok, yaitu ;
1)
Bertolak dari anggapanbahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut
2)
Memberikan perananaktif kepada bangsa Indonesia.
Pendapat pertama menganggap telah terjadi
kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni – koloni orang India ini menjadi
pusat penyebaran budaya India. Pendapat lain mengatakan bahwa dalam kolonisasi
tersebut terjadi pula penaklukan, sehingga muncullah gambaran bahwa orang-orang
India sebagai golongan yang menguasai Nusantara. Gambaran itu menganggap bahwa
proses masuknya budaya India dipegang oleh golongan Prajurit atau kasta
Ksatria. Dalam hal ini Bosch menyebut sebagai hipotesa ksatria.
N.J. Krom berpendapat bahwa golongan ksatria
tidak sebesar golongan pedagang yang datang keIndonesia, dan kemudian menetap
di Nusantara dan memegang peranan dalam penyebaran pengaruh budaya melalui
hubungan mereka dengan penguasa-penguasa dikepulauan Nusantara. Kemungkinan
pula terjadi perkawinan dengan wanita Nusantara (Poerbatjaraka, 1952 ;viii),
perkawinan ini menjadi pengaruh penting dalam penyebaran budaya. Karena
pedagang adalah termasuk kasta vaisya, maka Bosch menyebutnya sebagai hipotesa
Vaisya. Hipotesa Krom berkesimpulan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses
pembentukan budaya Indonesia-Hindhu sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat
terjadi jika bangsa Indonesia hidup dibawah tekanan seperti yang digambarkan
dalam hipotesa ksatria.
Kedua pendapat Bosch maupun Krom kemudian
dibantah oleh Van Leur,bahwa; sebuah kolonisasi melibatkan sebuah kemenangan
dalam penaklukan oleh golongan ksatria. Catatan kemenangan atas penaklukan di
Nusantara tidak pernah ada dalam catatan resmi di India. Demikian pula di
Indonesia tidak didapati prasasti atau tanda peringatan apapun. Kecuali hal
itu, setiap kolonisasi selalu diikuti dengan pemindahan segala unsur masyarakat
dari tanah asal seperti; sistem kasta, seni, kerajinan, bentuk rumah, istiadat
dan ssbagainya. Pada kenyataanya bahwa diNusantara tak pernah ada budaya yang
sama dengan di India. Kalaupun dianggap bahwa orang-orang India menetap di
Nusantara, tidak terjadi penyebaran secara perseorangan, mereka selalu menempati
suatu kawasan tertentu, seperti halnya perkampuan Cina, perkampungan Arab,
perkampungan India. Di beberapa tempat di Indonesia masih dijumpai adanya
perkampungan Keling, yaitu suatu tempat dimana pada masa itu orang India
bertempat tinggal. Kedudukan mereka seperti layaknya rakyat biasa, mereka hanya
melakukan kegiatan perdagangan saja. Pengaruh budaya yang dibawa oleh para
pedagang ini oleh Van Leur dianggap tidak memiliki peranan yang dominan dalam
mempengaruhi penguasa di Nusantara. Tetapi ia menambahkan bahwa peranan
penyebaran budaya India dilakukan oleh tingkat Brahmana, dan mereka datang atas
undangan para penguasa di Indonesia pada saat itu. Bukti arkeologis menunjukan
bahwa pada abad V Masehi di Asia Tenggara maupun di semenanjung Melayu dari
Indonesia bagian barat telah terdapat pusat-pusat kekuasaan Politik dengan
taraf peng-India-an yang sama.
Kini Bahasa Jawa yang sudah seperti kakek tua
renta yang berjalannya terseok-seok menyandang nama keemasannya, hidup segan
mati tak mau. Agaknya inilah jawaban atas ungkapan Jawa “ ing besuk bakal
menangi Jaman Ela-Elo Cina Landa kari sajodho, wong Jawa kari separo…”
- FONEM BAHASA JAWA
Fonem adalah bunyi bahasa yang
membedakan makna.
1. Fonem
vokal
Vokal merupakan
bunyi bersuara yang dihasilkan oleh udara yang dikeluarkan dari paru-paru
melalui mulut tanpa adanya hambatan.
Fonem vokal dibedakan menjadi 3,
yaitu:
Ø Berdasarkan
posisi lidah
a.Vokal terbuka, jika lidah berada pada
posisi rendah. Misalnya bunyi [a].
b.Vokal madya, jika lidah berada pada posisi
tengah. Misalnya
bunyi [e],[ɛ],[ə],[ɔ], dan[o].
c.Vokal tinggi, jika lidah berada
pada posisi atas. Misalnya bunyi [i],[u]
Ø Berdasarkan bentuk
bibir
a. Vokal bundar, ialah jika
bentuk bibir mrmbulat. Contohnya vokal [ɔ], [u],dan[o].
b.Vokal tak bundar, ialah jika
bentuk bibir melebar. Contohnya pada bunyi[e],[ɛ],[i], dan [a].
c. Vokal netral, ialah jika
bentuk bibir tidak bulat dan tidak melebar. Contohnya adalah vokal [ɑ].
Ø Berdasarkan tingkat
pembukaan mulut
Menurut
Daniel Jones, ada delapan vokal kardinal, yng diartikulasikan dengan lidah dan
bibir pada posisi tetap, yaitu empat vokal depan dan empat vokal belakang.
Kedelapan vokal itu adalah [i], [e], [ɛ], [a], [ɑ], [ɔ], [o], dan [u]. sedangkan fonem bahsa
jawa.
Vokal bahasa jawa terdiri atas tujuh
vokal, yaitu [i], [e], [ə], [a], [ɔ], [u], dan [o]. menurut Uhlenback, bunyi [ɔ] merupakan alofon fonem [a].
Tabel vokal bahasa jawa
Depan Tak Bundar
|
Tengah Tak Bundar
|
Belakang Bundar
|
Posisi Lidah Dan Mulut
|
||
Tinggi
|
Kuat
Lemah
|
i
I
|
u
ʊ
|
Tertutup
Agak
Tertutup
Agak
Terbuka
Terbuka
|
|
Sedang
|
Kuat
Lemah
|
e
ɛ
|
ə
|
o
ͻ
|
|
Rendah
|
Kuat
Lemah
|
a
|
Fonem vokal bahasa jawa tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
§ /i/ adalah vokal
tertutup tinggi-kuat depan-takbundar yang dihasilkan dengan posisi lidah bagian
depan hampir menyentuh langit-langit dengan kedua bibir agak terentang ke
samping.
§ /e/ adalah vokal
agak tertutup sedang kuat depan-takbundar yang dihasilkan dengan daun lidah
dinaikkan dan diiringi bentuk bibir yang netral, artinya tdak terentang dan
juga tidak membundar.
§ /ə/ ialah vokal
sedang-tengah takbundar atau vokal tengah pende setengah tertutup yang
dihasilkan dengan menaikkan bagian tengah lidah dengan bentuk bibir netral.
§ /a/ ialah vokal
terbuka rendah-lemah tengah-takbundar atau vokal tengah pendek setengah terbuka
yang dihasilkan dengan biibir netral.
§ /ͻ/ yaitu vokal
agak terbuka sedang-lemah belakang-bundar atau belakang pendek terbuka yang
dihasilkan dengan bentuk bibir kurang bundar atu takbundar.
§ /o/ yaitu vokal
agak tertutup sedang-kuat belakang-bundar yang dihasilkan dengan bentuk bibir
bundar.
§ /u/ yaitu vokal
tertutup belakang-bundar tinggi-kuat yang dihasilkan dengan meninggalkan bagian
belakang lidah dengan posisi kedua bibir agak maju ke depan dan agak membundar.
Macam-macam fonem vokal
1. Vokal
/i/, terdiri dari 2 alofon :
a. i
(i jejeg)
Bunyi [i] dapat menduduki awal,
tengah, dan akhir kata. Misalnya ijab,mrica dan tari.
b. I
[I miring]
Terletak pada kata yang diakhiri konsonan.
Misalnya pada kata cacing (cacIng), wajik (wajIk)
2. Vokal
/e/
Vokal mempunyai 2 alofon, yaitu:
a. /e/
(e swara jejeg/ e taling) menduduki semua posisi baik awal, tengah, dan akhir.
Misalnya kata eman ‘sayang’, sela ‘batu’dan gule’gulai’.
b. /ɛ/ (e swara miring) terletak pada
awal dan tengah kata. Misalnya estu’jadi’, saren ’marus’ dan gepeng ’gapeng’.
3. Vokal ə
Vokal /ə/ dalam bahasa Jawa bukan
merupakan alofon fonem /e/ melainkan merupakan fonem tersendiri karena kedua
bunyi itu dalam bahasa Jawa dapat membedakan makna.
Misal:
Kere [ kere] =
miskin Kere
[kəre] = tirai bamboo
Geger [gɛgɛr]= huru
hara geger
[ gəgər]= punggung
4. Vokal
/a/
terletak di depan, tengah, dan
akhir. Contohnya
Aku laris ora
5. Vokal
/ɔ/
Bukan merupakan alofon dari /o/,
namun vokal yang berdiri sendiri. Terletaki awal, tengah, dan akhir kata.
Misal :
Amba rata ula
6. Vokal
/o/
Terletak di awal, tengah, akhir
kata. Misal : Obah coba kebo
7. Vokal
/u/
Mempunyai 2 alofon, yaitu
· u
(swara jejeg)
Terletak di awal, tengah, dan
belakang kata.
Misal:
Urip wuta madu
· u
swara miring
Barada di tengah kata.
Misal : Biyung parut pupur
Fonem Vokal
|
Alofon
|
|||
Awal
|
Tengah
|
Akhir
|
||
/i/
|
[i]
|
[iki]
|
[gilɔ]
|
[pari]
|
[I]
|
-
|
[jaIl]
|
-
|
|
/e/
|
[e]
|
[enaʔ]
|
[lele]
|
[sore]
|
[Ɛ]
|
[ƐlƐʔ]
|
[bƐbƐʔ]
|
-
|
|
/Ə/
|
[Ə]
|
[Əntup]
|
[antƏm]
|
-
|
/a/
|
[a]
|
[awaʔ]
|
[jaran]
|
[ora]
|
/ɔ/
|
[ɔ]
|
[ɔnɔ]
|
[ɔkɔl]
|
[lɔrɔ]
|
/o/
|
[o]
|
[ogaʔ]
|
[bocah]
|
[loro]
|
/u/
|
[u]
|
[urip]
|
[gulɔ]
|
[putu]
|
[ʊ]
|
-
|
[abʊh]
|
-
|
2. Fonem
konsonan
Konsonan
adalah bunyi yang timbul akibat udara yang keluar dari paru-paru melalui rongga
mulut atau rongga hidung. Udara yang keluar dari rongga hidung akan
menghasilkan bunyi sengau, sedangkan udara yang keluar dari rongga mulut akan
mengalami hambatan, geseran, dan sentuhan lidah atau bibir sesuai dengan daerah
artikulasinya.
Berdasar
daerah artikulasinya, bunyi dibedakan menjadi
Ø Bunyi bilabial, adalah
bunyi bahasa yang dihasilkan oleh kedua bibir. Menghasilkan bunyi [b] dan [p],
[m], dan [w].
Ø Bunyi dental/ alveolar,
adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh daun lidah yang menempel pada gigi/
gusi depan atas bagian dalam. Menghasilkan bunyi [d], [t], [s], [n], [r], dan
[l].
Ø Bunyi retrofleks,
adalah bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan ujung lidah bagian bawah yang
menempel atau menyentuh langit-langit keras karena hembusan udara dari
paru-paru. menghasilkan bunyi [ɖ] dan [ʈ].
Ø Bunyi palatal, adalah
bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan daun lidah yang menempel pada
langit-langit keras yang disertai hembusan udara dari paru-paru. Menghasilkan
bunyi [j], [c], [z], [ʃ], [ɲ], dann [y].
Ø Bunyi velar, adalah
bunyi yang dihasilkan oleh rongga tenggorokan. Menghasilkan bunyi [g], [k],
[x], dan [ŋ].
Ø Bunyi glotal
menghasilkan bunyi [v] dan [f]
daerah
artikulasi
cara artikulasi
|
bilabial
|
dental
|
dental
|
retrofleks
|
palatal
|
velar
|
glotal
|
|
Hambat
|
Bersuara
|
B
|
D
|
ɖ
|
j
|
g
|
||
Takbersuara
|
P
|
T
|
ʈ
|
c
|
k
|
ʔ
|
||
Frikatif
|
Bersuara
|
v*
|
z*
|
|||||
Takbersuara
|
f*
|
S
|
ʃ**
|
x
|
h
|
|||
Nasal
|
Bersuara
|
M
|
N
|
ɲ
|
ŋ
|
|||
Getar
|
Bersuara
|
R
|
||||||
Lateral
|
Bersuara
|
L
|
||||||
Semivokal
|
Bersuara
|
W
|
y
|
Tabel konsonan bahasa jawa
Penulisan tembang “mancing”
menggunakan huruf fonetik.
Mancing
Ciptaan : Momo Kepus
Vokal : 5 Garangan
Produksi : ??
Vokal : 5 Garangan
Produksi : ??
Mancing iwak, ring ketapang
Umpane urang lan kesenengan
Umpan dibuang, ring tengah segoro
Nguncalaken sumpeke pikiran
Umpane urang lan kesenengan
Umpan dibuang, ring tengah segoro
Nguncalaken sumpeke pikiran
Sopo weruh, oleh iwak
Putri duyung hang ayu pisan,
Nak sun kudang, nak sun eman
Mergane yo sing kiro kedonyan
Putri duyung hang ayu pisan,
Nak sun kudang, nak sun eman
Mergane yo sing kiro kedonyan
Aduh senenge ati, umpanisun
dipangan
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Mancing iwak, ring ketapang
Umpane urang lan kesenengan
Umpan dibuang, ring tengah segoro
Nguncalaken sumpeke pikiran
Umpane urang lan kesenengan
Umpan dibuang, ring tengah segoro
Nguncalaken sumpeke pikiran
Aduh senenge ati, umpanisun
dipangan
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Aduh senenge ati, umpanisun
dipangan
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Pada
penulisan tembang mancing di atas, masih terdapat beberapa kesalahan penulisan.
Contohnya pada kata-kata yang dicetak tebal.
Ø Kata ‘segoro’
seharusnya ditulis ‘segara’ fonetisnya ‘səgͻrͻ’.
Meskipun dibaca ‘səgͻrͻ’, tapi tidak
boleh ditulis dengan ‘segoro’ karena kata ‘segoro’ tidak memiliki arti,
sedangkan yang dimaksud dalam tembang ini adalah ‘laut’, jadi penulisan yang
benar adalah ‘segara’.
Ø Kata ‘sopo’
seharusnya ditulis ‘sapa’ fonetisnya ‘sͻpͻ’.
Kata ‘sopo’ tidak ada maknanya,
sedangkan yang dimaksud dalam tembang mancing adalah menunjuk pada orang. Kata
‘sapa’ juga dapat diartikan sebagai kata tanya untuk menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan seseorang.
Ø Kata ‘yo’ seharusnya
ditulis ‘ya’ fonetisnya ‘yͻ’.
Kata ‘yo’ bermakna ‘ayo’, sedangkan
kata ‘ya’ dapat bermakna ‘iya’. Jadi penulisan yang benar adalah ‘ya’.
Ø Kata ‘kiro’
seharusnya ditulis ‘kira’ fonetisnya ‘kirͻ’.
Kata ‘kiro’ tidak memiliki arti,
sedangkan kata ‘kira’ artinya ‘kira-kira’ atau ‘dugaan’. Jadi penulisan yang
benar adalah kata ‘kira’ dan fonetisnya adalah ‘kirͻ’.
Ø Kata ‘aduh’
seharusnya ditulis ‘adhuh’ fonetisnya ‘aɖuh’.
Apabila dituliskan ‘aduh’ maka
maknanya adalah ‘sangat jauh’. Kata ‘aduh’ berasal dari kata ‘adoh’ yang
berarti jauh. Kata ini sudah mengalami diftongisasi (pendiftongan) untuk
menyatakan intensitas. Dalam menyatakan intensitas menggunakan variasi fonem
vokal atau menambahkan kata banget atau temen yang
diletakkan di sebelah kanan kata yang akan diberi penekanan. Sehingga penulisan
yang benar adalah ‘adhuh’ yang dapat berarti sebagai kata untuk mengeluhkan
rasa sakit atau bisa pula karena terkejut. Dan dalam tembang ini yang
dimaksudkan adalah menggambarkan kata seru sebagai pendukung untuk
mengungkapkan kegembiraan.
Ø Kata ‘koyo’
seharusnya ditulis ‘kaya’ fonetisnya ‘kͻyͻ’.
Kata ‘koyo’ artinya adalah plester
yang ditempel dikulit untuk mengobati sakit, sedangkan ‘kaya’ maknanya adalah
‘seperti’ atau ‘seumpama’.
Ø Kata ‘ono’
seharusnya ditulis ‘ana’ fonetisnya ‘ͻnͻ’.
Kata ‘ono’ tidak memiliki arti
sedangkan kata ‘ana’ bermakna ‘ada’ sehingga penulisan yng benar adalah ‘ana’
dan fonetisnya adalah ‘ͻnͻ’
Kesalahan
penulisan ini terjadi karena kurangnya pemahaman dari penulis. Kebanyakan orang
menganggap bahwa penulisan Bahasa Jawa sama dengan penulisan Bahasa Indonesia.
Padahal penulisan Bahasa Jawa memiliki banyak perbedaan dengan penulisan Bahasa
Indonesia dan bahasa-bahasa yang lain. Penulisan yang salah, tentu saja akan
mempengaruhi makna dari suatu kata itu.
Penulisan fonetisnya tembang mancing
adalah sebagai berikut
Manchɪŋ
manc hɪŋ iwaʔ, rɪŋ
kəthaphaŋ
umphane uraŋ lan kəsənəŋan
umphan dhibhuwaŋ, rɪŋ thəŋah səghͻrͻ
ŋunchalakən sumphəɁe pikiran
umphane uraŋ lan kəsənəŋan
umphan dhibhuwaŋ, rɪŋ thəŋah səghͻrͻ
ŋunchalakən sumphəɁe pikiran
sͻpͻ wərʊh, olɛh iwaʔ
puthri ɖhuyʊŋ haŋ ayu phisan,
nak sʊn kudhaŋ, nak sʊn eman
mərghane yͻ sɪŋ kirͻ kədhoɲan
puthri ɖhuyʊŋ haŋ ayu phisan,
nak sʊn kudhaŋ, nak sʊn eman
mərghane yͻ sɪŋ kirͻ kədhoɲan
aɖhuh sənəŋe athi,
umphanisʊn dhiphaŋan
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
manc hɪŋ iwaʔ, rɪŋ
kəthaphaŋ
umphane uraŋ lan kəsənəŋan
umphan dhibhuwaŋ, rɪŋ thəŋah səghͻrͻ
ŋunchalakən sumphəɁe pikiran
umphane uraŋ lan kəsənəŋan
umphan dhibhuwaŋ, rɪŋ thəŋah səghͻrͻ
ŋunchalakən sumphəɁe pikiran
aɖhuh sənəŋe athi,
umphanisʊn dhiphaŋan
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
aɖhuh sənəŋe athi,
umphanisʊn dhiphaŋan
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
- PENERAPAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA
Bahasa
Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau undha-usuk
basa atau unggah-ungguh basa. Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa
merupakan adat sopan santun berbahasa Jawa. Adat sopan santun ini mencerminkan
perilaku kebahasaan yang sebenarnya juga tercermin dari perilaku masyarakat.
a.
Ngoko
Ragam
bahasa Jawa ngoko digunakan untuk penutur dan mitra tutur yang mempunyai
kedudukan yang akrab atau kedudukan mitra tutur lebih tinggi daripada penutur.
Data berikut mengacu pada bentuk ngoko :
Abd
(Pt) : lho kene, dipendhem kene.
:
sini, dikubur sini.
Abd
(Mt) : Pendhemen neng njero kuwi.
: dikubur di dalam itu.
Abd
(Pt) : suketmu kuwi lho.
:
rumputmu itu.
b.
Madya
Ragam
bahasa Jawa madya merupakan tataran menengah yang terletak di antara ragam
ngoko dan krama. Data yang menggambarkan ragam bahasa Jawa madya adalah sebagai
berikut:
Abd (Pt) : Kula niko madosi mboten ketemu kampunge?
Abd (Pt) : Kula niko madosi mboten ketemu kampunge?
: Saya dulu mencari kampungnya tidak
ketemu?
Abd
(Mt) : Putu.
: Putu
Abd
(Pt) : Kalih jembatan
mbacem niko? Ler nopo Kidule?
: sama jembatan mbacem itu? Utara atau
selatan?
Abd
(Mt) : Nggen kidul
niko terus ngetan.
:
sebelah selatan itu terus ke Timur.
c.
Krama
Ragam
krama digunakan untuk menunjukkan adanya penghormatan kepada mitratutur yang
mempunyai kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi daripada penutur. Contoh
data yang ditemukan adalah sebagai berikut:
Abd
(Pt) : Kartipradja pun
enten tanggalane dereng?
: Kartipradja sudah ada kelandernya
belum?
Abd
(Mt) : Menawi kula piyambak dereng saweg
sumerep.
: kalau saya sendiri belum melihat.
Abd
(Pt) : Kalawingi pun
tak keke. Penjenengan teng kantor mboten?
: kemarin sudah saya berikan. Kamu ke
kantor tidak?
Abd
(Mt) : Nggih.
: Ya
Abd
(Pt) :Niki ngge
Kartipradja, Yogiswara, Pasiten, Mandrabudaya
:
Ini untuk Kartipradja, Yogiswara, Pasiten, Mandrabudaya.
d.
Krama
Inggil
Bahasa
Jawa ragam krama dengan leksikon krama inggil digunakan untuk menunjukkan
penghormatan kepada mitratutur. Di bawah ini adalah contoh data yang
menggunakan bahasa Jawa ragam krama inggil sebagai berikut:
Abd (Pt) ;Gusti, kulawingi adalem dipuntimbali marak Sampeyandalem dhawuhdalem nimbali Pengageng sarta Wakil
Pengageng bebadan kadhawuhan nderek nampi tamu saking Malaysia.
;Gusti, kemarin saya dipanggil menghadap Raja diperintahkan
memanggil Pimpinan dan Wakil Pimpinan mendapat tugasmenerima tamu dari
Malaysia.
Ptd
(Mt) : Nggih
njeng, penjenengan damelke dhawuh.
;Ya, njeng, kamu buatkan surat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
penulisan Bahasa Jawa yang masih sering mengalami kesalahan, disebabkan oleh
kurang pahamnya masyarakat terhadap penulisan bahasanya sendiri. Dalam suatu
bahasa yang serumpun, penulisan yang berbeda pada suatu kata akan memengaruhi
makna dari suatu kata itu. Apabila penulisan kata itu berbeda, maka maknanya
tentu saja berbeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa penulisan yang berbeda akan
memengaruhi makna yang terkandung dalam suatu kata tersebut.
B.
Saran
Penulisan
bahasa jawa masih sering mengalami kesalahan, terutama dalam menuliskan bunyi
/a/, masyarakat justru menggunakan bunyi /o/. Selain itu, masyarakat juga
sering salah dalam menuliskan /dh/ menjadi /d/. Dalam menuliskan Bahasa Jawa
harus teliti agar tidak terjadi kesalahan tulisan yang menyebabkan berubahnya
makna. Masyarakat perlu diberi pemahaman lebih agar mereka mengerti tentang
fonem-fonem Bahasa Jawa sehingga mereka tidak akan salah dalam menulis
berbahasa jawa. Masyarakat harusnya juga lebih peka terhadap fonem-fonem bahasa
jawa yang beragam dan berbeda dari bahasa-bahasa yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
S.
S. T. Wisnu Sasangka, 2007. UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA. Jakarta: Yayasan
Paramalingua
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu.
2011. Bunyi-Bunyi Distingtif Bahasa Jawa.Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Balai Bahasa Yogyakarta. 2000. Kamus
Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius
Post a Comment for "Makalah Bahasa Jawa"