Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Bahasa Jawa

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tindak tutur terdapat dalam komunikasi bahasa. Tindak tutur merupakan produk dari suatu ujaran kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa yang menentukan makna kalimat.
Seorang penutur yang ingin mengemukakan sesuatu kepada mitra tutur, maka yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat. Cara menyampaikan makna atau maksud, penutur harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan dipilih sangat bergantung pada beberapa faktor. Maksud dalam tindak tutur  perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu. Penutur cenderung menggunakan bahasa seperlunya dalam berkomunikasi.
Bahasa Jawa merupakan peninggalan leluhur yang biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari masyarakat jawa. Jadi suatu tradisi, adat istiadat/prilaku, akhlaq/budi pekerti, tempat tinggal, pergaulan, dan bahasa, semuanya dapat dikatakan kebudayaan atau hasil budaya. Hasil budaya tersebut dilestarikan secara turun temurun dengan berbagai cara, salah satu faktor terpenting dalam pelestarian kebudayaan adalah bahasa.
Pada saat ini, tidak jarang kita menemui masyarakat khususnya anak yang sudah mengabaikan tata bahasa daerah, khususnya bahasa jawa. Komunikasi sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Jawa ngoko (kasar) dan bahasa Indonesia. "Maka tidak mengherankan jika seorang anak atau siswa tidak menghargai orangtua atau gurunya lagi. Dalam berbahasa dan bertindak-tanduk, anak-anak memperlakukan orangtua dan guru seperti teman sebaya. Padahal, untuk menggunakan bahasa Jawa, masyarakat Jawa harus mengikuti sopan-santun. Misalnya, bahasa Jawa ngoko digunakan untuk orang sebaya atau orangtua terhadap anaknya, sedangkan bahasa Jawa krama, baik krama alus maupun krama inggil digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Bahasa Jawa dalam peranan sejarahnya?
2.      Bagaiman penggunaan bahasa Jawa dan pengelompokannya?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui sejarah bahasa Jawa di pulau Jawa.
2.      Memahami ragam bahasa Jawa di pulau Jawa.



BAB II
PEMBAHASAN


  1. BAHASA JAWA DALAM PERANAN SEJARAHNYA

Kongres Bahasa Jawa yang diawali pada 6 Juli1991 sebagai kongres bahasa Jawa yang pertama dan diprakarsai oleh tiga kepala daerah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan yang ke lima dilaksanakan pada tanggal 27-30 November 2011 di Surabaya.
Bahasa Jawa adalah bahasa Ibu internasional yang ke 11 dari 6000 bahasa ibu di dunia , menurut catatan Unesco. Para ahli bahasa menyebut bahwa Bahasa Jawa sebagai Bahasa Nusantara Purba, kemudian muncul pertanyaan ; mengapa tidak menggunakan istilah bahasa Indonesia Purba ?
Cladius Ptolemaeus dalam karyanya “Geographike Hyphegesis” menulis tentang pulau Jawa pada  abad II Masehi dengan nama Chryse Chernesos artinya  negeri emas atau semenanjung emas. Nama pulau Jawa disebut pula sebagai nama sebuah tempat  Iabadiou atau pulau Jelai. Iabadiou dibaca ; ‘Yawadiwu’, Yawa bahasa sansekerta artinya Jelai, diwu bahasa pakrit dapat pula disebut dwipa dalam bahasa sansekerta. Meskipun Prof. Krom sendiri tidak yakin akan hal ini, tetapi setidaknya nama Jawa sudah dapat dipahami pada masa itu.
Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal menyebut nama Dwipa Yawa, juga dalam berita Cina menyebut nama Yeh-p’o-t’i untuk pulau Jawa, meski beberapa sarjana menganggap” tidak harus diartikan sebagai pulau Jawa”. Bahkan prasasti di angkor Wat menyebutkan bahwa pada abad  V Kamboja pernah diserang oleh pasukan  dari kerajaan Jawa sehingga porak poranda. Dan pada abad VII  Raja Jayawarman II menyerang kerajaan Jawa dan berhasil dengan kemenangan gemilang. Jadi nama yang dikenal di Cina, Kamboja dan India hanya dua nama yakni Suvarnnabumi dan Yawadwipa.
Bahasa Nusantara purba adalah bahasa Jawa tempo doeloe yaitu bahasa Jawa yang dikenal dalam keserumpunan bahasa Melayu Purba, digunakan di Malagasi dan beberapa tempat di daratan Asia Tenggara (Slamet Mulyana, 1964 ;18-19), yang kemudian oleh J. Crawfurd melakukan penelitian kosakata dalam berbagai kamus mengenai bahasa-bahasa di Austronesia, yang dibandingkan satu persatu, dengan bahasa Jawa, antara lain :
a.8000 kata Malagasi ada 140 kata yang sama dengan bahasa Jawa
b.4560 kata Selandia Baru ada 103 kata yang sama dengan bahasa Jawa
c.3000 kata Marquesas ada 70 kata yang sama dengan bahasa Jawa
d.9000 kata Tagalog ada 300 kata yang sama dengan bahasa Jawa
Bahwa angka kesamaan yang hanya sekitar 2% itu dianggap tidak ada kesamaan dalam keserumpunan, meski demikian ada dua hal yang patut untuk dicatat yaitu; 1) Bahwa orang Indonesia bukan berasal dari mana-mana bahkan merupakan induk suku bangsa yang menyebar kemana-mana 2) bahasa Jawa adalah bahasa tertua dan bahkan merupakan induk dari bahasa-bahasa Austronesia yang lain. Dalam hal ini P.J. Veth tidak sependapat mengenai bahasa Jawa sebagai bahasa Induk dari bahasa-bahasa Austronesia termasuk Wilhem van Humboldt (1836) tentang tanggapannya terhadap bahasa Jawa kuna yang disebut sebagai bahasa Kawi, yang terintervensi oleh bahasa Sansekerta (Slamet Mulyana, 1992 ; 19) , tetapi setidaknya bahasa Jawa memiliki konten yang menarik untuk dipelajari, diteliti dan dikemukakan kepada masyarakat penutur bahasa Jawa khususnya. Para peneliti bahasa Jawa pada saat itu hanya memelajari Serat-Serat Kasusastran Jawa sebagai bukti peninggalan sejarah dari abad IX- XVII Masehi, sebab bahasa Jawa yang asli sudah sulit untuk ditemukan lagi karena pada saat itu sama sekali tidak dibukukan dalam bentuk kamus (bausastra Jawa) atau yang sejenisnya (Poerbatjaraka, 1952 ; vii).
Nampaknya kasus yang dihadapi Bahasa Jawa Purba tempo doeloe, adalah kehilangan saksi bisu yang berupa tradisi tulis, dan ini sangat menyulitkan untuk melacak kesejarahan bahasa Jawa, sebelum lahirnya bahasa kawi atau Bahasa Jawa Kuna. Barulah ketika orang-orang India masuk ke Nusantara ini, kedua bangsa (pribumi dan migrant) ini mengadopsi tradisi tulisan yang kemudian dikembangkan secara turun-temurun (Poerbatjaraka, 1952 ; vii), dengan cara saling bertukar informasi dan terjadinya perkawinan antara pribumi dan pendatang. Pada akhirnya ditentukan garis, sebagai batas waktu penelitian sejarah kebudayaan Jawa, yakni sejak masuknya kebudayaan India ke Austronesia (kepulauan Nusantara) dalam hal ini ke pulau Jawa. Dari sekian perjalanan sejarah penguasaan asing di Nusantara, yang sangat dominan pengaruhnya dalam ke-bahasa-an Jawa adalah dari Bahasa Sansekerta dan Arab, pengaruh tersebut tidak hanya pada kosa katanya, tetapi juga dalam kaidah paramasastra banyak sekali dipengaruhi oleh kedua bahasa tersebut. Hal ini tentu saja tidak bisa dihindari lagi, karena hampir semua bahasa di dunia dipengaruhi oleh kedua bahasa tersebut (Hazeu, et al., 1979 ; 111-112).
Sejarah bergulir seiring dengan perjalanan waktu, Bahasa Jawa Purba akhirnya digantikan oleh Bahasa Jawa Kuna yang sebagian besar dipengaruhi oleh masa pemerintahan Hindu sejak zaman dinasti wamça Syailendra, dan wamça Sanjaya yang berturut-turut menguasai Nusantara ini, mulai dari Rakai Mataram 732-760 M sampai Rakai Watuhumalang dipertengahan abad IX (Sulaiman, 1980 ; 107), dengan bukti teks Jawa kuna sebelum aksara Jawa kuna digunakan secara resmi, seperti pada prasasti Canggal 732 M, Kalasan 778 M, Karangtengah 804 M, Gandasuli 832M, Perot 850 M, Ratubaka 856 M, Pereng 864 M, Argapura 864 M maupun Salingsingan 876 M. Jarak antara peralihan Bahasa Jawa Purba (Sundik) ke Bahasa Jawa Kuna ini pun cukup panjang, mungkin beberapa abad, karena memang tidak ada bukti yang menandai perjalanan waktu tersebut, seperti artefak dan sejenisnya.
Munculnya pengakuan atas kekuasaan yang pernah menguasai pulau Jawa tertua tentang dinasti Salakanegara, yang menyatakan telah berdiri jauh sebelum kerajaan Tarumanegara,maka setidaknya bahasa Jawa kuna atau sebelumnya, pernah digunakan oleh orang -orang Jawa pada jaman dahoeloe kala. Jika benar apa yang ditulis dalam naskah Wangsakarta tentang keberadaan kerajaan Salakanegara, yang pernah menggunakan Bahasa Jawa Purba, maka setidaknya bahasa Jawa itu sudah dikenal pada masa abad III Masehi, atau mungkin sebelum itu sekitar awal abad satu masehi.
Pengaruh budaya India

Pengaruh budaya India dalam bentuk seni patung yang banyak ditinggalkan di Indonesia (terutama diJawa Tengah dan Jawa Timur), memberikan bukti bahwa budaya Hindu benar-benar menguasai di negeri ini dalam kurun waktu yang cukup lama. Dari peninggalan yang berupa; artefak, prasasti, candi dan patung dewa-dewa termasuk patung Budha, adalah merupakan tanda bahwa keberadaan budaya Hindu maupun Budha pernah ada dan berpengaruh besar di Nusantara ini.
Peradaban dunia dalam tradisi bahasa tulis, yang sudah dimulai sejak jaman Mesir kuno, yakni dengan bukti berupa pyramid dan artefak lainnya, yang mungkin terjadi sekitar 6000 tahun yang silam. Yang secara berangsur-angsur peradaban itu bergeser sampai ke Yunani serta mengalami masa kejayaan ketika memasuki jaman Romawi, yang kemudian sejalan dengan proses dinamika kehidupan, peradaban itu bergeser ke India. Padahal bagi orang India (Hindu) sendiri sebenarnya mereka itu dibawah pengaruh orang Indo-Arya yang datang dari Iran migrasi ke India dan banyak mempengaruhi terhadap budaya yang dianut oleh orang India yakni Hindu termasuk dewa-dewa sampai pada penambahan kasta yang semula hanya tiga, dengan kasta çudra sehingga menjadi empat kasta (Cardozo, 1985 ; 3).
Ketika orang membicarakan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nusantara, apakah itu politik,ideology, budaya, social ekonomi maupun pertahanan dan keamanan, maka tidak bisa melepaskan diri dari alur sejarah yang ada di bumi Nusantara ini. Menurut para arkeolog, bahwa sejak jaman prasejarah penduduk Nusantara ini adalah pelaut yang sanggup mengarungi lautan lepas, hal ini sehubungan bahwa kepulauan Nusantara adalah tergolongan Negara perairan. Meski demikian, lautan bukanlah sebagai penghalang untuk menjalin komunikasi dengan penduduk di pedalaman pulau, sehingga perjalanan air merupakan komoditas transportasi yang utama. Hampir seluruh sejarah kehidupan di bumi Nusantara ini berawal dari laut ke laut, oleh sebab itu kebudayaan di pesisir cenderung lebih maju daripada yang ada di pedalaman. Interaksi sosial dengan antar etnis, budaya, bahasa, agama banyak didominasi oleh penduduk pesisir.
Dalam penelitian prasejarah, benda-benda peninggalan yang mengandung ciri yang menunjukkan hubungan interinsulair antara kepulauan Nusantara dan Asia tenggara, adalah berupa artefak yang berbentuk Nekara dari perunggu, dan ini dipandang sebagai sasaran penting dalam penelitian purbakala yang dilakukan oleh para arkeolog. Yang sangat terkenal dalam hal ini adalah Dr. F. Heger, dalam klasifikasinya bahwa Nekara dibedakan dari tipe local dan tipe Asia Tenggara. Meskipun ada anggapan bahwa Nekara ini dibuat di Nusantara karena memang terbukti adanya peninggalan berupa cetakan – cetakan pengecoran logam pada jaman prasejarah, tetapi mungkin juga bahwa Nekara itu memang dibuat dan dibawa dari daratan Asia Tenggara,seperti Nekara di Sangeang (Poesponegoro, et al., 1984 ; 3). Dalam hal Nusantara itu diketemukan oleh orang-orang dari daratan Asia Tenggara khususnya para pedagangdari India, beberapa ahli berpendapat bahwa Kepulauan Nusantara telahberkembang kehidupan masyarakatnya, sehingga memungkin orang-orang yangbermigrasi itu, akan memperoleh manfaat yang besar dalam menjalin hubungantersebut. JC. Van Leur dan O.W.Wolters berpendapat bahwa hubungan antara India dan Indonesia lebih dahulu jikadibandingkan dengan hubungan Indonesia – Cina.
Meski dikatakan bahwa hubungan India dengan Indonesia itu dianggap lebih awal,namun terdapat kesulitan untuk menentukan ketepatan waktunya. Hal ini mengingat bahwa sumber-sumber informasi yang dapat memberikan kejelasan secara tertulis yang berasal dari Nusantara, menurut penelitian para ahli ternyata tidak ada. Sedangkan tulisan yang umum digunakan di Nusantara ini justru berasal dari tulisan (aksara) India. Namun demikian sumber-sumber di India tidak pernah membuat catatan- catatan resmi mengenai suatu kejadian penting dalam suatu kurun waktu tertentu. Sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dari India hanyalah sastra, yang tentu tidak bertujuan untuk memberikan fakta-fakta tentang keadaan awal terjadinya hubungan bilateralantara India dan Indonesia.
Para peneliti menyebut adanya kitab ‘ Jataka’, yang memuat kisah sang Budha dan di dalamnya menyebut tentang Suvarnnabhumi sebagai sebuah negeri yang untuk mencapainya, memerlukanperjalanan penuh bahaya.Tetapi Suvarnabhumi tidak identik dengan Nusantara, karena S. Levi dalam Ptolemee le Nidessa et la Brhakatha,menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebuah negeri di sebelah timur teluk Benggala. Kecuali itu ada kitab lain yaitu Ramayana, dalam kitab tersebut menyebut nama Yawadwipa, yang dihiasi oleh tujuh Kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas perak. Juga menyebut nama Suwarnadwipa, yang kemudian dijadikan nama pulau Sumatera, salah satu sastra India yang oleh para ahli dianggap dapat dipercaya adalah kitab Mahaniddesa,Levi berpendapat bahwa keterangan geografis mengenai beberapa tempat di timur jauh yang terdapat di dalamnya mencerminkan perbendaharaan pengetahuan di India, mengenai tempat-tempat itu pada abad III Masehi.
Dalam usahanya untuk mengetahui awal hubungan India dengan daerah-daerah di sebelah timurnya, para peneliti telah mengkaji sumber-sumber barat jaman kuna (Levi, 1925 ; 29). Sebuah kitab yang dijadikan sumber adalah Periplous tès Erythras Thalassès. Periplous adalah kitab pedoman untuk berlayar di lautan (Erythrasa) yaitu Samudera Hindia. Diperkirakan kitab itu ditulis pada awal tarikh Masehi (Wheatley, 1961:129). Dari beberapa sumber yang berusaha untuk menemukan hubungan awal India dengan Nusantara baik sumber dari India maupun sumber Barat, belum dapat mengungkapkan sepenuhnya awal hubungan India-Nusantara. Tetapi dapat diambil kesimpulan di sekitar abad II Masehi, dan hubungan itu relative sudah intensif.
Ketika dimunculkan pertanyaan; apa alasan dagang orang India ke Nusantara ? oleh Coedès memberikan penjelasannya, bahwa pada awal tarikh Masehi India mengalami defisit yang luar biasa, mereka kehilangan sumber emas yang utama yang didatangkan dari Siberia melalui Baktria (Yunani). Tetapi ada berbagai gerakan yang memutuskan jalur perdagangan tersebut. Sebagai gantinya India mengimpor mata uang emas dalam jumlah besar dari Romawi. Usaha inipun kemudian dihentikan oleh kaisar Romawi Vespasianus (69-79 M) karena, mengalirnya mata uang emas yang dalam jumlah besar keluar negeri akan membahayakan ekonomi Negara. Kemungkinan dengan alasan inilah India melakukan terobosan kearah timur yang telah dikenal sejak dahoeloe sebagai penghasil emas dan perak. Jika benar teori Coedès maka hal itu akan menegaskan bahwa tentang alasan India ke Nusantara hanyalah semata-mata soal perdagangan saja, bukan alasan politik sebagaimana yang diajukan oleh para peneliti abad XX (Coedes, 1968 ; 20). Perdagangan AsiaTenggara dengan India adalah perdagangan Internasional dalam pasaran internasional pula, sehingga misi perdagangan ke Nusantara pada saat itu tentu bukan sekedar perdagangan kecil-kecilan. Van Leur menyebut perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang India itu misalnya; logam mulia,jenis tenunan dan rempah-rempah, juga kayu gaharu dan cendana. Kehadiran orang India di Asia Tenggara cukup mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia perdagangan di Nusantara. Sedangkan unsur-unsur budaya India yang dapat mempengaruhi dalam budaya Indonesia, peranan ini lebih dilakukan oleh para Brahmana. Yang kedatangannya atas undangan dari para penguasa Indonesia (Poesponegoro, et al., 1984; 24).

Berkembangnya pengaruh budaya India diNusantara

Hubungan dagang antara India dan Indonesia itu telah berimbas pada masuknya pengaruh budaya India kedalam budaya Nusantara. Tentang bagaimana sesungguhnya proses itu berlangsung, para ahli membagi dua hal pokok, yaitu ;
1) Bertolak dari anggapanbahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut
2) Memberikan perananaktif kepada bangsa Indonesia.
Pendapat pertama menganggap telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni – koloni orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India. Pendapat lain mengatakan bahwa dalam kolonisasi tersebut terjadi pula penaklukan, sehingga muncullah gambaran bahwa orang-orang India sebagai golongan yang menguasai Nusantara. Gambaran itu menganggap bahwa proses masuknya budaya India dipegang oleh golongan Prajurit atau kasta Ksatria. Dalam hal ini Bosch menyebut sebagai hipotesa ksatria.
N.J. Krom berpendapat bahwa golongan ksatria tidak sebesar golongan pedagang yang datang keIndonesia, dan kemudian menetap di Nusantara dan memegang peranan dalam penyebaran pengaruh budaya melalui hubungan mereka dengan penguasa-penguasa dikepulauan Nusantara. Kemungkinan pula terjadi perkawinan dengan wanita Nusantara (Poerbatjaraka, 1952 ;viii), perkawinan ini menjadi pengaruh penting dalam penyebaran budaya. Karena pedagang adalah termasuk kasta vaisya, maka Bosch menyebutnya sebagai hipotesa Vaisya. Hipotesa Krom berkesimpulan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan budaya Indonesia-Hindhu sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat terjadi jika bangsa Indonesia hidup dibawah tekanan seperti yang digambarkan dalam hipotesa ksatria.
Kedua pendapat Bosch maupun Krom kemudian dibantah oleh Van Leur,bahwa; sebuah kolonisasi melibatkan sebuah kemenangan dalam penaklukan oleh golongan ksatria. Catatan kemenangan atas penaklukan di Nusantara tidak pernah ada dalam catatan resmi di India. Demikian pula di Indonesia tidak didapati prasasti atau tanda peringatan apapun. Kecuali hal itu, setiap kolonisasi selalu diikuti dengan pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal seperti; sistem kasta, seni, kerajinan, bentuk rumah, istiadat dan ssbagainya. Pada kenyataanya bahwa diNusantara tak pernah ada budaya yang sama dengan di India. Kalaupun dianggap bahwa orang-orang India menetap di Nusantara, tidak terjadi penyebaran secara perseorangan, mereka selalu menempati suatu kawasan tertentu, seperti halnya perkampuan Cina, perkampungan Arab, perkampungan India. Di beberapa tempat di Indonesia masih dijumpai adanya perkampungan Keling, yaitu suatu tempat dimana pada masa itu orang India bertempat tinggal. Kedudukan mereka seperti layaknya rakyat biasa, mereka hanya melakukan kegiatan perdagangan saja. Pengaruh budaya yang dibawa oleh para pedagang ini oleh Van Leur dianggap tidak memiliki peranan yang dominan dalam mempengaruhi penguasa di Nusantara. Tetapi ia menambahkan bahwa peranan penyebaran budaya India dilakukan oleh tingkat Brahmana, dan mereka datang atas undangan para penguasa di Indonesia pada saat itu. Bukti arkeologis menunjukan bahwa pada abad V Masehi di Asia Tenggara maupun di semenanjung Melayu dari Indonesia bagian barat telah terdapat pusat-pusat kekuasaan Politik dengan taraf peng-India-an yang sama.
Kini Bahasa Jawa yang sudah seperti kakek tua renta yang berjalannya terseok-seok menyandang nama keemasannya, hidup segan mati tak mau. Agaknya  inilah jawaban atas ungkapan Jawa “ ing besuk bakal menangi Jaman Ela-Elo Cina Landa kari sajodho, wong Jawa kari separo…”

  1. FONEM BAHASA JAWA

Fonem adalah bunyi bahasa yang membedakan makna.
1.      Fonem vokal
Vokal merupakan bunyi bersuara yang dihasilkan oleh udara yang dikeluarkan dari paru-paru melalui mulut tanpa adanya hambatan.
Fonem vokal dibedakan menjadi 3, yaitu:
Ø  Berdasarkan posisi lidah
a.Vokal terbuka, jika lidah berada pada posisi  rendah. Misalnya bunyi [a].
b.Vokal madya, jika lidah berada pada posisi tengah. Misalnya bunyi [e],[ɛ],[ə],[ɔ], dan[o].
c.Vokal tinggi, jika lidah berada pada posisi atas. Misalnya bunyi [i],[u]

Ø  Berdasarkan bentuk bibir
a. Vokal bundar, ialah jika bentuk bibir mrmbulat. Contohnya vokal [ɔ], [u],dan[o].
b.Vokal tak bundar, ialah jika bentuk bibir melebar. Contohnya pada bunyi[e],[ɛ],[i], dan [a].
c. Vokal netral, ialah jika bentuk bibir tidak bulat dan tidak melebar. Contohnya adalah vokal [ɑ].
Ø  Berdasarkan tingkat pembukaan mulut

Menurut Daniel Jones, ada delapan vokal kardinal, yng diartikulasikan dengan lidah dan bibir pada posisi tetap, yaitu empat vokal depan dan empat vokal belakang. Kedelapan vokal itu adalah [i], [e], [ɛ], [a], [ɑ], [ɔ], [o], dan [u]. sedangkan fonem bahsa jawa.
Vokal bahasa jawa terdiri atas tujuh vokal, yaitu [i], [e], [ə], [a], ], [u], dan [o]. menurut Uhlenback, bunyi [ɔ] merupakan alofon fonem [a].

Tabel vokal bahasa jawa


Depan Tak Bundar
Tengah Tak Bundar
Belakang Bundar
Posisi Lidah Dan Mulut
Tinggi
Kuat

Lemah
i

I

u

ʊ
Tertutup

Agak
Tertutup

Agak
Terbuka

Terbuka
Sedang
Kuat

Lemah
e

ɛ

ə
o

ͻ
Rendah
Kuat

Lemah



a


Fonem vokal bahasa jawa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
§ /i/ adalah vokal tertutup tinggi-kuat depan-takbundar yang dihasilkan dengan posisi lidah bagian depan hampir menyentuh langit-langit dengan kedua bibir agak terentang ke samping.
§ /e/ adalah vokal agak tertutup sedang kuat depan-takbundar yang dihasilkan dengan daun lidah dinaikkan dan diiringi bentuk bibir yang netral, artinya tdak terentang dan juga tidak membundar.
§ /ə/ ialah vokal sedang-tengah takbundar atau vokal tengah pende setengah tertutup yang dihasilkan dengan menaikkan bagian tengah lidah dengan bentuk bibir netral.
§ /a/ ialah vokal terbuka rendah-lemah tengah-takbundar atau vokal tengah pendek setengah terbuka yang dihasilkan dengan biibir netral.
§ /ͻ/ yaitu vokal agak terbuka sedang-lemah belakang-bundar atau belakang pendek terbuka yang dihasilkan dengan bentuk bibir kurang bundar atu takbundar.
§ /o/ yaitu vokal agak tertutup sedang-kuat belakang-bundar yang dihasilkan dengan bentuk bibir bundar.
§ /u/ yaitu vokal tertutup belakang-bundar tinggi-kuat yang dihasilkan dengan meninggalkan bagian belakang lidah dengan posisi kedua bibir agak maju ke depan dan agak membundar.

Macam-macam fonem vokal
1.      Vokal /i/, terdiri dari 2 alofon :
a.        i (i jejeg)
Bunyi [i] dapat menduduki awal, tengah, dan akhir kata. Misalnya ijab,mrica dan tari.
b.      I [I miring]
Terletak pada kata yang diakhiri konsonan. Misalnya pada kata cacing (cacIng), wajik (wajIk)
2.      Vokal /e/
Vokal mempunyai 2 alofon, yaitu:
a.      /e/ (e swara jejeg/ e taling) menduduki semua posisi baik awal, tengah, dan akhir. Misalnya kata eman ‘sayang’, sela ‘batu’dan gule’gulai’.
b.      /ɛ/ (e swara miring) terletak pada awal dan tengah kata. Misalnya estu’jadi’, saren ’marus’ dan gepeng ’gapeng’.
3.      Vokal ə
Vokal /ə/ dalam bahasa Jawa bukan merupakan alofon fonem /e/ melainkan merupakan fonem tersendiri karena kedua bunyi itu dalam bahasa Jawa dapat membedakan makna.
Misal:
Kere [ kere] = miskin                    Kere [kəre] = tirai bamboo
Geger [gɛgɛr]= huru hara              geger [ gəgər]= punggung
4.      Vokal /a/
terletak di depan, tengah, dan akhir. Contohnya
Aku            laris                ora               
5.      Vokal /ɔ/
Bukan merupakan alofon dari /o/, namun vokal yang berdiri sendiri. Terletaki awal, tengah, dan akhir kata.
Misal : Amba             rata                 ula
6.      Vokal /o/
Terletak di awal, tengah, akhir kata. Misal : Obah         coba                kebo
7.      Vokal /u/
Mempunyai 2 alofon, yaitu
·         u (swara jejeg)
Terletak di awal, tengah, dan belakang kata.
Misal: Urip                   wuta              madu
·         u swara miring
Barada di tengah kata.
Misal : Biyung parut                pupur

Fonem Vokal
Alofon

Awal
Tengah
Akhir
/i/
[i]
[iki]
[gilɔ]
[pari]
[I]
-
[jaIl]
-
/e/
[e]
[enaʔ]
[lele]
[sore]
[Ɛ]
[ƐlƐʔ]
[bƐbƐʔ]
-
/Ə/
[Ə]
[Əntup]
[antƏm]
-
/a/
[a]
[awaʔ]
[jaran]
[ora]
/ɔ/
[ɔ]
[ɔnɔ]
[ɔkɔl]
[lɔrɔ]
/o/
[o]
[ogaʔ]
[bocah]
[loro]
/u/
[u]
[urip]
[gulɔ]
[putu]
[ʊ]
-
[abʊh]
-

2.      Fonem konsonan
Konsonan adalah bunyi yang timbul akibat udara yang keluar dari paru-paru melalui rongga mulut atau rongga hidung. Udara yang keluar dari rongga hidung akan menghasilkan bunyi sengau, sedangkan udara yang keluar dari rongga mulut akan mengalami hambatan, geseran, dan sentuhan lidah atau bibir sesuai dengan daerah artikulasinya.
Berdasar daerah artikulasinya, bunyi dibedakan menjadi
Ø  Bunyi bilabial, adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh kedua bibir. Menghasilkan bunyi [b] dan [p], [m], dan [w].
Ø  Bunyi dental/ alveolar, adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh daun lidah yang menempel pada gigi/ gusi depan atas bagian dalam. Menghasilkan bunyi [d], [t], [s], [n], [r], dan [l].
Ø  Bunyi retrofleks, adalah bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan ujung lidah bagian bawah yang menempel atau menyentuh langit-langit keras karena hembusan udara dari paru-paru. menghasilkan bunyi [ɖ] dan [ʈ].
Ø  Bunyi palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan daun lidah yang menempel pada langit-langit keras yang disertai hembusan udara dari paru-paru. Menghasilkan bunyi [j], [c], [z], [ʃ], [ɲ], dann [y].
Ø  Bunyi velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh rongga tenggorokan. Menghasilkan bunyi [g], [k], [x], dan [ŋ].
Ø  Bunyi glotal menghasilkan bunyi [v] dan [f]

       daerah artikulasi



cara artikulasi
bilabial
dental
dental
retrofleks
palatal
velar
glotal
Hambat
Bersuara
B

D
ɖ
j
g

Takbersuara
P

T
ʈ
c
k
ʔ
Frikatif
Bersuara

v*


z*


Takbersuara

f*
S

ʃ**
x
h
Nasal
Bersuara
M

N

ɲ
ŋ

Getar
Bersuara


R




Lateral
Bersuara


L




Semivokal
Bersuara
W



y


  Tabel konsonan bahasa jawa
Penulisan tembang “mancing” menggunakan huruf fonetik.
Mancing
Ciptaan : Momo Kepus
Vokal : 5 Garangan
Produksi : ??
Mancing iwak, ring ketapang
Umpane urang lan kesenengan
Umpan dibuang, ring tengah segoro
Nguncalaken sumpeke pikiran
Sopo weruh, oleh iwak
Putri duyung hang ayu pisan,
Nak sun kudang, nak sun eman
Mergane yo sing kiro kedonyan
Aduh senenge ati, umpanisun dipangan
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Mancing iwak, ring ketapang
Umpane urang lan kesenengan
Umpan dibuang, ring tengah segoro
Nguncalaken sumpeke pikiran
Aduh senenge ati, umpanisun dipangan
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang
Aduh senenge ati, umpanisun dipangan
Senare sun kencengi, koyo ono setrume
Rasane atinisun, muluk ring awang-awang
Girange sing karuan, koyo nemu berlian
Susahe ati ilang

Pada penulisan tembang mancing di atas, masih terdapat beberapa kesalahan penulisan. Contohnya pada kata-kata yang dicetak tebal.
Ø  Kata ‘segoro’ seharusnya ditulis ‘segara’ fonetisnya ‘səgͻrͻ’.
Meskipun dibaca ‘səgͻrͻ’, tapi tidak boleh ditulis dengan ‘segoro’ karena kata ‘segoro’ tidak memiliki arti, sedangkan yang dimaksud dalam tembang ini adalah ‘laut’, jadi penulisan yang benar adalah ‘segara’.
Ø  Kata ‘sopo’ seharusnya ditulis ‘sapa’ fonetisnya ‘sͻpͻ’.
Kata ‘sopo’ tidak ada maknanya, sedangkan yang dimaksud dalam tembang mancing adalah menunjuk pada orang. Kata ‘sapa’ juga dapat diartikan sebagai kata tanya untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan seseorang.
Ø  Kata ‘yo’ seharusnya ditulis ‘ya’ fonetisnya ‘yͻ’.
Kata ‘yo’ bermakna ‘ayo’, sedangkan kata ‘ya’ dapat bermakna ‘iya’. Jadi penulisan yang benar adalah ‘ya’.
Ø  Kata ‘kiro’ seharusnya ditulis ‘kira’ fonetisnya ‘kirͻ’.
Kata ‘kiro’ tidak memiliki arti, sedangkan kata ‘kira’ artinya ‘kira-kira’ atau ‘dugaan’. Jadi penulisan yang benar adalah kata ‘kira’ dan fonetisnya adalah ‘kirͻ’.
Ø  Kata ‘aduh’ seharusnya ditulis ‘adhuh’ fonetisnya ‘aɖuh’.
Apabila dituliskan ‘aduh’ maka maknanya adalah ‘sangat jauh’. Kata ‘aduh’ berasal dari kata ‘adoh’ yang berarti jauh. Kata ini sudah mengalami diftongisasi (pendiftongan) untuk menyatakan intensitas. Dalam menyatakan intensitas menggunakan variasi fonem vokal atau menambahkan kata banget atau temen yang diletakkan di sebelah kanan kata yang akan diberi penekanan. Sehingga penulisan yang benar adalah ‘adhuh’ yang dapat berarti sebagai kata untuk mengeluhkan rasa sakit atau bisa pula karena terkejut. Dan dalam tembang ini yang dimaksudkan adalah menggambarkan kata seru sebagai pendukung untuk mengungkapkan kegembiraan.
Ø  Kata ‘koyo’ seharusnya ditulis ‘kaya’ fonetisnya ‘kͻyͻ’.
Kata ‘koyo’ artinya adalah plester yang ditempel dikulit untuk mengobati sakit, sedangkan ‘kaya’ maknanya adalah ‘seperti’ atau ‘seumpama’.
Ø  Kata ‘ono’ seharusnya ditulis ‘ana’ fonetisnya ‘ͻnͻ’.
Kata ‘ono’ tidak memiliki arti sedangkan kata ‘ana’ bermakna ‘ada’ sehingga penulisan yng benar adalah ‘ana’ dan fonetisnya adalah ‘ͻnͻ’

Kesalahan penulisan ini terjadi karena kurangnya pemahaman dari penulis. Kebanyakan orang menganggap bahwa penulisan Bahasa Jawa sama dengan penulisan Bahasa Indonesia. Padahal penulisan Bahasa Jawa memiliki banyak perbedaan dengan penulisan Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa yang lain. Penulisan yang salah, tentu saja akan mempengaruhi makna dari suatu kata itu.
Penulisan fonetisnya tembang mancing adalah sebagai berikut
Manchɪŋ
manc hɪŋ iwaʔ, rɪŋ kəthaph
umphane uraŋ lan kəsənəŋan
umphan dhibhuwaŋ, rɪŋ thəŋah səghͻrͻ
ŋunchalakən sumphəɁe pikiran
sͻpͻ wərʊh, olɛh iwaʔ
puthri ɖhuyʊŋ haŋ ayu phisan,
nak sʊn kudhaŋ, nak sʊn eman
mərghane yͻ sɪŋ kirͻ kədhoɲan
huh sənəŋe athi, umphanisʊn dhiphaŋan
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
manc hɪŋ iwaʔ, rɪŋ kəthaph
umphane uraŋ lan kəsənəŋan
umphan dhibhuwaŋ, rɪŋ thəŋah səghͻrͻ
ŋunchalakən sumphəɁe pikiran
huh sənəŋe athi, umphanisʊn dhiphaŋan
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ
huh sənəŋe athi, umphanisʊn dhiphaŋan
sənare sʊn kəncəŋi, kͻyͻ ͻnͻ səthrume
rasane athinisʊn, mulʊɁ rɪŋ awaŋ-awaŋ
ghiraŋe sɪŋ karuwan, kͻyͻ nəmu bərliyan
susahe athi ilaŋ

  1. PENERAPAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau undha-usuk basa atau unggah-ungguh basa. Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan adat sopan santun berbahasa Jawa. Adat sopan santun ini mencerminkan perilaku kebahasaan yang sebenarnya juga tercermin dari perilaku masyarakat.
a.        Ngoko
Ragam bahasa Jawa ngoko digunakan untuk penutur dan mitra tutur yang mempunyai kedudukan yang akrab atau kedudukan mitra tutur lebih tinggi daripada penutur. Data berikut mengacu pada bentuk ngoko :
Abd (Pt)         : lho kene, dipendhem kene.
 : sini, dikubur sini.
Abd     (Mt)    : Pendhemen neng njero kuwi.
: dikubur di dalam itu.
Abd     (Pt)    : suketmu kuwi lho.
: rumputmu itu.

b.        Madya
Ragam bahasa Jawa madya merupakan tataran menengah yang terletak di antara ragam ngoko dan krama. Data yang menggambarkan ragam bahasa Jawa madya adalah sebagai berikut:
Abd  (Pt)        : Kula niko madosi mboten ketemu kampunge?
: Saya dulu mencari kampungnya tidak ketemu?
Abd  (Mt)       : Putu.
: Putu
Abd   (Pt)       : Kalih jembatan mbacem niko? Ler nopo Kidule?
: sama jembatan mbacem itu? Utara atau selatan?
Abd   (Mt)      : Nggen kidul niko terus ngetan.
: sebelah selatan itu terus ke Timur.

c.         Krama
Ragam krama digunakan untuk menunjukkan adanya penghormatan kepada mitratutur yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi daripada penutur. Contoh data yang ditemukan adalah sebagai berikut:
Abd    (Pt)      : Kartipradja pun enten tanggalane dereng?
: Kartipradja sudah ada kelandernya belum?
Abd     (Mt)    : Menawi kula piyambak dereng saweg sumerep.
: kalau saya sendiri belum melihat.
Abd   (Pt)       : Kalawingi pun tak keke. Penjenengan teng kantor mboten?
: kemarin sudah saya berikan. Kamu ke kantor tidak?
Abd  (Mt)       : Nggih.
: Ya
Abd  (Pt)        :Niki ngge Kartipradja, Yogiswara, Pasiten, Mandrabudaya
: Ini untuk Kartipradja, Yogiswara, Pasiten, Mandrabudaya.

d.        Krama Inggil
Bahasa Jawa ragam krama dengan leksikon krama inggil digunakan untuk menunjukkan penghormatan kepada mitratutur. Di bawah ini adalah contoh data yang menggunakan bahasa Jawa ragam krama inggil sebagai berikut:
Abd (Pt)          ;Gusti, kulawingi adalem dipuntimbali marak Sampeyandalem  dhawuhdalem nimbali Pengageng sarta Wakil Pengageng bebadan kadhawuhan nderek nampi tamu saking Malaysia.
;Gusti, kemarin saya dipanggil menghadap Raja diperintahkan memanggil Pimpinan dan Wakil Pimpinan mendapat tugasmenerima tamu dari Malaysia.
Ptd  (Mt)        :  Nggih njeng, penjenengan damelke dhawuh.
;Ya, njeng, kamu buatkan surat.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dalam penulisan Bahasa Jawa yang masih sering mengalami kesalahan, disebabkan oleh kurang pahamnya masyarakat terhadap penulisan bahasanya sendiri. Dalam suatu bahasa yang serumpun, penulisan yang berbeda pada suatu kata akan memengaruhi makna dari suatu kata itu. Apabila penulisan kata itu berbeda, maka maknanya tentu saja berbeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa penulisan yang berbeda akan memengaruhi makna yang terkandung dalam suatu kata tersebut.

B.     Saran
Penulisan bahasa jawa masih sering mengalami kesalahan, terutama dalam menuliskan bunyi /a/, masyarakat justru menggunakan bunyi /o/. Selain itu, masyarakat juga sering salah dalam menuliskan /dh/ menjadi /d/. Dalam menuliskan Bahasa Jawa harus teliti agar tidak terjadi kesalahan tulisan yang menyebabkan berubahnya makna. Masyarakat perlu diberi pemahaman lebih agar mereka mengerti tentang fonem-fonem Bahasa Jawa sehingga mereka tidak akan salah dalam menulis berbahasa jawa. Masyarakat harusnya juga lebih peka terhadap fonem-fonem bahasa jawa yang beragam dan berbeda dari bahasa-bahasa yang lain.

DAFTAR PUSTAKA


S. S. T. Wisnu Sasangka, 2007. UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA. Jakarta: Yayasan Paramalingua
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2011. Bunyi-Bunyi Distingtif Bahasa Jawa.Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Balai Bahasa Yogyakarta. 2000. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius

Post a Comment for "Makalah Bahasa Jawa"