Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Analisis Cerpen “Godlob” karya Danarto

A.    Unsur-unsur Intrinsik Cerpen “Godlob” karya Danarto
1.      Tema : kemanusiaan
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra 
Tema disaring dari motif- motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas dan abstrak.
Cerpen Godlob karya Danarto bertemakan kemanusiaan karena tidak adanya hak saling menghargai dan menjujung hak orang lain. Dijelaskan pada tokoh sang ayah yang membunuh anaknya sendiri demi gelar kepahlawanan. Terlihat pada kutipan dibawah ini:
‘’Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’
‘’Ayah dengan cara demikian ayah hendak menjadikan ku pahlawan? Ayah menghalallkank?
 Dan juga tokoh sang ibu yang membalasdendamkan kematian anaknya dengan membunuh ayah.  Terlihat pada kutipan dibawah ini:
“Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan sejenak laki-laki tua yang ada di hadapannya itu. Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya. Ait matanya meleleh.
Suaminya menggeliat menoleh kepadanya”
Banyak manusia yang dibutakan pikirannya dengan pekerjaan, jabatan atau pangkat, harta, keluarga sehingga manusia tidak mengenal keindahan dan kebenaran hidup. Manusia mengahalalkan segala cara untuk bertahan hidup, agar dipandang, menyenangkan diri sendiri tanpa memikirkan dan memedulikan nasib orang lain. Hingga merenggut hak orang lain untuk mencapai kebahagian dan kesejahteraan hidup, bahkan yang lebih membutuhkan sekali pun pada mereka. Terlihat pada kutipan dibawah ini:
‘’Menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain penghianat atau pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya. Dalam sekejap mata mayat ini diangkat jadi phlawan. Aku sudah mengira, aku sudah menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkan ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pigkal!’’

2.      Alur : maju
Alur atau plot adalah rangkaian kronologi peristiwa. Alur dibedakan menjadi alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
a.       Alur maju adalah cerpen dengan peristiwa yang dimulai dari awal sampai akhir.
b.       Alur mundur adalah cerpen dengan peristiwa yang dimulai dari akhir cerita ke awal cerita
c.        Alur campuran adalah alur cerpen yang merupakan gabungan antara alur maju dan alur mundur
Didalam cerpen ini alur yang digunakan adalah alur maju karena dalam cerpen ini menyajikan sebuah peristiwa ke peristiwa yang lain berdasarkan urutan waktu secara runtut dari awal hingga akhir secara runtut. Sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan padu.
Tahapan alur:
a.       Tahap Pengenalan: perkenalan, penjelasan awal cerita.
Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-tengger di atasnya, hingga padang gundul itu sudah merupakan gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak seolah-olah kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.
b.      Tahap Pertikaian
Konflik mulai timbul. Kepentingan tokoh sudah mulai muncul. Akhirnya konflik mulai tampak.
Dan gagak-gagak itu bubar berkerumun kembali. Lalu ganti berganti: bau busuk-kerbau gontai, bau busuk-sore redup, bau busuk-derap gerobak, bau busuk-kaok gagak.
‘’Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum juga kenyang.’’
Keadaan telah gelap gulita, hanya sekali-kali jauh dsana melayang-layang pistol cahaya, mencari-cari nyawanya yang masih hinggap di badan.
‘’kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya. Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin, Rutin.
c.       Tahap Penanjakan Konflik
Penanjakan konflik. Konflik sudah mulai meruncing. Kepentingan individu/ kelompok   mulai menunjukkan kerumitannya/ kegawatannya.
Orang tua itu bangkit dan seandainya ada cahaya yang menerangi wajahnya, akan tampak betapa tegang urat-uratnya dan menyerengai merah. Lalu ia berkata keras-keras,
‘’Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’
‘’Ayah dengan cara demikian ayah hendak menjadikan ku pahlawan? Ayah menghalallkank? Aku dan Aya adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah di atur oleh yang lain!
‘’Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!’’
‘’Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!’’
‘’Ayah!!!’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Anakku!!!’’
‘’Ayah . . ..’’http://remajasampit.blogspot.com/
‘’Anakku . . ..’’
d.      Tahap Klimaks
Klimaks / puncak konflik. Konflik sampai pada puncaknya.Pada tahap ini mungkin terjadi perkela-hian, perdebatan,kontak fisik,
Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan sejenak laki-laki tua yang ada di hadapannya itu. Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya. Ait matanya meleleh.
Suaminya menggeliat menoleh kepadanya:
e.       Tahap Penyelesaian
‘’Perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu.’’
Kemudian ia meraih mayat anaknya dan jatuh.
Suasana hening. Sekaliannya dipaku di tempat berdirinya masing-masing.
Perempuan itu berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke atas:
‘’Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.’’
http://remajasampit.blogspot.com/
3.      Setting
Sebuah cerita pada hakikatnya ialah peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu. Latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi
a.       Setting tempat :
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial tertentu.
1)      Lapangan tempur
-          Tak henti-hentinya memenuhi seluruh padang bekas pertempuran itu.
2)      Balai kota
-          Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai kota.
-          Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahri mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan di depan balai kota di gemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat.
3)      Di atas gerobak penuh jerami
-          Kemudian ia lari dan tertawa-tawa, meloncat ke dalam gerobak.
4)      Pemakaman
-          Pagi harinya iring-iring jenazah yang panjang itu menuju makam pahlawan dengan kemegahan upacara militer.
5)      Padang
-          Dari padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobaktanpa atap yang ditarik dua ekor kerbau.
-          Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-tengger di atasnya, hingga padang gundul itu sudah merupakan gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak seolah-olah kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.
b.      Setting waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” teersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
1)      Siang hari
-          Siang hari ingar-bingar oleh daging-daging yang menguap.
2)      Malam hari
-          “Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum juga kenyang.’’
-          Dan malam hari terasa pengap, seolah-olah mayat-mayat itu ada dalam kaleng.
-          Keadaan telah gelap gulita, hanya sekali-kali jauh dsana melayang-layang pistol cahaya, mencari-cari nyawanya yang masih hinggap di badan.
3)      Sore
-          Matahari sudah condong, bulat-bulat tidak membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang diatasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa ! Ibarat sumber yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan menangis karena habisnya susu ibu.
c.       Setting suasana
Latar suasana berisi penggambaran suasana dalam sebuah cerpen
1)      Mencekam
-          Suara-suaranya bagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di atas lantai ubin, merupakan panduan suara lagu-lagu maut yang dahsyat, tak henti-hentinya memenuhi seluruh padang bekas pertempuran itu, jalinan-jalinan nada yang kacau-balau seolah setan-setan itu ketakutan oleh ancaman setan-setan lain atau sebuah persidangan tempat terjadi perdebatan-perdebatan yang tak menentu, dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu kemampuan memberikan rakyat berkaparan di tong-tong sampah.
2)      Sepi
-          Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu penuh bertebaran debu-debu.
4.      Sudut pandang : sudut pandang orang ke tiga serba tahu.
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu.
Didalam cerpen ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu adalah pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita ditandai penggunaan kata ganti orang dia, mereka, dan sebagainya atau menggunakan nama tokoh. Terlihat pada kutipan dibawah ini
‘’Ini daia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraiakn. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang membawa tiupan-tiupan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia sanggup banhun, ia akan berkata kepada kita bahwa ia tdak ingin jadi pahlawan, aku tahu tabiat anak-anakku. Daialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia menipu kita!’’

5.      Perwatakan
Dalam pembicaraan sebuah cerita pendek sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama , yang oleh pembaca ditafsirkan memilki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sedangkan penokohan ialah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
a.       Ayah : sebagai manusia yang ambisius, penasaran, dan haus akan keadilan. Dibuktikan dengan membunuh anaknya sendiri sebagai sumbangan untuknya agar anaknya menjadi pahlawan. Mencari ide-ide hebat agar tidak dirugikan lagi. Kutipan :
“Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus memutuskan seseuatu yang hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan.”
b.      Anak : memiliki sikap kepasrahan dan ketidakberdayaan pada diri manusia. Dibuktikan dengan dirinya yang menerima nasib hidupnya dihubungkan dengan disebutnya “tentara” dalam cerpen.
Kutipan :
“Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul menyusul, kita telah mampu menyumbangkan tenaga kita.”
c.       Perempuan : penyayang, dan pendendam. Dibuktikan ketika ia mengetahui anaknya mati dibunuh ayahnya, bukan mati karena peperangan, perempuan itu marah dan ia menembakkan pistol kepada lelaki tua untuk membalas dendam.
Kutipan :
“Ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraikan. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang dengan membawa tipuan-tipuan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Aku tahu tabiat anak-anakku. Dialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia menipu kita!”
d.      penduduk
6.      Amanat
Amanat merupakan pesan moral yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca melalui cerpen. Didalam cerpen “Godlob” karya Danarto mempunyai amanat yaitu jangan terlalu berambisi dalam mendapatkan suatu hal yang menguntungkan diri sendiri, hingga keadilan dan hak-hak seseorang ditelan mentah. Sebagai seorang pemimpin seharusnya mempedulikan rakyatnya tidak semenah-menah dengan kekuasaan yang dimilikinya sehingga tercapai kedamain dan kesejahteraan bersama.

B.     Unsur-unsur Ekstrinsik Cerpen
1.      Latar Belakang Pengarang
Lahir di Sragen dari Siti Aminah, seorang pedagang eceran di pasar kabupaten, dengan Djakio Hardjosoewarno, seorang buruh pabrik gula Modjo, Danarto adalah anak keempat dari lima bersaudara. Menikah dengan Siti Zainab Luxfiati, seorang psikolog.
Selama kuliah di ASRI Yogyakarta, dia aktif dalam Sanggar Bambu pimpinan pelukis Sunarto Pr, dan ikut mendirikan Sanggar Bambu Jakarta. Tahun 1979-1985 bekerja di majalah Zaman, tahun 1976 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Tahun 1983 menghadiri Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Ia pernah bergabung dengan Teater Sardono, yang melawat ke Eropa Barat dan Asia, 1974. Di samping berpameran Kanvas Kosong (1973) ia juga berpameran puisi konkret (1978). Pada 1 Januari 1986, Danarto mengakhiri masa bujangannya dengan menikahi Siti Zainab Luxfiati, yang biasa dipanggil Dunuk. Sayangnya, rumah tangga Danarto tidak berlangsung lama. Danarto dan Zainab bercerai setelah lebih kurang 15 tahun berumah tangga.
Perjalanan hidup Danarto kaya dengan pengalaman baik di dalam negeri dan di luar negeri. Selain sebagai sastrawan, ia dikenal juga sebagai pelukis, yang memang ditekuni sejak masa muda. Sebagai pelukis ia pernah mengadakan pameran di beberapa kota. Sebagai budayawan dan penyair ia pernah mengikuti program menulis di luar negeri diantaranya di Kyoto, Jepang.

2.      Kondisi Masyarakat Saat Karya Sastra Diciptakan
Cerpen Godlob karya Danarto dibuat pada tahun 1967, cerpen ini sendiri menjadi judul sebuah kumpulan cerpen yang berjudul sama, Godlob. Dari beberapa sumber yang saya baca, Danarto bukanlah sastrawan yang produktif mengeluarkan cerpen karena dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya ada 3 kumpulan cerpen yang muncul. Kumpulan cerpen Godlob termasuk terbitan tahun 1975. Tentang peristiwa kehidupan masyarakat pada umumnya dan fakta sosial atau fakta kemanusiaan yang terjadi di negara Israel-Palestina dari dimulainya peperangan.




Post a Comment for "Analisis Cerpen “Godlob” karya Danarto"