Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANALISIS GAYA BAHASA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA



A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang beraada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.

Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga nampak seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan karya sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur intrinsik ini akan menjadikan sebuah novel yang sangat bagus. Kemudian, untuk menghasilkan novel yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa merupakan sarana atau media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarang yang akan dituangkan sebuah karya yaitu salah satunya novel tersebut. Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan yang diungkapkan Nurgiyantoro (2002: 272) bahasa dalam seni sastra ini dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting tersebut, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra.  Bahasa dalam karya sastra mengandung unsur keindahan. Keindahan adalah aspek dari estetika. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Zulfahnur, dkk (1996: 9), bahwa sastra merupakan karya seni yang berunsur keindahan. Keindahan dalam karya seni sastra dibangun oleh seni kata, dan seni kata atau seni bahasa tersebut berupa kata-kata yang indah yang terwujud dari ekspresi jiwa. Terkait dengan pernyataan tersebut, maka membaca sebuah karya sastra atau buku akan menarik apabila informasi yang diungkapkan penulis disajikan dengan bahasa yang mengandung nilai estetik. Sebuah buku sastra atau bacaan yang mengandung nilai estetik memang dapat membuat pembaca lebih bersemangat dan tertarik untuk membacanya. Apalagi bila penulis menyajikannya dengan gaya bahasa unik dan menarik.
Gaya bahasa dan penulisan merupakan salah satu unsur yang menarik dalam sebuah bacaan. Setiap penulis mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya mempunyai gaya penulisan yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan bahwa, watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang ditulisnya. Hal ini selaras dengan pendapat Pratikno (1984: 50) bahwa sifat, tabiat atau watak seseorang itu berbeda-beda. Sang Pemimpi diterbitkan pertama kali pada Juli 2006. Sejak kemunculan novel Sang Pemimpi mendapatkan tanggapan positif dari penikmat sastra. Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel Sang Pemimpi menjadikan novel tersebut masuk dalam jajaran novel psikologi islami pembangun jiwa. Andrea Hirata telah membuat lompatan langkah yang gemilang untuk mengikuti jejak sang legenda Buya Hamka, berkarya dan mempunyai fenomena (Badrut Taman Gafas, 2005). Melalui novel kontemporernya yang diperkaya dengan muatan budaya yang Islami, Andrea Hirata seolah mengulang kesuksesan sang pujangga Buya Hamka yang karya-karyanya popular hingga ke mancanegara seperti “Merantau Ke Deli”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, dan ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Meskipun nilai yang mendasari novel tersebut bersumber dari Islam, berbagai kalangan kaum beragama dan berkepercayaan dapat menerimanya tanpa ada perasaan terancam.
Cerita novel Sang Pemimpi diperoleh dari mengeksplorasi kisah persahabatan dan pendidikan di Indonesia. Ia mengemas novel Sang Pemimpi dengan bahasa yang sederhana imajinatif, namun tetap memperhatikan kualitas isi. Membaca novel Sang Pemimpi membuat pembaca seolah-olah melihat potret nyata kehidupan masyarakat Indonesia. Hal itu seperti tanggapan salah seorang penikmat novel Sang Pemimpi, yaitu Harnowo (editor senior dan penulis buku Mengikat Makna) ia mengatakan bahwa, “kata-kata Andrea berhasil „menyihir‟ jiwaku. Dia dapat dikatakan mempunyai kemampuan mengolah kata sehingga memesona yang membacanya” (Sang Pemimpi: sampul depan).
Meskipun kisah yang terjadi dalam novel Sang Pemimpi sudah terjadi sanga\lama, akan tetapi pada kenyataannya kisah Sang Pemimpi masih ada di zaman sekarang. Banyak pengamat sastra yang memberikan penilaian berkaitan dengan suksesnya novel Sang Pemimpi. Suksesnya novel Sang Pemimpi disebabkan novel tersebut muncul pada saat yang tepat yaitu pada waktu masyarakat khususnya masyarakat yang merasa mengalami pendidikan yang sama seperti beberapa tokoh yang terdapat dalam novel tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Sapardi Djoko Darmono, seorang sastrawan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI Ia menyatakan Sang Pemimpi merupakan “Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan” (Ruktin Handayani: 2008).
Isi novel Sang Pemimpi menegaskan bahwa keadaan ekonomi bukanlah menjadi hambatan seseorang dalam meraih cita-cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya. Kemiskinan adalah penyakit sosial yang berada dalam ruang lingkup materi sehingga tidak berkaitan dengan kemampuan otak seseorang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel Sang Pemimpi. Analisis terhadap novel Sang Pemimpi peneliti membatasi pada segi gaya bahasa dan nilai pendidikan. Berdasarkan segi gaya bahasa karena setelah membaca novel Sang Pemimpi, peneliti menemukan ada banyak gaya yang digunakan pengarang dalam menyampaikan kisah Sang Pemimpi dan banyak pengamat sastra yang mengakui kehebatan Andrea Hirata dalam menggunakan gaya bahasa.
Alasan dipilih dari segi nilai pendidikan karena novel Sang Pemimpi diketahui banyak memberikan inspirasi bagi pembaca, hal itu berarti ada nilai-nilai positif yang dapat diambil dan direalisasikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya dalam hal pendidikan. Pradopo (1994: 94) mengungkapkan bahwa suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua. Begitulah paham pertama dalam penilaian karya sastra yang secara tidak langsung disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia yang mula-mula, ialah memberi pendidikan dan nasihat kepada pembaca.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diketahui rumusan masalah yang timbul dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Gaya bahasa apa saja yang digunakan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi?
2. Gaya bahasa apa yang paling dominan digunakan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Semimpi?
3. Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang ingin disampaikan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Menyebutkan dan mendeskripsikan gaya bahasa yang digunakan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi.
2. Menyebutkan dan menjelaskan gaya bahasa yang dominan dipakai oleh Andera Hirata dalam novel Sang Pemimpi.
3. Menyebutkan dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang digunakan pengarang dalam novel Sang Pemimpi.
 D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang gaya bahasa dan pembelajaran sastra tentang nilai-nilai pendidikan dalam novel.
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain.
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru tentang pendekatan struktural genetik untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.
b. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.
c. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi novel Sang Pemimpi dan mengambil manfaat darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan (khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi.
d. Bagi Peneliti yang Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun bahan pijakan peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. 6
I.                   KAJIAN TEORITIK

A.    Hakikat Novel
1.      Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 9). Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995: 164). Pendapat Tarigan diperkuat dengan pendapat Semi (1993: 32) bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas, dengan roman yang diartikan rancangannya lebih luas mengandung sejarah perkembagan yang biasanya terdiri dari beberapa fragmen dan patut ditinjau kembali.
Sudjiman (1998: 53) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur. Saad (dalam Badudu J.S, 1984 :51) menyatakan nama cerita rekaan untuk cerita-cerita dalam bentuk prosa seperti: roman, novel, dan cerpen. Ketiganya dibedakan bukan pada panjang pendeknya cerita, yaitu dalam arti jumlah halaman karangan, melainkan yang paling utama ialah digresi, yaitu sebuah peristiwa-peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita yang dimasukkan ke dalam cerita ini. Makin banyak digresi, makin menjadi luas ceritanya
Batos (dalam Tarigan, 1995: 164) menyatakan bahwa novel merupakan sebuah roman, pelaku-pelaku mulai dengan waktu muda, menjadi tua, bergerak dari sebuah adegan yang lain dari suatu tempat ke tempat yang lain. Nurgiyantoro (2005: 15) menyatakan, novel merupakan karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi yang mendalam, sehingga novel dapat berkembang dari sejarah, surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen-dokumen, sedangkan roman atau romansa lebih bersifat puitis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa novel dan romansa berada dalam kedudukan yang berbeda. Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2005: 16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang dan lebih mengenai sesuatu episode. Mencermati pernyataan tersebut, pada kenyataannya banyak novel Indonesia yang digarap secara mendalam, baik itu penokohan maupun unsur-unsur intrinsik lain. Sejalan dengan Nurgiyantoro, Hendy (1993: 225) mengemukakan bahwa novel merupakan prosa yang terdiri dari serangkaian peristiwa dan latar. Ia juga menyatakan, novel tidaklah sama dengan roman. Sebagai karya sastra yang termasuk ke dalam karya sastra modern, penyajian cerita dalam novel dirasa lebih baik.
Novel biasanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas (expands) tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Sayuti, 2000: 6-7). Masyarakat tentunya berkaitan dengan dimensi ruang atau tempat, sedangkan tokoh dalam masyarakat berkembang dalam dimensi waktu semua itu membutuhkan deskripsi yang mendetail supaya diperoleh suatu keutuhan yang berkesinambungan. Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika penulis menceritakan tokoh mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail untuk perkembangkan tokoh dan pendeskripsian ruang.
Novel oleh Sayuti (2000: 7) dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat formal. Bagi pembaca umum, pengategorian ini dapat menyadarkan bahwa sebuah fiksi apapun bentuknya diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi sastra akan lebih baik. Pengategorian ini berarti juga bahwa novel yang kita anggap sulit dipahami, tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca tidak mungkin meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut anggapan pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.
Penciptaan karya sastra memerlukan daya imajinasi yang tinggi. Menurut Junus (1989: 91), mendefinisikan novel adalah meniru ”dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra arus ada dalam dunia nyata , namun harus dapat juga diterima oleh nalar. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan kesan secara umum dan bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang dapat diselesaikan setelah berulang kali membaca dan setiap kali membaca hanya dapat menyelesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita yang telah dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita dari episode ke episode berikutnya akan terputus.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.

2. Ciri-ciri Novel

Hendy (1993: 225) menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut.
1.      Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian.
2.      Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang.
3.      Penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri).
4.      Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut.
5.      Karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak tetap sejak awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya, ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.

Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah cerita yang lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara fiksi, serta mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di dalamnya akan menjadikan lebih hidup.

B.     Hakikat Nilai Pendidikan
1. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.
Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk kehidupan., mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempeunyai penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total.
Menilai oleh Setiadi (2006: 110) dikatakan sebagai kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga diperoleh menjadi suatu keputusan yang menyatakan sesuatu itu berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius, berdasarkan jenis tersebutlah nilai ada. Lasyo (Setiadi 2006: 117) menyatakan, nilai manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya. Sejalan dengan Lasyo, Darmodiharjo (dalam Setiadi, 2006: 117) mengungkapkan nilai merupakan sesuatu yang berguna bagi manusia baik jasmani maupun rohani. Sedangkan Soekanto (1983: 161) menyatakan, nilai-nilai merupakan abstraksi daripada pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Pada hakikatnya, nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia, yaitu menyangkut tentang hal-hal yang bersifat hakki. Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian nilai dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang bernilai, berharga, 31
bermutu, akan menunjukkan suatu kualitas dan akan berguna bagi kehidupan manusia.

2. Pengertian Pendidikan
Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”, yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing” (Hadi, 2003: 17). Jadi Soedomo Hadi menyimpulkan paedogogike berarti aku membimbing anak. Purwanto (1986: 11) menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa. Tilaar (2002;435) mengatakan hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi ini menurut penulis adalah menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia.
Pendidikan pada hakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu: a) cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bermakna kreatif, inovatif dan siap mengaplikasikan ilmunya; b) hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepadaNya. Filosofi hidup ini sangat syarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan manusia, memberikan makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral, dan tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain. Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat meningkatkan
derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengajaran (Ratna, 2005: 449). Segala sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung nilai didik, termasuk dalam pemilihan media. Novel sebagai suatu karya sastra, yang merupakan karya seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang seninya (Pradopo, 2005: 30). Pendidikan pada kahikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini secara sahih sebagai manusia yang beradab (Setiadi, 2006: 114).
Adler (dalam Arifin, 1993: 12) mengartikan pendidikan sebagai proses dimana seluruh kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk untuk membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik. Secara etimologis, sastra juga berarti alat untuk mendidik (Ratna, 2009: 447). Masih menurut Ratna, lebih jauh dikaitkan dengan pesan dan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana etika. Jadinya antara pendidikan dan karya sastra (novel) adalah dua hal yang saling berkaitan. Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri manusis melalui upaya pengajaran. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai-nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusis sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya. Nilai-nilai pendidikan yang tersirat dalam berbagai hal dapat mengembangkan masyarakat dalam berbagai hal dapat mengembangkan masyarakat dengan berbagai dimensinya dan nilai-nilai tersebut mutlak dihayati dan diresapi manusia sebab ia mengarah pada kebaikan dalam berpikir dan bertindak sehingga dapat memajukan budi pekerti serta pikiran/ intelegensinya. Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya
melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra khususnya humaniora sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan.

3. Macam-macam Nilai Pendidikan
Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan menciptakan terbaru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendens. Sastrawan pada waktu menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu.
Menacari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra akan tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola piker pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi didalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut.
a. Nilai Pendidikan Religius
Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995: 90). Nilai-nilai religious bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal.
Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 326). Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah, kita batu memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Semi (1993: 21) juga menambahkan, kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Nilai religius yang merupakan nilai keohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
b. Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan sesuatu yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu , masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Uzey (2009: 2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku. Untuk karya menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
c. Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial brupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan (Rosyadi, 1995: 80). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009: 7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
d. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nolai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada sutu masyarakat dan kebudayaannya.
Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey (2009: 1) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.


D. Penelitian Relevan
Hasil Penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini adalah:
dalam penelitian berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Dalam kesimpulannya gaya bahasa yang digunakan dalam Novel Laskar Pelangi antara lain: personifikasi, hiperbola, antitesis, simile, metafora, epizeukis, eponim, anadipsis, repetisi, parifrasis, tautologi, koreksio, pleonasme, ironi, paradoks, satire, hipalase, innuendo, metonomia, sinekdoke pars prototo, sinekdoke totum pro parte, alusio, epitet, antonomasia, ellipsis, asidenton, tautotes, anaphora, pertanyaan retoris. Ririh juga menyatakan alasan pengarang menggunakan gaya bahasa pada novel Laskar Pelangi adalah untuk mengungkapkan ekspresi jiwa atau perasaan tertentu, untuk menunjukkan kreativitas seni dalam bentuk bahasa, untuk membangkitkan inajinasi pembaca, untuk memberikan kesan keindahan pada novel, untuk memperjelas makna kata, untuk menampilkan variasi dan gaya yang berbeda dengan karangan novel lain. Nilai pendidikan yang digunakan adalah nilai religius, nilai moral, dan nilai sosial. Persamaan karya ilmiah Ririh Yuli Atminingsih dengan penulis yaitu sama-sama mengkaji gaya bahasa dan nilai pendidikan dengan judul novel yang berbeda. Perbedaannya adalah terdapat dalam simpulan penelitian. Karya ilmiah Ririh dalam simpulannya terdapat nilai religious, moral, dan sosial; sedangkan dalam karya ilmiah penulis juga ditemukan nilai budaya.

E. Kerangka Berpikir
Dalam novel Sang Pemimpi terdapat dua segi yang akan penulis analisis, yaitu: gaya bahasa yang digunakan pengarang dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalamnya. Gaya bahasa dalam novel Sang Pemimpi terdapat empat macam yaitu perbandingan, perulangan, pertentangan, dan penegasan. Keempat gaya bahasa tersebut masih mempunyai beberapa bagian lagi.
Hasil analisis tersebut mampu menjelaskan beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang yaitu dalam novelnya, serta dapat mengetahui karakteristik dari pengarang untuk menarik para pembaca dalam memahaminya. Pemahaman novel melalui beberapa gaya bahasa dalam novel Sang Pemimpi juga akan menghasilkan atau memetik beberapa nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi meliputi empat macam nilai pendidikan, yaitu: nilai pendidikan moral, religius, sosial, dan budaya. Semua nilai yang ditemukan tersebut akan dapat bermanfaat bagi para pembaca novel Sang Pemimpi.
























II.               METODOLOGI PENELITIAN


A.    Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian tidak terikat pada satu tempat karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) sastra, yaitu novel Sang Pemimpi. Penelitian ini bukan penelitian yang analisisnya bersifat statis melainkan sebuah analisis yang dinamis yang dapat terus dikembangkan. Adapun waktu penelitian direncanakan selama delapan bulan yaitu Januari sampai dengan Juni 2014.
B.     Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
C.    Sumber Data
Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses penelitian. Dalam mendapatkan data, dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi. Adapun triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teori, yaitu secara penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda dalam menganalisa data.
D.    Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model analisis mengalir, yang meliputi tiga komponen, yaitu 1) reduksi data; 2) penyajian data; dan 3) penarikan simpulan. Analisis model mengalir mempunyai tiga komponen yang saling terjalin dengan baik, yaitu sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan pengumpulan data. Penjelasannya sebagai berikut.

1. Reduksi data

Pada langkah ini data yang diperolah dicatat dalam uraian yang terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang gaya bahasa dan nilai pendidikan yang terdapat di dalam novel Sang Pemimpi.
Informasi-informasi yang pengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.
2. Sajian data
Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang gaya bahasa yang digunakan, kejelasan makna dari gaya bahasa tersebut dan nilai pendidikannya.
3. Penarikan simpulan/ verifikasi
Pada tahap ini dibuat kesimpulan tentang hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang diperoleh benar-benar valid.
G. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut.
1. Pengumpulan data
Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data berupa kutipan-kutipan yang menunjukkan penggambaran nilai pendidikan dan pemakaian gaya bahasa dari novel Sang Pemimpi.
2. Penyeleksian data
Data-data yang telah dikumpulkan, kemudian diseleksi serta dipilah-pilah mana saja yang akan dianalisis.
3. Menganalisis data yang telah diseleksi.
4. Membuat laporan penelitian.

Laporan penelitian merupakan tahap akhir dari serangkaian proses. merupakan tahap penyampaian data-data yang telah dianalisis, dirumuskan, dan ditarik kesimpulan. Kemudian dilakukan konsultasi dengan pembimbing. Tulisan yang sudah baik disusun menjadi laporan penelitian, disajikan dan diperbanyak.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada skema prosedur penelitian berikut:


Pengumpulan data

Penyeleksi data

Analisis Data

Penyeleksian data


Post a Comment for "ANALISIS GAYA BAHASA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA"