Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS VIII SMP


A.    Latar Belakang
           Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Dalam mewujudkan hal tersebut, diperlukan usaha yang keras baik dari masyarakat maupun pemerintah.
Masyarakat Indonesia masih menghadapi masalah berat dalam bidang pendidikan, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional adalah lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dan telah melakukan pembaharuan sistem pendidikan. Usaha tersebut antara lain adalah penyempurnaan kurikulum, perbaikan sarana dan prasarana, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar.
           Bahasa adalah alat komunikasi. Bahasa mempunyai dua fungsi, bisa melalui bahasa lisan dan bahasa tulis. Menurut Nurgiyantoro (2010: 423), menulis ialah aktivitas aktif produktif, yaitu aktivitas menghasilkan bahasa. Hal ini diperkuat dengan pendapat Tarigan (2008: 4), dalam kehidupan modern ini jelas bahwa keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Kiranya tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa keterampilan menulis merupakan suatu ciri dari orang yang terpelajar atau bangsa yang terpelajar.  Keberhasilan pelajar dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar banyak ditentukan kemampuannya dalam menulis. Oleh karena itu, pembelajaran menulis mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Keterampilan menulis harus dikuasai anak sedini mungkin.
           Dalam kurikulum pendidikan menurut Nida dan Harris (dalam Tarigan, 2008: 1), keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills). Setiap keterampilan itu berhubungan erat dengan keterampilan lainnya. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa biasanya kita mendapatkannya secara berurutan. Mula-mula semasa kecil kita belajar menyimak bahasa yang kita dengar disekitar kita, kemudian berbicara, setelah itu membaca dan terakhir adalah menulis.
             Menulis bukan hal yang mudah sehingga keterampilan menulis pada seseorang tidak dimiliki dengan sendirinya. Hal ini menuntut latihan yang cukup dan  teratur serta pendidikan yang berprogram. Seseorang harus belajar dan mengasah kemampuannya secara terus-menerus melalui pelatihan secara nyata dalam bentuk praktik langsung menulis bukan hanya teori tentang kemenulisan. Untuk mampu menjadi penulis yang mahir, siswa tidak cukup hanya dengan mempelajari pengetahuan tentang struktur kalimat yang efektif, diksi yang tepat, penulisan ejaan dan tanda baca yang benar tetapi berlatih menulis secara rutin. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran menulis kurang mendapatkan perhatian dari guru dan pelajaran mengarang dianaktirikan. Hal ini merupakan faktor utama yang menyebabkan kurangnya keterampilan menulis siswa. Ketidakmampuan dalam berbahasa khususnya dalam menulis cerita pendek (cerpen) sering dialami siswa. Hal ini disebabkan selama ini proses pembelajaran sastra terutama cerpen masih menggunakan metode konvensional. Hal tersebut mengakibatkan siswa kurang tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran. Guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan penugasan. Siswa kesulitan menentukan ide dan menuangkannya dalam kalimat sehingga siswa kurang antusias pada pembelajaran menulis cerpen. Selain itu, minimnya buku-buku tentang sastra dan alokasi waktu yang terbatas dijadikan alasan kurang optimalnya pembelajaran sastra.
           Fenomena serupa juga terjadi di kelas VIII Smp Negeri 17 Purworejo khususnya pada pembelajaran menulis cerpen. Selama proses pembelajaran guru lebih banyak memberikan teori tentang cerpen sehingga kegiatan praktik bagi siswa sangat minim. Agar kegiatan pembelajaran sastra khususnya menulis cerpen lebih diminati siswa, guru sebaiknya memilih model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran Bermain Peran  peneliti rasa sebagai model pembelajaran yang tepat jika digunakan dalam pembelajaran menulis cerpen. Berakar dari kesulitan siswa dalam memahami dan menerapkan unsur intrinsik dalam cerpen yang dibuatnya serta kesulitan dalam mengembangkan ide cerita dipilihlah model pembelajaran Bermain Peran.
           Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematika dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk untuk mencapai tujuan belajar (Trianto, 2010: 52) .  Meski dalam menentukan model pembelajaran itu sulit, tetapi guru harus bisa berasumsi bahwa diperlukan model pembelajaran yang kreatif, efektif, dan menyenangkan agar dapat membuat siswa lebih bersemangat dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Salah satu model yang dapat digunakan untuk merangsang keterampilan siswa dalam menulis adalah bermain peran.
             Melalui bermain peran, para peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan antarmanusia dengan cara memeragakan dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah. Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan sosial. Dari dimensi pribadi, model ini berusaha membantu peserta didik menemukan makna dari lingkungan sosial yang bermanfaat bagi dirinya dan juga melalui model ini para peserta didik diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang beranggotakan teman-teman sekelas. Dari dimensi sosial, model ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dalam menganalisi situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut hubungan antarpribadi peserta didik (Komara, 2009). Dengan demikian, melalui model ini peserta didik juga dilatih untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
           Bermain peran merupakan salah satu media yang cocok untuk digunakan dalam pembelajaran bermain peran. Bermain peran juga dapat digunakan untuk merangsang kreativitas siswa untuk berekspresi, percaya diri, dan belajar menulis. sehingga dapat mendorong proses belajar-mengajar. Dengan bermain peran tesebut diharapkan dapat membangkitkan kreativitas siswa dan diperoleh pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa. Dalam bermain peran tidak hanya siswa yang harus aktif, tetapi guru juga dituntut kreatif dalam melaksanakan metode ini. Guru dalam hal ini sebagai fasilitator dan memberikan motivasi kepada siswa.

B.     Rumusan Masalah
           Berdasarkan latar belakang pelaksanaan tindakan tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah proses peningkatan keterampilan menulis melalui metode bermain peran pada siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Purworejo?
2.      Bagaimana tingkat keberhasilan keterampilan menulis melalui metode bermain peran pada siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Purworejo?

C.    Tujuan Penelitian
           Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:
1.         mendeskripsikan dan menjelaskan proses peningkatan keterampilan menulis melalui metode bermain peran pada siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Purworejo;
2.         mengetahui tingkat keberhasilan keterampilan menulis melalui metode bermain peran pada siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Purworejo.


        I.          TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A.    Tinjauan Pustaka
           Penelitian tentang menulis telah dilakukan oleh beberapa peneliti, sebagai contoh adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Siti Afriyani (2010) dan Suwadi (2010).
           Penelitian-penelitian tersebut berbentuk skripsi, anatara lain penelitian yang dilakukan oleh
11
 
 Irawanti dalam skripsinya yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Media Audio Visual pada Siswa Kelas X.2 SMA PGRI Karangmalang Sragen Tahun Ajaran 2009/2010. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawanti menunjukkan adanya peningkatan keterampilan dan motivasi siswa pada pembelajaran menulis cerpen melalui penggunaan metode audio visual. Hal ini dapat dilihat dari: (1) siswa dapat menulis dengan baik sesuai dengan kriteria penulisan cerpen yang telah ditetapkan yaitu; aspek penggunaan alur, tokoh, pendeskripsian latar, gaya bahasa, sudut pandang dan kesesuaian tema dengan cerita, sebelum tindakan nilai rata-rata kelas 53 dengan kategori kurang. Selanjutnya nilai rata-rata kelas pada siklus I meningkat menjadi rata-rata 73, dan pada siklus II nilai rata-rata kelas juga mengalami peningkatan menjadi 78 dengan kategori baik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan media audio visual dalam pembelajaran menulis cerpen dapat meningkatkan keterampilan menulis cerpen dan meningkatkan motivasi siswa terhadap pembelajaran menulis cerpen.
           Persamaan penelitian yang dilakukan Irawanti dengan peneliti yaitu upaya peningkatan keterampilan menulis cerita pendek. Dari hasil penelitian yang dilakukan Irawanti menunjukkan adanya peningkatan nilai dari prasiklus sampai  akhir  siklus II yaitu sebesar 25%. Penggunaan media pembelajaran audio visual dapat menarik minat siswa dan memberikan motivasi pada siswa untuk lebih aktif mengikuti kegiatan pembelajaran menulis cerpen sehingga kemampuan menulis siswa juga meningkat. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan nilai pada setiap siklusnya. Perbedaan yang mendasar antara penelitian yang dilakukan oleh Irawanti dengan peneliti yaitu dalam penelitian Irawanti digunakan media pembelajaran audio visual dalam pembelajaran menulis cerpen. Sementara itu, peneliti menggunakan model pembelajaran bermain peran. Peneliti memilih model pembelajaran bermain peran sebagai model pembelajaran untuk mengajarkan materi menulis cerpen karena model pembelajaran ini menuntut peran aktif siswa. Dalam kegiatan pembelajaran ini, siswa dituntut untuk bisa menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk bermain peran. Menurut peneliti, model pembelajaran bermain peran mampu menarik minat siswa untuk untuk menulis sehingga dapat menghasilkan sebuah cerpen yang berkualitas.
           Suwadi (2010) yang berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Teknik Bermain Peran Bagi Siswa Kelas V SDN 2 Ngali Kecamatan Belo Kabupaten Bima Tahun 2010-2011. Dalam penelitian tersebut, terjadi peningkatan yang signifikan pada hasil belajar dengan teknik bermain peran, yaitu perolehan nilai di bawah 50 untuk siswa yang termasuk kelompok akademik rendah yang meningkat menjadi 60,5 dan nilai 80 untuk siswa yang berakademik tinggi meningkat menjadi 90. Hal—hal yang diamati dalam pembelajaran dinilai berdasarkan aktifitas kelompok dengan indikator keberhasilan tingkat partisipasi, tanggung jawab, dan kemauan bekerjasama.
           Vitasari (2009) dalam skripsinya berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Model Pembelajaran Bermain Peran pada Siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Kebumen membahas peningkatan keterampilan berbicara dengan model pembelajaran bermain peran dan perubahan perilaku belajar pada siswa. Dalam penelitian ini, ada peningkatan pada skala penilaian dari hasil sebelum implementasi dan setelah implementasi tindakan. Rata-rata nilai pada saat sebelum implementasi sebesar 66,32, rata-rata nilai pada siklus I sebesar 71,42 dan rata-rata nilai pada siklus II sebesar 77,84. Jadi ada peningkatan sebesar 11,52. Keberhasilan juga dapat dilihat dari proses siswa menjadi aktif dan antusias mengikuti pembelajaran berbicara serta pembelajaran berlangsung dengan menyenangkan.
           Penelitian yang menganalis peningkatan berbicara yang dilakukan Suwadi (2010) dan  Vitasari (2009) relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Secara garis besar persamaan terletak pada upaya peningkatan kemampuan berbicara dengan metode bermain peran, sedangkan perbedaan terletak pada objek yang diteliti.
           Penelitian ini difokuskan pada kemampuan menulis siswa dan proses pembelajaran siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Purworejo dengan metode bermain peran.
  
B.     Kajian Teoretis
1)      Pengertian Menulis
           Keterampilan menulis merupakan salah satu dari aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif. Menulis merupakan cara berkomunikasi kepada orang lain yang dilakukan tidak secara langsung sehingga dibutuhkan media perantara yang berupa alat tulis.
           Kunandar (2010: 1) berpendapat bahwa menulis ialah suatu sarana untuk menyampaikan buah pikiran, gagasan, ide, pengetahuan, harapan, dan pesan. Senada dengan hal ini, Tarigan (2008: 24) berpendapat bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa.
            Sehubungan dengan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis ialah cara berbicara yang tidak langsung untuk mengungkapkan gagasan, perasaan, pikiran, dan kemauan kepada orang lain secara tertulis. Dengan menulis, kita dapat mengungkapkan gagasan dan pikiran sesuai dengan keinginan kita. Untuk  melakukan kegiatan menulis dibutuhkan kemauan yang keras dan motivasi dari dalam diri sendiri agar tulisan yang kita hasilkan menjadi berkualitas.
a.       Manfaat Menulis
           Kegiatan menulis banyak sekali manfaatnya bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Manfaat menulis bagi diri sendiri yaitu kita dapat mengenali potensi diri, mengembangkan berbagai ide kreatif yang ada di benak kita. Kegiatan menulis juga dapat membuat wawasan kita menjadi luas karena orang yang senang menulis pasti akan senang membaca. Seperti yang kita ketahui, dari buku yang kita baca ada banyak informasi yang kita dapatkan.
           Manfaat menulis juga banyak dikemukakan oleh beberapa ahli. Tarigan mengemukakan (2008: 22),  menulis sangat besar manfaatnya  bagi dunia pendidikan karena memudahkan para pelajar berpikir. Juga dapat menolong kita berpikir secara kritis. Memudahkan kita merasakan dan menikmati hubungan-hubungan, memperdalam daya tanggap atau persepsi kita, memecahkan masalah-masalah yang kita hadapi, menyusun urutan bagi pengalaman.
           Dengan demikian, kegiatan menulis banyak manfaatnya terutama dalam bidang pendidikan. Menulis dapat memudahkan pelajar untuk berpikir. Dengan menulis, seseorang akan bertambah pengetahuannya  karena orang yang senang melakukan kegiatan menulis secara otomatis ia akan melakukan kegiatan membaca. Seperti yang kita ketahui, membaca merupakan jendela dunia. Menulis juga dapat digunakan untuk menjelaskan suatu hal yang telah kita ketahui kepada pembaca sehingga pembaca dapat mendapatkan informasi setelah membaca tulisan kita. Selain itu, menulis dapat membantu kita memecahkan masalah. Menulis dapat membantu kita untuk menjernihkan pikiran dan menghilangkan trauma, setiap orang tentunya memiliki permasalahan dalam hidup. Banyak orang yang melakukan hal-hal bodoh karena permasalahan itu semakin menghimpit kita dan membuat kita penat. Jika kita berada di posisi itu, tidak ada salahnya kita ambil buku dan mulailah menulis. Dengan menulis kita bisa mendapatkan ketenangan karena permasalahan yang melilit kita dapat kita tuangkan dalam bentuk tulisan.
b.      Tujuan Menulis
           Sejak awal, penulis harus mengetahui maksud dan tujuan yang hendak dicapai sebelum menulis. Menurut Akhmadi (1989: 28), program pengajaran menulis pada dasarnya dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan, tujuan-tujuan tersebut yaitu: (1) mendorong siswa untuk menulis dengan jujur dan bertanggung jawab, dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa secara hati-hati, integritas, dan sensitif; (2) merangsang imajinasi dan daya intelek siswa; (3) menghasilkan karangan yang bagus organisasinya, tepat, jelas, dan ekonomis penggunaan bahasanya.    Tarigan (2008: 24-25) menyatakan bahwa tujuan menulis yang berbeda akan menghasilkan tulisan yang berbeda. Misalnya: (a) tulisan yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengajar disebut wacana informatif; (b) tulisan yang bertujuan untuk meyakinkan atau mendesak disebut wacana persuasif; (c) tulisan yang bertujuan untuk menghibur, menyenangkan atau yang mengandung tujuan estetik disebut tulisan literer; (d) tulisan yang mengekspresikan perasaan dan emosi yang kuat atau berapi-api disebut wacana ekspresif.
           Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan menulis adalah untuk mengungkapkan gagasan dan pendapat yang bertujuan untuk menghibur, menginformasikan, mempengaruhi, mengajak, dan meyakinkan pembaca mengenai tulisan penulis. Sebelum memulai kegiatan menulis hendaknya penulis menentukan tujuan penulisan, agar tulisan kita benar-benar bermanfaat bagi pembaca.
c.       Ragam Tulisan
           Tulisan diklasifikasikan berdasarkan bentuknya, Salisbury mengklasifikasikannya menjadi: (1) bentuk-bentuk objektif, yang mencakup penjelasan yang terperinci mengenai proses, batasan, laporan, dokumen; dan (2) bentuk subjektif, yang mencakup otobiografi, surat-surat, penilaian pribadi, esai informal, potret/gambaran, dan satire (Tarigan, 2008: 27).
           Demikian juga Weayer membuat klasifikasi berdasarkan bentuknya sebagai berikut: (1) eksposisi, yang mencakup definisi dan analisis; (2) deskriptif, yang mencakup deskripsi ekspositori dan literer; (3) narasi, yang mencakup urutan waktu, motif, konflik, titik pandangan dan pusat minat; dan (4) argumentasi, yang mencakup induksi dan deduksi (Tarigan, 2008: 28).
           Brooks dan Warren mengelompokkan tulisan berdasarkan bentuknya menjadi empat, yaitu (1) eksposisi; (2) persuasi; (3) argumen; (4) deskripsi (Tarigan, 2008: 29).
           Berdasarkan uraian di atas, ragam tulisan dapat dibedakan menjadi: karangan argumentasi yang mencakup persuasi yaitu karangan yang bertujuan meyakinkan pembaca akan suatu kebenaran; karangan narasi yaitu karangan yang bertujuan menceritakan tentang suatu kejadian secara kronologis, hal yang diceritakan dapat berupa fakta ataupun fiktif belaka; karangan deskripsi yaitu karangan yang menggambarkan tentang suatu objek; karangan eksposisi yaitu karangan yang bertujuan memaparkan atau memberikan informasi kepada pembaca sehingga wawasan pembaca bertambah luas.
d.      Tahapan  Menulis
           Untuk menghasilkan tulisan yang baik, umumnya orang melakukan kegiatan menulis berkali-kali. Menulis merupakan serangkaian aktivitas yang terjadi dan melibatkan beberapa fase yaitu fase prapenulisan, fase penulisan, dan fase pascapenulisan. Berikut ini uraian mengenai ketiga fase menulis yang dikemukakan Suparno dan Muhammad Yunus (2008: 15).
1.    Tahap Prapenulisan
           Prapenulisan adalah tahap persiapan untuk menulis. Menurut Proett dan Gill, tahap ini merupakan fase mencari, menemukan, dan mengingat kembali pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh dan diperlukan penulis (Suparno dan Muhammad Yunus, 2008: 16). Tujuannya adalah untuk mengembangkan isi serta mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam menulis sehingga apa yang ingin ditulis dapat disajikan dengan baik.
Adapun tahap yang dilakukan siswa pada tahap prapenulisan yaitu:
a)      Menentukan topik
Topik adalah persoalan yang menjiwai seluruh karangan. Untuk menentukan topik banyak orang mengalami kesulitan tetapi ada pula yang mudah menentukan topik. Masalah yang sering muncul dalam menentukan topik yaitu: (1) sangat banyak topik yang dipilih, (2) tidak memiliki ide sama sekali tentang topik yang menarik, (3) terlalu ambisius sehingga topik yang dipilih terlalu luas.
b)     Menetapkan tujuan penulisan
Setelah mendapatkan topik yang baik, langkah selajutnya yaitu menentukan maksud dan tujuan penulisan. Yang di maksud dengan tujuan dalam konteks ini adalah tujuan mengarang, seperti menghibur, memberi tahu atau menginformasikan, mengklarifikasikan dan membujuk. Tujuan menulis ini perlu diperhatikan selama penulisan berlangsung agar misi karangan dapat tersampaikan dengan baik.
c)      Memperhatikan sasaran karangan (pembaca)
Agar isi tulisan dapat sampai kepada pembaca, penulis harus memperhatikan siapa yang akan membaca karangannya, bagaimana level pendidikan dan status sosialnya. Britton menyatakan bahwa keberhasilan menulis dipengaruhi oleh ketepatan pemahaman penulis terhadap pembaca tulisannya (Suparno dan Muhammad Yunus, 2008: 19). Kemampuan ini memungkinkan kita sebagai penulis untuk memilih informasi serta cara penyajian yang sesuai.
d)     Mengumpulkan bahan atau informasi yang diperlukan
Sebelum menulis, penulis perlu mencari, mengumpulkan, dan memilih informasi yang dapat mendukung, memperluas, memperdalam, dan memperkaya isi tulisan. Tanpa wawasan yang luas, maka hasil tulisan akan dangkal dan kurang bermakna.
e)      Mengorganisasikan  ide.
Pengorganisasian ide-ide sering disebut kerangka karangan. Kerangka karanga adalah suatu rencana kerja yang memuat garis-garis besar karangan yang akan ditulis (Keraf:  2008: 182). Dengan kata lain, kerangka karanga adalah panduan seseorang dalam menulis ketika mengembangkan suatu karangan.
1)      Tahap Penulisan
Dalam tahap ini, penulis mengembangkan kerangka karangan dengan memanfaatkan bahan atau informasi yang telah penulis pilih dan kumpulkan. Struktur karangan terdiri atas bagian awal, isi, akhir. Bagian awal berfungsi untuk memperkenalkan dan sekaligus menggiring pembaca terhadap pokok tulisan. Bagian ini sangat menentukan pembaca untuk melanjutkan kegiatan bacanya. Isi karangan menyajikan bahasan topik atau ide utama karangan. Akhir karangan berfungsi untuk mengembalikan pembaca pada ide-ide inti karangan melalui perangkuman.
2)      Tahap Pascapenulisan
Tahap ini merupakan tahap penghalusan dan penyempurnaan buram yang dihasilkan. Kegiatannya terdiri atas penyuntingan dan perbaikan. Kegiatan ini bisa terjadi beberapa kali. Tompkins dan Hosskisson, membedakan pengertian penyuntingan dan perbaikan. Menurut mereka, penyuntingan adalah pemeriksaan dan perbaikan unsur mekanik karangan seperti ejaan, pungtuasi, diksi, pengkalimatan, pengalineaan, gaya bahasa, pencatatan kepustakaan, dan konvensi penulisan lainnya. Adapun perbaikan lebih mengarah pada pemeriksaan dan perbaikan isi karangan (Suparno dan Muhammad Yunus, 2008: 24).
Dari berbagai pendapat mengenai tahap-tahap menulis yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan suatu proses sehingga dalam kegiatan tersebut diperlukan tahapan-tahapan yang harus dilakukan penulis. Tahap-tahapan tersebut yaitu tahap prapenulisan, tahap menulis, tahap pascapenulisan.
e.       Hambatan-hambatan Menulis
Banyak yang beranggapan bahwa menulis merupakan pekerjaan yang sulit. Padahal menulis bukan merupakan hal yang baru, sejak SD kita sudah mendapatkan pelajaran menulis. Namun, banyak yang mengeluh bahwa menulis karya sastra merupakan hal yang sulit. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat. Faktor penghambat itu perlu diketahui, agar kita bisa mengatasi permasalahan tersebut. Wardhana (2007: 5) mengemukakan faktor yang menjadi penghambat kegiatan menulis seseorang yaitu:
1)      Faktor internal, yaitu faktor penghambat yang berasal dari diri sendiri. Faktor internal terdiri atas:
a)  Belum mempunyai kebiasaan/kegiatan membaca buku
Beberapa fakta menunjukkan bahwa faktor penghambat kegiatan  menulis yaitu belum mempunyai kebiasaan membaca buku. Kegiatan membaca buku erat kaitannya dengan kemampuan menulis. Dengan banyak membaca buku wawasan kita akan luas. Hal ini sangat membantu kita untuk membuat tulisan yang berkualitas. Namun, di Indonesia kebiasaan membaca buku masih tergolong rendah. Jika kita ingin menjadi penulis yang berkualitas, maka perbanyak membaca buku menjadi salah satu solusinya.
b)     Belum memiliki kemampuan berbahasa yang baik
Sebagian besar orang  belum menguasai kemampuan berbahasa dengan baik sehingga berdampak pada kuantitas dan kualitas tulisan yang dihasilkan tergolong rendah. Kemampuan berbahasa yang baik sangat diperlukan dalam menulis, karena menulis adalah kegiatan berbahasa secara tidak langsung. Kemampuan berbahasa yang dimaksud adalah kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan juga kemampuan berbahasa asing.
c)      Belum ada minat untuk menulis.
Faktor belum ada minat untuk menulis merupakan faktor penghambat yang paling utama yang harus segera diatasi. Faktor ini seringkali ditutup-tutupi dengan dalih tidak ada waktu untuk menulis.
2)  Faktor eksternal, yaitu faktor penghambat yang berasal dari luar. Terdiri atas:
a)  Kesulitan mendapat bahan acuan untuk menulis
Kesulitan mendapatkan bahan acuan sebenarnya tidak sepenuhnya benar karena buku acuan tidak terlalu sulit untuk didapatkan. Hal itu juga dapat diatasi dengan adanya jaringan internet. Jaringan internet memudahkan  kita mencari bahan acuan yang diperlukan.
b)     Kesulitan menemukan topik bahan tulisan
Kesulitan untuk menemukan topik tulisan biasanya terjadi pada orang yang belum memiliki kebiasaan membaca sehingga sulit untuk menentukan topik  tulisan. Jadi kemauan atau kebiasaan membaca sangat penting artinya bagi kemudahan menentukan topik tulisan. Orang yang banyak membaca pada umumnya akan banyak  mempunyai gagasan yang dapat dituangkan.
c)      Kesulitan dalam menyusun tulisan  yang baku.
Kesulitan dalam menyusun tulisan yang baku dapat diatasi apabila sudah diketahui cara menyusun kalimat yang efektif dan perlu latihan untuk membuat kalimat  baku.
Faktor penghambat yang ada tidak sama untuk setiap orang, masing-masing mempunyai faktor penghambat sendiri. Akan tetapi, faktor penghambat yang harus diatasi lebih dulu adalah faktor belum ada minat untuk menulis.
2)      Hakikat Cerita Pendek
a. Pengertian Cerita Pendek
Dalam dunia kesastraan kita mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam dunia kesastraan sering disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Karya fiksi biasanya menyajikan tentang berbagai permasalahan manusia, baik dari segi moral, ekonomi, agama, maupun sosial. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi sesuai pandangannya. Dewasa ini tampaknya penyebutan karya fiksi hanya tertuju pada jenis karya yang berbentuk prosa naratif, di antaranya novel dan cerpen. Novel adalah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, biasanya menceritakan tentang seseorang dari ia lahir sampai mati. Di dalamnya terdapat permasalahan yang menjadi konflik cerita sedangkan cerpen adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi.
Sukirno (2009: 64) berpendapat bahwa cerpen ialah cerita yang isinya mengisahkan peristiwa pelaku cerita secara singkat dan padat tetapi mengandung kesan yang mendalam. Peristiwa itu dapat nyata atau imajinasi saja.
Nurhayati (2012: 6) berpendapat bahwa cerpen merupakan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia yang di dalamnya tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari para pelakunya.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 10), cerpen sesuai namanya ialah cerita yang pendek. Akan tetapi, panjang pendek tulisan itu memang tidak ada kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Begitu pula pendapat dari para ahli bahwa sebenarnya tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai pengertian cerpen, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen berbeda dengan novel. Cerpen ialah cerita rekaan atau cerita pendek. Seberapa pendek cerpen tersebut adalah cerpen selesai dibaca hanya sekali duduk. Cerpen haruslah ketat dan padat, karena bentuknya yang padat cerpen hanya memiliki satu plot, satu perwatakan, dan satu tema. Sedangkan  dalam novel, terdapat berbagai plot dan tema, dengan berbagai variasi perwatakan.

a.    Unsur Intrinsik Cerita Pendek
Pada umumnya membaca novel, cerpen atau karya fiksi lainnya yang pertama menarik perhatian adalah ceritanya. Nurgiyantoro (2010: 90) menjelaskan bahwa aspek cerita sebuah fiksi merupakan sesuatu hal yang amat  esensial. Ia memiliki peranan yang sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita. Setiap karya sastra memiliki unsur pembangun  yang saling berkaitan. Unsur-unsur pembangun cerpen merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut. Jadi, jika kita ingin membuat karya fiksi yang menarik dan berkualitas sebaiknya kita tidak mengabaikan satu pun unsur tersebut. Berikut ini unsur-unsur intrinsik cerpen:

1)   Tema
Setelah kita membaca sebuah cerita, tentunya kita selalu mempertanyakan tentang makna sebuah karya. Makna dari sebuah cerita biasanya diungkapkan secara eksplisit sehingga untuk memperolehnya dibutuhkan suatu penafsiran. Makna pokok sebuah cerita biasanya disebut sebagai tema. Banyak pengarang yang memilih dan mengangkat masalah hidup dan kehidupan menjadi tema ke dalam karya fiksi yang mereka ciptakan. Berbagai masalah yang diceritakan dapat berupa pengalaman yang bersifat individual maupun sosial. Misalnya: cinta, kecemasan, dendam, persahabatan, kesombongan, takut, maut, kepahlawanan, kebenaran, dan sebagainya.
Pendapat yang mendukung Stanton adalah Nurgiyantoro (2010: 70) yang mengatakan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar-dasar cerita, gagasan dasar umum. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan pokok yang terdapat dalam sebuah cerita. Tema biasanya mengambil bentuk yang paling umum dari kehidupan.
2)   Amanat
Dengan mengungkapkan tema yang tersirat dalam sebuah cerita, tentu pengarang mempunyai maksud dan tujuan agar pembaca mengambil manfaat dan menjauhi hal-hal yang tidak baik. Inilah pesan atau amanat yang hendak disampaikan pengarang melalui cerita karangannya itu.
Menurut Sukirno (2009: 68), amanat ialah pesan moral pengarang yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya agar di akhir cerita itu pembaca dapat memetik hikmah di balik peristiwa itu.
Jadi, amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Penyampaian pesan tersebut dapat dilakukan secara impilisit yaitu dengan cara memberikan ajaran atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat yang berhubungan denga gagasan utama cerita.

3)   Alur
Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai unsur terpenting dari berbagai unsur fiksi yang ada. Stanton (2007: 26) berpendapat alur ialah rangkaian persitiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinka dan logis. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Alur merupakan tulang punggung cerita. Menurutnya, dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks.
Menurut Sukirno (2009: 65), alur cerita jika dilihat dari urutan peristiwanya terdiri atas bagian awal, tengah, akhir. Lebih terinci lagi terdiri atas eksposisi, konflik, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Jika dilihat dari jenisnya, alur dapat dikelompokkan menjadi: (1) alur maju (progresif) peristiwa diceritakan dari awal, tengah, dan akhir; (2)  alur mundur (regresif) peristiwa diceritakan dari bagian akhir, tengah, baru bagian awal; (3) alur gabungan (alur maju-mundur) peristiwa kadang-kadang dari bagian tengah, baru ke bagian awal dan akhir; dan (4) alur melingkar, peristiwa diceritakan dari awal hingga akhir tetapi akhir peristiwa kembali ke awal. Jika dilihat dari cara mengakhiri cerita, terdapat alur tertutup (pengarang telah menyimpulkan atau menyelesaikan cerita) dan alur terbuka (pengarang tidak menyelesaikan akhir cerita, pembaca atau penyimak dipersilakan untuk menyimpulkan sendiri akhir cerita itu).
Brooks and Warren berpendapat bahwa alur ialah struktur gerak dan laku dalam suatu fiksi atau drama (Tarigan, 2008: 156). Pada dasarnya, alur kebanyakan mengikuti pola tradisional, dengan unsur-unsur yang terlihat pada gambar berikut.
Turning Point
                                    Ricing action
                        Complication                                                   Ending
                                   Exposition
Gambar 1. Unsur-unsur alur
Penjelasan setiap istilah yang terdapat pada gambar di atas ialah sebagai berikut.
a)      Exposition: pengenalan para tokoh, pembukaan hubungan-hubungan, menata adegan, menciptakan suasana, penyajian sudut pandang.
b)      Complication: peristiwa permulaan yang menimbulkan beberapa masalah, pertentangan, kesukaran, atau perubahan.
c)      Ricing action: mempertinggi/meningkatkan perhatian kegembiraan, kehebohan, atau keterlibatan pada saat bertambahnya kesukaran-kesukaran atau kendala-kendala.
d)      Turning Point: krisis atau klimaks, titik emosi, dan perhatian yang paling besar serta mendebarkan, apabila kesukaran atau masalah dihadapi dan diselesaikan.
e)      Ending: penjelasan peristiwa-peristiwa, bagaimana caranya para tokoh itu dipengaruhi, dan apa yang terjadi atas diri mereka masing-masing.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur ialah rangkaian peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan kausalitas. Alur sebuah karya fiksi biasanya bersifat misterius, artinya alur menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik bahkan mencekam pembaca
4)   Latar
Berhadapan dengan karya fiksi tentunya kita berhadapan dengan sebuah dunia. Dalam menghadirkan tokoh penghuni dan permasalahannya karya fiksi tidak dapat terlepas dari ruang lingkup, tempat, dan waktu yang biasa disebut latar. Tahap awal karya fiksi biasanya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk menciptakan kesan realistis kepada pembaca.
Menurut Tarigan (2008: 164), latar ialah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Menurutnya, latar mencakup tempat, waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dalam kegiatan itu. Sementara itu, Stanton (2007: 35) berpendapat bahwa latar ialah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Menurut Sukirno (2009: 68), latar cerita terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar situasi. Latar tempat dapat berupa alam yang terbuka luas, di dalam ruang yang luas, dan di ruang yang lebih sempit. Latar waktu dapat menunjukkan pukul, pagi, siang, sore, malam, hari, pekan, bulan, tahun, dan zaman. Adapun latar situasi berupa penceritaan tentang situasi hujan, terang, sibuk, tenang, marah, aman, rusuh, duka, suka, menyendiri, banyak orang, dan situasi-situasi yang lainnya.  
Uraian di atas telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dengan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar merupakan lingkungan fisik tempat peristiwa berlangsung.
5)   Tokoh dan Penokohan
Dalam karya naratif tokoh dan penokohan merupakan unsur penting. Tokoh adalah individu ciptaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa dalam cerita. Pada umumnya tokoh cerita berwujud manusia, tetapi dapat pula berwujud binatang.
Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2010: 165).
Fiksi merupakan karya kreatif sehingga bagaimana cara pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan kreativitasnya. Meskipun tokoh dalam karya fiksi hanyalah individu rekaan, tokoh itu harus hidup secara wajar, sewajar bagaimana kehidupan manusia yang memiliki pikiran dan perasaan. Tokoh cerita bisanya berperan sebagai penyampai pesan atau amanat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Tokoh dalam karya sastra dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan menjadi:
a)      Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya fiksi yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh tambahan adalah tokoh sampingan yang kemunculannya hanya sedikit. Meskipun begitu tokoh tambahan memiliki peranan dalam cerita tersebut.
b)     Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi. Biasanya tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang menjadi pandangan kita, harapan-harapan kita sebagai pembaca. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik dalam sebuah cerita.
c)      Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat tertentu. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
Penokohan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan keutuhan dan keartistikan sebuah fiksi. Penokohan adalah proses yang dipergunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya (Tarigan, 2008: 147). Masalah penokohan dalam sebuah karya fiksi tidak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. Beberapa teknik pemunculan tokoh dalam karya fiksi yaitu:
a)      Teknik ekspositori
Teknik ekspositori yaitu pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja secara langsung disertai dengan deskripsi yang berupa sifat, watak, tingkah laku dan ciri fisiknya.
b)     Teknik dramatik
Teknik dramatik yaitu pelukisan tokoh dilakukan secara tidak langsung yang biasanya ditampilkan pada drama. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan tingkah laku tokoh. pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan karakternya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik melalui tingkah laku maupun ucapan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita. Tugas pengarang ialah membuat tokoh itu sebaik mungkin, seolah-olah tokoh itu benar-benar hidup.

6)   Sudut Pandang
Ketika kita membaca dua karya fiksi yang berbeda, kita akan berhadapan dengan dua pengarang yang berbeda pula. Pengarang tersebut dari satu sisi dapat dipandang sebagai tokoh cerita tetapi dapat juga dipandang sebagai si pencerita.
Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton dikemukakan sebagai sarana cerita. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita.
Menurut Tarigan (2008: 136), sudut pandang ialah posisi fisik, tempat persona/pembicara melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau peristiwa-peristiwa, merupakan perspektif/pemandangan fisik dalam ruang dan waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada. Dalam hal ini, Tarigan membagi sudut pandang menjadi empat jenis, yaitu: (1) sudut pandangan terpusat pada orang pertama; (2) sudut pandangan berkisar sekeliling orang pertama; (3) sudut pandangan orang ketiga terbatas; (4) sudut pandangan orang ketiga serba tahu.

7)   Gaya Bahasa
Dalam karya fiksi, bahasa dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada sekadar bahan itu sendiri.
Abrams berpendapat bahwa gaya bahasa ialah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Nurgiyantoro, 2010: 276). Hal itu senada dengan pendapat Stanton (2007: 61), Ia mengemukakan gaya bahasa ialah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
Menurut Keraf (2007: 113), gaya bahasa ialah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.
Jadi, dalam sebuah karya fiksi gaya bahasa digunakan sebagai cara pengarang dalam bercerita. Dalam memilih gaya bahasa, pengarang dapat menggunakan majas untuk memperkuat cerita.
1.      Ciri-ciri Cerita Pendek
             Sebagai karya sastra berbentuk prosa naratif, cerpen tentu saja memiliki unsur intrinsik yang sama dengan jenis prosa lainnya. Selain memiliki unsur intrinsik, cerpen juga memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan karya sastra lainnya. Berikut ini disajikan ciri-ciri khusus cerpen:
a.       Berupa fiksi
            Cerpen termasuk jenis karya fiksi artinya hal yang diceritakan dalam cerpen hanya berupa rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada, tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga ia perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang disebut-sebut dalam fiks adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedangkan dalam karya nonfiksi bersifat faktual. Sebagai karya sastra yang bersifat imajinatif, cerita yang disajikan dalam cerpen biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
b.      Menggunakan alur tunggal
            Alur cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir. Urutan cerita dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan tokoh atau latar. Berhubung memiliki alur tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun bersifat tunggal juga.
c.       Tokoh dalam cerpen sangat terbatas
            Jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam cerpen sangat terbatas dan hanya diceritakan secara sekilas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data tentang jati diri tokoh. khususnya yang berkaitan dengan perwatakan sehingga pembaca merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu.
d.      Latar yang digunakan biasanya tunggal
            Cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang keadaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, yang terpenting mampu memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan.
e.       Isi cerita terbatas pada hal-hal yang penting saja
            Cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas karena bentuknya yang pendek, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang cerita.
2.      Langkah-langkah Menulis Cerita Pendek
Langkah-langkah menulis cerpen bukanlah serangkaian anak tangga yang harus dinaiki secara berurutan. Tetapi, langkah-langkah ini hakikatnya semacam “kompas” pandu. Rangkaian proses menulis cerpen meliputi langkah-langkah berikut:
a.      Menentukan tema
Dalam sebuah cerita selalu terdapat makna penting yang dinamakan tema. Sebelum menulis cerpen, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menentukan tema atau topik. Tema inilah yang menjiwai karangan dan harus dijabarkan dengan sebaik-baiknya, serta menjadi benang karangan dari awal hingga akhir. Terkadang kita dihadapkan dengan tema cinta, derita, kesunyian, kejahatan, persahabatan.

b.      Mengumpulkan ide
Setelah menentukan tema cerita kita harus mengumpulkan ide cerita yang menarik. Ada tiga pertanyaan yang dapat diajukan untuk memilih ide yang efektif. Tiga pertanyaan tersebut yaitu: (1) bisakah tokoh utamamu mengatasi masalahnya sendiri?; (2) haruskah tokoh utamamu berjuang untuk mengatasi masalah?; (3) apakah masalah itu penting bagi tokoh utamamu?
Pemilihan ide pada dasarnya  adalah merekam objek. Suatu peristiwa yang terjadi di alam kenyataan, terjadi begitu saja, biasa dan rutin, bagi seorang pengarang kadang-kadang menjadi sesuatu yang unik  sehingga dapat digunakan sebagai inspirasi untuk menulis cerpen yang menarik.

c.       Membuat  kerangka karangan
Untuk menghasilkan tulisan yang baik, seorang penulis tidak serta merta menulis cerita. Ada tahapan yang harus dilalui yaitu tahap prapenulisan. Hal yang dilakukan sebelum menulis yaitu seseorang harus  membuat kerangka karangan. Kerangka karangan dapat membantu seseorang untuk menentukan pokok persoalan yang akan diceritakan, nama dan watak tokoh yang mengalami persoalan, tempat dan waktu terjadinya peristiwa, konflik yang dialami tokoh, dan posisi kita sebagai pencerita. Pokok persoalan, tokoh, dan peristiwa yang kita ceritakan dapat dari pengalaman pribadi atau hal-hal yang kita alami, kita baca, kita dengar,  kita lihat dalam kegidupan sehari-hari yang dapat kita samarkan, kita tambah agar karya imajinatif kita semakin bervariasi. Mind mapping sebagai alat berpikir kreatif dapat digunakan untuk mempermudah seseorang dalam membuat kerangka karangan sehingga akan mempermudah keluarnya ide kreatif dari dalam diri.

d.      Tentukan bagaimana cara memulai cerita
Pengawalan cerita yang menarik akan menarik minat pembaca untuk terus membaca cerpen kita. Beberapa penulis banyak memulai cerita dengan pengenalan tokoh. Pengenalan tokoh biasanya dibuat  dalam bentuk deskripsi fisik atau mental sang tokoh, baik dalam bentuk uraian langsung ataupun dialog antara tokoh satu dengan tokoh lainnya.  Gambarkan lingkungan alam tempat tokoh berada. Kita dapat memulai dengan mendeskripsikan cuaca, atau kegiatan manusia.

e.       Mulai menulis dengan memberi efek pengurutan dalam cerita dan menentukan sudut pandang
Efek pengurutan sering disebut dengan alur. Ketika kita mulai menulis itu berarti kita telah siap untuk menggunakan jenis alur maju, atau sorot balik. Begitu juga dalam menentukan sudut pandang, kita harus bisa memposisikan diri sebagai penulis. Jika kita ingin terlibat langsung di dalam cerita sebaiknya kita menggunakan sudut pandang orang pertama. Sedangkan jika kita bertindak sebagai penonton, kita mencoba menceritakan apa yang kita dengar, kita lihat dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga.

f.        Menyunting tulisan
Menyunting artinya membenahi hasil pekerjaan yang baru saja selesai. Langkah awal dari penyuntingan adalah membaca ulang secara keseluruhan dengan teliti yang telah kita tulis. Kita periksa bagian-bagian mana saja yang kurang cermat. Selain isi tulisan, ketika melakukan penyuntingan sebaiknya kita juga memperbaiki penggunaan tanda baca, dan ejaan sehingga tulisan kita lebih menyenangkan jika dibaca.

g.      Memberikan Judul
Pemberian judul pada cerpen dilakukan setelah cerpen selesai disunting. Dalam memilih judul hendaknya kita menyesuaikan dengan tema dan cerita.        
3)      Pengertian Bermain Peran
           Menurut Hamzah (2007: 26), bermain peran adalah suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Santosa (dalam Vitasari, 2009; 27) mengatakan bahwa bermain peran adalah mendramatisasikan dan mengekspresikan tingkah laku, ungkapan, dan gerak-gerik seseorang dalam hubungan sosial antarmanusia.
           Jadi, dapat disimpulkan bahwa bermain peran merupakan pembelajaran mendramatisasikan dan mengekspresikan tingkah laku manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman tentang konsep untuk memecahkan masalah yang berkaitan terutama yang menyangkut kehidupan siswa.
           Bermain peran dapat dikatagorikan sebagai salah satu bagian dari strategi cooperatif learning karena peran selalu dimainkan dalam kelompok-kelompok yang menuntut kebergantungan tinggi dari para anggotanya. Kebergantungan positif tersebut adalah kebergantungan dalam pencapaian tujuan, kebergantungan dalam menyelesaikan tugas, kebergantungan bahan, kebergantungan peran, dan kebergantungan hadiah.
Metode Bermain Peran
a)      Hakikat dan Tujuan Metode Bermain Peran
           Melalui bermain peran, para peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan antarmanusia dengan cara memperagakannya dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah. Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat: (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.
           Metode Bermain peran merupakan salah satu media yang cocok untuk digunakan dalam pembelajaran drama. Bermain peran juga dapat digunakan untuk merangsang kreativitas siswa untuk berekspresi, percaya diri, dan belajar berkomunikasi di depan umum, sehingga dapat mendorong proses belajar-mengajar. Dengan bermain peran tesebut diharapkan dapat membangkitkan kreativitas siswa dan memperoleh pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa.
            Nurhatimi (dalam Abubakar,2010) mengatakan bahwa penggunaan suatu model pembelajaran memiliki arti sebagai variasi pembelajaran dengan tujuan siswa dapat mengikuti aktivitas pembelajaran di kelas yang menyenangkan dan tidak membosankan. Guru perlu membuat suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya penuh pada belajar dan waktu curah anak pada pelajaran menjadi tinggi. Untuk mengembangkan  keterampilan dan pemahaman siswa, kiranya perlu memberikan penekanan pada belajar sambil bekerja (learning by doing).
           Model pembelajaran ini memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Keunggulan model pembelajaran bermain peran adalah sebagai berikut.
a.       Peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi.
b.      Peserta didik memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
c.       Tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan di antara peserta didik.
d.      Dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan peserta didik mungkin belum diketahui sebelumnya oleh pendidik.

Adapun kelemahan menggunakan model pembelajaran bermain peran antara lain.
a.       Membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
b.      Aktivitas dan pembelajaran cenderung akan didominasi oleh peserta didik yang biasa atau senang berbicara sehingga peserta didik lainnya lebih banyak mengikuti jalan pikiran peserta didik yang senang berbicara.
c.       Pembicaraan dapat menyimpang dari arah pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
b)     Prosedur Metode Bermain peran
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih.
Menurut Sriningsih (2005: 20) kegiatan belajar mengajar pembelajaran teknik pemeranan, terdiri atas kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegitan penutup. Pada kegiatan pendahuluan, meliputi kegiatan mengumpulkan tugas-tugas drama, pengetahuan tentang pemeranan, dan pembagian lembar penilaian pemeranan drama yang akan dilakukan dikelas. Kegitan inti, meliputi kegiatan dasar teori tentang pemeranan, praktek membaca dialog dengan menggunakan intonasi dan ekspresi yang sesuai dengan karakter, praktek memerankan dua karakter tokoh dengan menggunakan lafal, intonasi, nada/tekanan, mimik/gerak-gerik yang tepat sesuai dengan watak tokoh, dan penilaian oleh siswa terhadap penampilan pemeranan temannya. Sedangkan kegiatan penutup, meliputi penilaian guru terhadap hasil pemeranan siswa, dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi pembelajaran teknik pemeranan berupa kegiatan penilaian. Kegiatan penilaian meliputi dua hal yaitu penilaian proses dan penilaian hasil/unjuk kerja. Hasil yang diperoleh dari penilaian proses meliputi, kesungguhan, kerjasama, inisiatif, dan ketepatan. Penilaian hasil berupa unjuk kerja siswa memerankan tokoh dengan menggunakan lafal, intonasi, nada, dan mimik yang sesuai dengan watak tokoh. Aspek yang dinilai meliputi aspek pelafalan, intonasi, nada, mimik, suara/vokal, dan gerak.
B. Uno (2007: 25) membagi prosedur bermain peran menjadi sembilan langkah, yaitu: (1) pemanasan, (2) memilih partisipan, (3) menyiapkan pengamat (observer), (4) menata panggung, (5) memainkan peran (manggung), (6) diskusi dan evaluasi, (7) memainkan peran ulang (manggung ulang), (8) diskusi dan evaluasi kedua, (9) berbagi pengalaman dan kesimpulan.
1)      Teknik Bermain Peran
           Memainkan peran dalam sebuah drama diperlukan teknik-teknik yang mendukung untuk berakting. Teknik bermain peran merupakan unsur yang penting untuk pemain. Rendra mengatakan:
“Sang seni dan sang ilham, tanpa teknik hanya akan menjadi gairah yang asyik tapi tidak komunikatif. Barang kali ia akan sampai sebagai sesuatu yang kacau, atau bertele-tele, atau sama sekali tidak punya daya tarik. Sebaliknya, hampir setiap orang bisa mempelajari dan menghafalkan teknik seni bermain yang sudah disusun dan diajarkan, namun tanpa sang seni dan sang ilham ia tak akan mampu menyajikan seni bermain yang baik karena ia akan sampai pada efek-efek tanpa keindahan dan gubahan yang unik.” (1976: 8)
        
           Berikut adalah teknik-teknik bermain drama menurut Rendra (1976: 12-65).
1)      Teknik Muncul
      Merupakan teknik seorang pemain untuk pertama kalinya tampil di atas pentas dalam satu sandiwara, satu babak, atau satu adegan.
2)      Teknik Memberi Isi
      Suatu cara untuk menonjolkan emosi dan pikiran di balik kalimat-kalimat yang diucapkan dan di balik perbuatan-perbuatan yang dilakukan di dalam sandiwara.
3)      Teknik Pengembangan
      Pengembangan menyebabkan sandiwara itu tidak datar dengan begitu bisa memikat penonton.
4)      Teknik membina puncak-puncak
      Teknik membina puncak pada hakikatnya adalah teknik menahan. Pemain yang tidak bisa menahan diri sebelum puncak, biasanya kewalahan dalam menciptakan puncak, dan akhirnya puncaknya tidak jelas.
5)      Teknik timing
      Di dalam teknik bermain ”timing” berarti ketepatan hubungan antara gerakan jasmani yang berlangsung sekejap dengan kata atau kalimat yang diucapkan.
6)      Teknik menonjolkan
      Di dalam proses penafsiran diperlukan pemilihan di bagian-bagian yang perlu ditonjolkan agar gambaran penafsirannya menjadi jelas.
7)      Teknik permainan
      Terdapat unsur dalam teknik permainan, yaitu tempo permainan dan irama permainan. Tempo permainan adalah cepat lambatnya permainan, sedangkan irama permainan adalah gelombang naik- turun, longgar-kencang gerakan-gerakan atau suara-suara yang terjadi dengan teratur.
           Dari beberapa teknik yang disebutkan oleh Rendra di atas, dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada teknik muncul, teknik memberi isi, dan teknik membina puncak-puncak yang mana harus diperhatikan oleh siswa dalam memerankan sebuah peran dalam naskah.

2)      KERANGKA BERPIKIR
          Meningkatkan kemampuan berbicara siswa adalah salah satu tujuan penelitian tindakan kelas ini. Pembelajaran menggunakan metode bermain peran.
          Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbicara baik sebelum dan sesudah tindakan penelitian adalah tes berbicara untuk melaporkan dan tes memainkan peran dalam sebuah drama. Penilaian tersebut mencakup lima aspek peskoran, yaitu: vokal, gerak-gerik (gesture), mimik/ ekspresi yang tepat, kelancaran dalam berbicara, dan sikap wajar, tenang, dan tidak kaku.

3)      HIPOTESIS
           Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka berpikir yang telah diuraikan peneliti, hipotesis penelitian ini adalah “jika siswa dalam proses pembelajaran berbicara diajarkan menggunakan metode bermain peran, maka kemampuan berbicara siswa akan meningkat”.
     II.          METODE PENELITIAN
A.    Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Action Research, yaitu suatu penelitian yang berisi tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas suatu sistem dan praktik-praktiknya yang terdapat di dalam sistem tersebut (Suwandi, 2010: 112).
Menurut Kurt Lewin (dalam Suwandi, 2010: 27) yang menggambarkan penelitian tindakan sebagai serangkaian langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Langkah-langkah itu dapat dilihat pada gambar di bawah ini.   
                                    planning
 

reflecting                                                         acting

                                    observing
Gambar. Model penelitian tindakan kelas menurut Kurt Lewin
Tahap-tahap di atas yang membentuk satu siklus, dapat dilanjutkan ke siklus berikutnya dengan rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi ulang berdasarkan hasil yang dicapai pada siklus sebelumnya.
B.     Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 17  Purworejo yang terletak di Jalan 13km Jogjakarta, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester gasal tahun pelajaran 2015.
Subjek penelitian tindakan ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Purworejo dan guru pembimbing sebagai kolaborator.
C.    Prosedur Penelitian
Prosedur kerja yang akan dilakukan dalam penelitian tindakan kelas ini meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Tahapan tersebut akan dilakukan dalam dua siklus. Gambaran untuk tahap-tahap tiap siklus yang akan dilakukan dalam penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut.
1.        Siklus I
          Dalam siklus terdapat tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi.
a.      Perencanaan
     Dalam tahap ini, peneliti bersama kolaborator akan  berdiskusi perihal permasalahan dalam pembelajaran menulis serta metode apa yang selama ini dilaksanakan dalam pembelajaran berbicara. Setelah itu, peneliti akan merancang pembelajaran menulis dengan metode bermain peran kemudian menyusun skenario pelaksanaan tindakan untuk siklus I. Menyusun angket,pretes dan tes akhir untuk siklus I.
b.      Pelaksanaan tindakan
     Disetiap siklus terdiri dari dua kali pertemuan. Pada tahap ini peneliti akan memulai apa yang sudah direncanakan pada tahap perencanaan. Tahap-tahap pada pelaksanaan tindakan ini antara lain sebagai berikut.
1)      Kegiatan Awal
a)      Guru mengucap salam.
b)      Guru mengondisikan kelas dan memastikan siswa siap menerima pelajaran.
c)      Guru menjabarkan tujuan pembelajaran.
2)      Kegiatan inti
a)      Pertemuan pertama siklus I. Guru menjelaskan tentang metode bermain peran dan materi tentang drama.
b)      Guru membagi kelas ke dalam kelompok-kelompok kecil sesuai pembagian yang telah ditentukan.
c)      Guru memerintahkan pada siswa untuk berkelompok sesuai kelompok yang sudah dibagi dan memberikan naskah untuk dibaca dan dipelajari.
d)      Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi perihal naskah yang didapat.
e)      Guru mendampingi dan membimbing siswa dalam mendiskusikan naskah yang di dapat.
f)       Siswa membacakan hasil diskusi kelompok di depan kelas.
3)      Penutup
a)      Guru bersama kolaborator mengamati perilaku siswa, reaksi yang ditimbulkan terhadap pembelajaran menggunakan metode bermain peran.
b)      Guru membahas hasil diskusi dan memberikan motivasi untuk langkah selanjutnya terhadap siswa.
c.       Pengamatan
     Pengamatan terhadap siswa akan difokuskan pada tingkat partisipasi siswa dalam mengikuti pelajaran, sperti terlihat pada keaktifan bertanya dan menanggapi, baik yang datang dari guru atau teman lain, dan keaktifan siswa dalam melaksanakan tugas.
d.      Refleksi
     Refleksi dalam penelitian tindakan kelas adalah upaya untuk mengkaji apa yang telah dan/ atau tidak terjadi, apa yang telah dihasilkan atau yang belum berhasil dituntaskan (Suwandi, 2010: 41). Hasil refleksi digunakan untuk menetapkan langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai tujuan penelitian.
2.        Siklus II
          Dalam siklus II juga terdapat tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Gambaran akan tahap-tahap tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a)      Perencanaan
    Sebelumnya guru bersama kolaborator akan mendiskusikan langkah selanjutnya pada siklus II. Selanjutnya, memperbaiki aspek-aspek yang belum dapat terpenuhi pada siswa.
b)     Pelaksanaan Tindakan
    Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam pelaksanaan tindakan adalah sebagai berikut.
1)      Kegiatan Awal
a)      Guru mengucapkan salam.
b)      Guru mengondisikan kelas supaya siswa dapat mengikuti pelajaran.
c)      Guru menanyakan perkembangan kelompok dalam menggarap sebuah naskah.
2)      Kegiatan Inti
a)      Guru memberikan arahan kepada siswa untuk mempraktikkan pemeranan dalam sebuah drama tiap kelompok.
b)      Kelompok lain mengamati dan memberikan penilaian kepada kelompok yang mendapat giliran maju.
c)      Guru bersama kolaborator mengamati kinerja siswa dalam pembelajaran bermain peran.
3)      Penutup
a)      Guru memberikan ulasan terhadap kelompok yang sudah maju.
b)      Guru menyampaikan evaluasi keseluruhan.
c)      Pengamatan
    Pengamatan dilaksanakan setelah kegiatan berlangsung. Pengamatan-pengamatan kegiatan akan dicatat pada lembar pengamatan dan catatan lapangan.
    Keberhasilan prose dilihat dari bagaimana aktivitas siswa dalam menerima pembelajaran menggunakan metode bermain peran.   
d)     Refleksi
    Refleksi dilakukan berdasarkan pada data-data yang masuk selama kegiatan berlangsung. Guru bersama kolaborator berdiskusi untuk menganalisis hasil proses dan tindakan yang sudah dilakukan.
D.    Tahap Pengumpulan Data
       Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah penetapan instrumen pengumpulan data, penentuan sumber data, dan teknik pengumpulan data. Langkah-langkah tersebut akan dilakukan dengan cara berikut:
1.      Instrumen Pengumpulan Data
           Instrumen adalah alat pengumpulan data dalam penelitian (Vitasari, 2009 50). Instrumen yang akan dilakukan dalam penelitian ini berupa tes dan nontes. Jenis instrumen tes adalah tes lisan dan perbuatan, sedangkan instrumen nontes berupa angket, lembar pengamatan, catatan lapangan, dan dokumentasi kegiatan.
2.      Penetapan Sumber Data
           Data penelitian akan digali dari sumber-sumber yang berupa dokumen, nara sumber, dan hasil tes.
a)      Dokumen
     Antara lain berupa Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, dan data penilaian siswa.
b)      Nara sumber
     Dalam penelitian ini yang menjadi nara sumber adalah siswa dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai kolaborator
c)      Hasil Tes
     Data yang akan diambil adalah hasil rerata tes siswa dalam pembelajaran menulis dan bermain peran dalam sebuah drama.
3.      Teknik Pengumpulan Data
           Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi pengamatan, angket, dan tes yang masing-masing akan diuraikan sebagai berikut.
a)      Pengamatan
     Pengamatan akan dilakukan oleh guru dan kolaborator kepada siswa saat terlaksananya pembelajaran menulis dengan metode bermain peran.
b)      Angket
     Angket diberikan kepada siswa untuk mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas menulis dalam bermain peran. Angket ini akan diberikan sebelum atau pun sesudah tindakan penelitian dilakukan. Dengan menganalisis informasi yang diperoleh dari angket tersebut dapat diketahui peningkatan kualitas proses atas kegiatan menulis siswa.
c)      Tes
     Pemberian tes dimaksudkan untuk mengukur seberapa jauh hasil yang diperoleh siswa setelah kegiatan pemberian tindakan.
E.     Teknik Analisis Data
       Teknik analisis yang akan digunakan untuk menganalisis data-data yang terkumpul adalah teknik deskriptif komparatif dan teknik analisis kritis. Teknik deskriptif komparatif digunakan untuk data kuantitatif, yakni dengan membandingkan rerata antarsiklus, pretes, atau pun akhir tindakan. Teknik analisis kritis berkaitan dengan data kualitatif. Teknik analisis kritis mencakup kegiatan untuk mengungkapkan kelemahan dan kelebihan kinerja siswa dalam proses belajar mengajar berdasarkan kriteria normatif yang diturunkan dari kajian teoretis maupun dari ketentuan yang ada (Suwandi, 2010: 61)
F.     Teknik Pemeriksaan Validitas Data
       Pemeriksaan validitas data dilakukan agar data yang diperoleh nanti dapat dipertanggungjawabkan. Teknik yang akan digunakan untuk memeriksa validitas data adalah triangulasi. Menurut Lexi (dalam Suwandi, 2010: 60) triangulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan sarana di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau atau perbandingan data itu.
G.    Indikator Kinerja/ Keberhasilan
       Berhasil atau tidaknya kemampuan menulis dalam penelitian ini diukur dengan sebuah tes. Kriteria keberhasilan penelitian tindakan kelas akan dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu indikator keberhasilan proses dan indikator keberhasilan produk. Indikator keberhasilan proses dilihat dari perkembangan proses pembelajaran dan keberhasilan produk didasarkan atas keberhasilan siswa dalam praktik kemampuan menulis melalui metode bermain peran.




















DAFTAR PUSTAKA

Firmansyah, Ayub. 2009. Korelasi Antara Kemampuan Berbicara dan Prestasi Belajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Kotowinangun. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Nurhayati, 2010. Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta. Cakrawala Media.

Rendra. 1976. Teknik Bermain Drama. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suwandi, Sarwiji. 2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Yuma Pustaka.

Sukirno. 2009. Pembelajaran Menulis Kreatif dengan Strategi Belajar Akselerasi. Purworejo: UM Purworejo Press.

Tarigan, Henry G. 2008. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Uno, Hamzah. 2007. Model Pembejaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Vitasari, Yesi. 2009. Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Model Pembelajaran Bermain Peran Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Kebumen. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purworejo.


Post a Comment for "PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS VIII SMP "