Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI PADA WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA DI RADIO IN FM KEBUMEN DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN MENYIMAK DI SMA


Bab I berisi latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan penegasan istilah.

A.  Latar Belakang Masalah
Setiap manusia umumnya hidup dalam ikatan suatu masyarakat. Dengan sesamanya, seseorang itu senantiasa bergaul, berhubungan, dan bekerjasama untuk kepentingan bersama pula. Untuk melaksanakan segala kegiatan sosial, setiap orang sangat membutuhkan pemakaian suatu bahasa (Bagiya, 2012:2). Bakhtiar (2012:176) menyatakan bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi antarmanusia. Sebagai sarana komunikasi, maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berpikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur. Pernyataan tersebut sependapat dengan Ernest Cassirer (Bakhtiar, 2012:175) yang menyatakan bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa.
Bagiya (2012:11) juga menyatakan bahwa bahasa itu ujaran, yang berarti bahwa media bahasa yang terpenting adalah dengan bunyi-bunyi, bagaimana pun sempurna dan seerhananya media tulisan. Kita bisa berbicara tanpa menulis, tetapi tidak menulis tanpa berbicara (pada diri sendiri paling tidak). Meskipun demikian baik bahasa lisan (ujaran) maupun bahasa tulis, keduanya sama-sama digunakan manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi tidak hanya bisa dilakukan secara langsung, tetapi juga bisa melalui perantara (media). Media yang bisa digunakan untuk merealisasikan tuturan kepada seseorang, sekelompok orang, maupun khalayak yaitu media massa, yakni bisa melalui media elektronik maupun media cetak.
Media elektronik adalah media massa yang digunakan dalam komunikasi secara lisan. Media elektronik dapat berupa radio, televisi, telepon, dan sebagainya. Media elektronik seperti radio dan televisi memiliki sifat begitu terdengar dan terlihat, hilang tidak membekas. Maksudnya yaitu, pendengar radio tidak dapat lagi mendengarkan apa yang sudah didengarnya di radio tersebut, kecuali direkam. Begitu pula dengan penonton televisi yang tidak dapat lagi melihat apa yang sudah dilihatnya di televisi tersebut, kecuali direkam atau divideo. Berbeda dengan (misalnya) pembaca koran, mereka bisa mengulang bacaannya dari awal tulisan.
Hal lain yang menarik dari radio adalah siaran radio berbeda dengan siaran di televisi, walaupun keduanya sama-sama berwujud komunikasi lisan. Siaran radio berbeda dengan siaran televisi, karena pada siaran radio tidak terdapat efek visual. Yang dapat ditemukan dalam siaran radio hanya suara atau efek audio. Siaran di televisi dapat memadukan suara, warna, bentuk, dan gerakan-gerakan khusus, sedangkan siaran di radio hanya terdapat suara saja. Oleh karena itu, penggunaan bahasa di radio tentu memiliki ciri khas agar diperhatikan, diingat, dan mudah dimengerti oleh pendengarnya. Selain bahasa yang digunakan jelas dan tegas, diperhatikan juga intonasi bicara, gaya bicara (bersemangat, berteriak-teriak, merendahkan suara, dan lain-lain) dan juga (misalnya) penggunaan bahasa gaul untuk program acara anak muda.
Salah satu yang disiarkan di radio adalah iklan. Pada era sekarang ini, pengertian iklan menjadi diperluas, bukan hanya barang dan jasa yang ditawarkan, namun juga kondisi tertentu, misalnya “iklan layanan masyarakat”. Dalam sebuah iklan layanan masyarakat, isi iklan tidak membujuk seseorang untuk membeli barang atau jasa tertentu. Iklan layanan masyarakat menawarkan suatu kondisi ideal atau sebuah kondisi yang lebih baik dalam sebuah masyarakat. Salah satu iklan layanan masyarakat yang paling terkenal adalah iklan anti narkoba. Dalam iklan anti narkoba, pendengar iklan tidak disuruh, dibujuk atau didorong untuk membeli narkoba. Namun sebaliknya, dalam sebuah iklan anti narkoba pendengar didorong untuk tidak membeli, mengkonsumsi atau bahkan mendekati narkoba. Di sini terlihat dengan jelas bahwa bukan barang atau jasa yang ditawarkan, melainkan sebuah tercapainya kondisi masyarakat yang bebas dari narkoba.
Sesuai dengan tujuan beriklan yaitu membujuk masyarakat, pembuat iklan sering kali menggunakan tuturan bersifat persuasif, tuturan yang dianggap memiliki daya ilokusi (illocutionary force), sehingga dapat mempengaruhi atau membujuk pendengar untuk melakukan hal-hal seperti yang disarankan oleh pembuat iklan. Iklan pada umumnya digunakan oleh produsen untuk menarik minat para konsumen agar memakai barang/ jasa yang mereka tawarkan. Hal ini sesuai dengan salah satu jenis tindak tutur ilokusi yaitu direktif. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji apakah dalam sebuah iklan hanya terdapat tindak tutur ilokusi direktif saja, yaitu yang bersifat menyuruh dan mempengaruhi pendengar seperti iklan pada umumnya, ataukah terdapat jenis-jenis ilokusi lain dalam iklan tersebut. Jadi, dalam penelitian ini penulis akan membahas tentang analisis tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen.
Wacana iklan yang dipilih adalah wacana iklan yang berbahasa Indonesia. Alasannya yaitu karena peneliti adalah mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan demikian akan menjadi relevan jika objek yang diambil adalah wacana iklan yang berbahasa Indonesia. Kemudian wacana iklan yang dipilih adalah wacana iklan berbahasa Indonesia yang disiarkan di radio IN FM Kebumen. Alasan penulis tertarik memilih radio IN FM Kebumen yaitu karena selain radio IN FM Kebumen adalah radio tertua di Kebumen dan sudah menerima IPP atau izin tetap dari kementrian KOMINFO RI pada bulan Juli 2013, juga beberapa kejuaraan juga berhasil didapatkan, antara lain yaitu menjadi Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) terbaik dan mempunyai program anak terbaik pada KPID Jateng Award 2014. Dengan demikian tentu banyak pemasang iklan yang lebih tertarik untuk memasang iklannya di radio IN FM Kebumen daripada di radio lain.
Iklan yang terdapat di radio merupakan salah satu objek kajian pragmatik. Hal ini dikarenakan kajian pragmatik salah satunya adalah menganalisis wacana iklan radio yang dikhususkan pada aspek tindak tutur, terutama tindak tutur ilokusi. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian pragmatik. Namun, karena penulis adalah mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang dituntut untuk menggunakan penelitian pendidikan, maka penelitian ini pun bukan murni penelitian pragmatik saja, tetapi juga penelitian pendidikan. Sehingga, pembahasan tentang analisis tindak tutur ilokusi pada wacana iklan di radio IN FM Kebumen pada penelitian ini pun juga direlevansikan dengan pembelajaran mendengarkan di SMA. Hal tersebut disesuaikan dengan silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA, di mana pembelajaran dengan memanfaatkan media elektronik seperti radio terdapat pada standar kompetensi nomor 1 (keterampilan menyimak) yang berbunyi “memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung/tidak langsung” dengan kompetensi dasarnya yaitu nomor 1.1 yang berbunyi “menanggapi siaran atau informasi dari media elektronik (berita dan nonberita).

B.  Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang akan muncul dalam penelitian ini cukup bervariasi, sehingga tidak mungkin apabila diadakan penelitian yang mencakup kesemuanya. Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM dan relevansinya dengan pembelajaran menyimak di SMA.
C.  Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah dan fokus penelitian tersebut di atas, dapatlah dirumuskan masalah penelitiannya yaitu sebagai berikut ini.
1.    Bagaimanakah realisasi tindak tutur ilokusi verba asertif, verba komisif, verba direktif, verba ekspresif, dan verba deklaratif yang terdapat pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen?
2.    Bagaimanakan relevansi tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen dengan pembelajaran menyimak di SMA?

D.  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah salah satu faktor utama yang mendorong penulis untuk melakukan suatu penelitian. Setiap kegiatan penelitian secara sadar pasti didasari oleh tujuan yang akan dicapai.
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut ini.
1.    Bagaimanakah realisasi tindak tutur ilokusi verba asertif, verba komisif, verba direktif, verba ekspresif, dan verba deklaratif yang terdapat pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen?
2.    Bagaimanakan relevansi tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen dengan pembelajaran menyimak di SMA?





E.  Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis dan praktis yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.    Manfaat Teoretis
Deskripsi hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan masukan bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik yang berkaitan dengan maksud ujaran dalam ucapan, sebagai informasi bagi peneliti yang lain. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian sebelumnya tentang kajian pragmatik.
2.    Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dapat memberikan tambahan wawasan, pengetahuan, dan pengalaman penulis dalam mempelajari ilmu pragmatik. Bagi khalayak umum khususnya setiap orang yang memiliki kepedulian atau perhatian terhadap ilmu pragmatik diharapkan dapat mengetahui maksud ujaran yang ada pada iklan radio. Bagi peneliti diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi pendalaman kajian pragmatik, khususnya pada aspek tindak tutur. Selain untuk memperkaya tentang pengetahuan bahasa, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia periklanan.

F.   Penegasan Istilah
Penelitian ini berjudul Tindak Tutur Ilokusi pada Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio In FM Kebumen dan Relevansinya dengan Pembelajaran Menyimak di SMA. Penegasan istilah di sini dimaksudkan untuk  memberikan keterangan makna agar diperoleh gambaran yang jelas dan tegas tentang batasan judul penelitian.
Adapun istilah-istilah yang perlu dijelaskan yaitu sebagai berikut ini.
1.    Tindak Tutur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999 : 1058), tindak berarti langkah atau perbuatan, sedangkan tutur dapat diartikan ucapan, kata, perkataan. Dari dua pengertian tersebut tindak tutur dapat diartikan sebagai perbuatan memproduksi tuturan atau ucapan.
2.    Ilokusi
Ilokusi yaitu tindak tutur yang tidak hanya untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, tetapi juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
3.    Wacana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wacana yaitu keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan.
4.    Iklan
Iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi seorang pembeli potensial dan mempromosikan penjual suatu produk atau jasa, untuk mempengaruhi pendapat publik, memenangkan dukungan publik untuk berpikir atau betindak sesuai dengan keinginan sepasang iklan (Pattic, 1993:1).
5.    Radio
Radio adalah siaran suara atau bunyi melalui udara (Moelino, 1995:808).
6.    Pembelajaran
Pembelajaran adalah 1) proses, pembuatan, cara mengajar atau mengajarkan, 2) perihal, mengajar, segala sesuwatu mengenai mengajar, dan 3) peringatan (tentang pengalaman, peristiwa yang dialami atau dilihatnya) (Depdikbud, 2008:17).
7.    Menyimak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyimak adalah 1) mendengarkan (memperhatikan) baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang; 2) meninjau (memeriksa, mempelajari) dengan teliti.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

Bab II berisi kajian secara komprehensif terhadap penelitian atau kajian terdahulu yang relevan dengan topik yang akan diteliti, yaitu tinjauan pustaka, kajian teoretis dan kerangka berpikir.
A.  Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah kajian secara kritis terhadap kajian terdahulu sehingga diketahui perbedaan yang khas antara kajian terdahulu dengan kajian yang dilakukan. Ada beberapa penelitian (skripsi) yang sudah dilakukan sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut di antaranya berjudul “Tindak Tutur dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio Gajah Mada 102.4 FM Semarang” yang disusun oleh Diyat Saputra (2010). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi digunakan dalam wacana iklan radio yang memudahkan pendengar untuk memahami wacana iklan radio tersebut. Persamaan antara penelitian Saputra dengan penelitian peneliti adalah sama-sama mengkaji tentang tindak tutur. Pada penilitan Saputra tidak seperti dengan penelitian peneliti, yang hanya fokus pada penelitian tindak tutur ilokusi, namun Saputra juga fokus pada tindak tutur lokusi dan perlokusi yang terdapat pada wcana iklan radio. Perbedaan lainnya yaitu terletak pada sumber data. Sumber data dari Saputra adalah radio Gajah Mada FM Semarang, sedangkan sumber data peneliti yaitu di radio IN FM Kebumen. Selain itu, kajian dari penelitian ini masih menggunakan penelitian murni, sedangkan pada penelitian peneliti bukanlah penelitian murni saja, namun juga penelitian pendidikan. Peneliti adalah mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sehingga dituntut untuk melakukan penelitian dengan menggunakan penelitian pendidikan. Maka dari itu, peneliti menggunakan penelitian sejenis di atas yang berupa bentuk tindak tutur ilokusi pada wacana iklan dan menambahkannya dengan relevansinya dengan pembelajaran menyimak di SMA.
Penelitian berikutnya adalah skripsi yang dilakukan Iswahyunil Choiroh dengan judul “Pemakaian Kosa Kata Asing Dalam Iklan Harian Jawa Pos (Kajian tentang Interferensi dan Integrasi)”. Penelitian tersebut membahas secara khusus interferensi dan integrasi yang ada dalam iklan harian Jawa Pos, terutama bahasa asing. Hasil penelitian tersebut adalah pemakaian kosakata asing di iklan Jawa Pos kategori interferensi dapat dirumuskan menjadi dua macam yaitu interferensi kata dasar dan interferensi kelompok kata atau frase. Interferensi kata dasar dan kelompok kata atau frase bertujuan untuk mempengaruhi, menggerakkan emosi dan mempertahankan prestise iklan yang ditawarkan kepada pembaca atau konsumen. Hasil penelitiannya yang kedua, pemakaian kosa kata asing di Jawa Pos kategori integrasi sesuai dengan kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan dan sesuai dengan pola ucapan atau penulisan. Hal ini untuk menambah pemahaman dan perbendaharaan kata para pembacanya terhadap iklan yang ditawarkan. Adapun persamaan antara penelitian Choiroh dengan peneliti yaitu sama-sama menggunakan objek dari iklan. Sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada objek penelitiannya. Objek penelitian dari Choiroh adalah pemakaian kosakata asing dalam iklan harian Jawa Pos, sedangkan objek penelitian peneliti adalah tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Selain itu, penelitian Choiroh merupakan murni penelitian pragmatik, sedangkan penelitian peneliti tidak hanya penelitian pragmatik, tetapi juga penelitian pendidikan, yaitu dengan merelevansikan dengan pembelajaran menyimak di SMA.

B.  Kajian Teoretis
1.    Pengertian Bahasa
Bloch and Trager (dalam Bakhtiar, 2012:176) mengatakan bahwa a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates (bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi. Senada dengan dengan definisi tersebut, Bagiya (2012:10) mengatakan bahwa bahasa itu manasuka (arbitrary). Arbitrary berarti selected at random and without reason, dipilih secara acak tanpa alasan. Ringkasnya, manasuka berarti seenaknya, asal bunyi, tidak ada hubungan logis dengan kata-kata sebagai simbol (the symbol).
Dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem simbol-simbol bunyi yang manasuka (asal bunyi) yang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dalam suatu kelompok sosial, di mana kata-kata sebagai simbol.

2.    Fungsi Bahasa
Bahasa mempunyai fungsi yang penting bagi manusia. Menurut Halliday (dalam Tarigan, 2009:5-7), fungsi bahasa yaitu sebagai berikut ini.
a.    Fungsi Instrumental (The Instrumental Function)
Fungsi instrumental melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi.
b.    Fungsi Regulasi (The Regulatory Function)
Fungsi regulasi bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa.
c.    Fungsi Representasional (The Representational Function)
Fungsi representasional adalah penggunaan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan, dengan perkataan lain “menggambarkan” (to reprenset) realitas yang sebenarnya, seperti yang dilihat seseorang.
d.    Fungsi Interaksional (The Interctional Function)
Fungsi interaksional bertugas untuk menjamin dan memantapkan ketahanan serta kelangsungan komunikasi sosial.
e.    Fungsi Personal (The Personal Function)
Fungsi personal memberikan kesempatan kepada seorang pembicara untuk mengekspresikan, perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang mendalam.
f.     Fungsi Heuristik (The Heuristic Function)
Fungsi heuristik melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mempelajari seluk-beluk lingkungan.
g.    Fungsi Imajinatif (The Imaginative Function)
Fungsi imajinatif melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.

3.    Pengertian Pragmatik
Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa yang memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu diantaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Keempat cabang linguistik yang pertama mempelajari struktur bahasa secara internal, sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan bahasa itu digunakan (Wijana, 1996:1).
Menurut Tarigan (2009: 31), pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain, membahas segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung pada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang diucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna – kondisi-kondisi kebenaran. Begitu pula pendapat Leech (1993: 54), bahwa pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk menentukan makna-makna ujaran yang sesuai dengan situasinya.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang menelaah tentang makna bahasa berdasarkan kondisi dan situasi yang ada pada bahasa atau tuturan tersebut.

4.    Wacana
Menurut Eriyanto (2001:3), dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Lebih lanjut, Eriyanto (2001:5) menyatakan, bahwa analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan.
Para ahli bahasa telah menyepakati bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan-satuan bahasa yang ada di bawahnya secara berurutan adalah kalimat, frase, kata dan bunyi. Wacana terbentuk karena rangkaian bunyi membentuk kata, rangkaian kata membentuk frase, rangkaian frase membentuk kalimat dan yang selanjutnya, rangkaian kalimat membentuk wacana.
Wacana dapat terjadi apabila dalam situasi tutur terdapat penutur atau penyapa (addressor) dan petutur atau pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penutur adalah pembicara, sedangkan petutur adalah pendengar atau penyimak. Dalam wacana tulis, penutur adalah penulis sedangkan petutur adalah pembaca. Dalam sebuah wacana, harus ada unsur penyapa dan pesapa. Menurut Rani et al (2006:4) tanpa adanya kedua unsur itu, tidak akan terbentuk suatu wacana.
Wacana sebagai satuan lingual dibentuk oleh beberapa komponen yang berupa kalimat-kalimat. Kalimat-kalimat itu tidak berdiri sendiri secara lepas, tetapi mereka secara bersama-sama membentuk satu kesatuan. Jadi, komponen terkecil dari wacana adalah kalimat dan komponen terbesarnya adalah paragraf atau karangan yang utuh. Di dalam struktur wacana, kalimat pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana. Sosok wacana yang lazim berupa karangan atau teks, dialog, atau monolog. Namun, dalam konteks atau situasi tertentu ada beberapa wacana yang sosoknya berupa kalimat tunggal atau berupa ungkapan frasal atau kata saja. Hal ini dimungkinkan karena faktor situasi dapat membantu pemahaman makna wacana tersebut.

5.    Peristiwa Tutur, Tindak Tutur, dan Bentuk Tuturan
a.    Perisitwa Tutur
Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya, adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang pengadilan, dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Hymes (1972), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan akan menjadi akronim “speaking”. Penjelasan delapan komponen itu sebagai berikut ini.
1)   Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
2)   Participant, adalah pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penayapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan.
3)   Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petuturan. Perisitwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus, perkara, namun pada partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan berbeda.
4)   Act sequence menace, pada bentuk ujaran dan isi ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakannya dan hubungannya antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
5)   Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
6)   Instrumentalis, mengacu pada norma atau aturan dan berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya.
7)   Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
8)   Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

b.    Tindak Tutur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 1058), tindak diartikan sebagai langkah atau perbuatan, sedangkan tutur diartikan ucapan, kata, perkataan (1999 : 1090). Dari dua pengertian tersebut tindak tutur dapat diartikan sebagai perbuatan memproduksi tuturan atau ucapan. Ditambahkan oleh Rani et al (2006:159), yang menyatakan bahwa tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun, makna suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur seperti yang berlaku dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksudkan oleh penuturnya. Hal ini memungkinkan dalam setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Senada dengan pendapat Chaer (1995:65), bahwa tindak tutur merupakan gejala individual bersifat psikologi dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Berdasarkan beberapa pengetian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah tindakan berucap. Makna dari ucapan tersebut tidak hanya ditentukan berdasarkan tuturan yang diucapkan, tetapi juga berdasarkan konteks saat tuturan tersebut diucapkan.
Berkenaan dengan ujaran, jenis tindak tutur yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Austin dan Searle. Austin (dalam Leech terjemahan Oka 1993: 316) mengemukakan 3 jenis tindakan, yaitu tindak lokusi (locutionary act), ilokusi (ilocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act).
1)   Tindak Tutur Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something. Austin (dalam Wibisono, 1991:17) mengemukakan bahwa tindak lokusi sebagai salah satu jenis tindak bahasa yang tidak disertai tanggung jawab bagi penuturnya untuk melakukan isi tuturannya, lebih umum sifatnya jika dibandingkan dengan jenis tindak bahasa yang lain. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti, gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturan. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak bahasa lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Dalam kaitannya ini, Austin (1978:101) memberikan contoh tindak lokusi sebagai berikut.
(1)     He said me, “shoot her”
(Ia mengatakan kepada saya, “tembaklah dia”)
Melalui ucapan tembaklah, kita dapat menentukan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kalimat (1) tersebut mengarah pada orang ketiga. Dalam kalimat tersebut tidak ada keharusan bagi saya (penutur) untuk melaksanakan isi tuturan itu, yaitu “menembak dia”. Artinya tindak lokusi ini tidak mencerminkan tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Tindak lokusi ini lebih menekankan gaya bicara penutur dalam mengungkapkan sesuatu dan tidak mengandaikan situasi tertentu yang menjamin atau mengharuskan penutur untuk melaksanakan isi tuturannya, meskipun terdapat sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturan, yaitu tembaklah dia, namun tidak berarti bahwa si penutur benar-benar telah, sedang, atau akan melaksanakan isi tuturan.
Tindak lokusi tidak mencerminkan tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Namun, tindak bahasa ini merupakan dasar bagi dilakukannya tindak bahasa yang lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi (Austin, 1978:138-140). Kita lihat contoh kalimat dan wacana berikut ini.
a)    Ikan paus adalah binatang menyusui.
b)   Guna memberikan pelayanan penggunaan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra UGM baru-baru ini menyelenggarakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia.
Kalimat (a) diutarakan penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Wacana (b) diutarakan untuk menginformasikan sesuatu yakni kegiatan yang dilakukan Fakultas Sastra UGM. Dalam hal ini memang tidak tertutup kemungkinan terdapatnya daya ilokusi dan perlokusi dalam wacana tersebut, namun kadar daya lokusinya jauh lebih menonjol.
2)   Tindak Tutur Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi ini disebut sebagai the act of doing something. Dalam hubungannya dengan tindak bahasa ilokusi ini, Austin mengatakan bahwa tindak ilokusi adalah aktivitas bertutur kalimat yang disertai tanggung jawab bagi si penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa yang dipentingkan dalam tindak bahasa ilokusi adalah tanggung jawab si penutur untuk melakukan suatu tindakan sehubungan dengan sesuatu yang dituturkannya. Dalam tindak tutur ilokusi didapatkan sesuatu daya atau kekuatan (force) yang mewajibkan bagi si penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Daya ilokusi merupakan daya yang dimiliki oleh suatu ujaran yang dapat menjadikan komunikasi efektif. Daya ilokusi diperlukan melalui seperangkat implikatur. Implikatur adalah proposisi yang disampaikan dari: (1) makna tuturan, (2) asumsi bahwa penutur mentaati prinsip dan maksim komunikasi interpersonal, dan (3) pengetahuan mengetahui konteks (Leech, 1993:243).
Ditinjau dari bentuk tuturannya, daya ilokusi dibedakan menjadi daya ilokusi langsung dan daya ilokusi tidak langsung. Daya ilokusi langsung adalah daya ilokusi yang muncul dalam pesan yang disampaikan penutur kepada lawan tutur secara langsung tanpa dialog. Daya ilokusi tidak langsung adalah daya ilokusi yang muncul dalam dialog, di mana penutur menyampaikan pesannya secara tidak langsung kapada petutur, tetapi melalui dialog yang digunakan. Ditinjau dari jenisnya daya ilokusi memiliki jenis yang beragam, yaitu memerintah, memberitahu, mengejek, mengeluh, memuji, dan lain-lain (Lubis, 1993:10).
Leech (1993:162) menyatakan, berdasarkan hubungan tindak ilokusi dengan tujuan sosial dalam menentukan dan memelihara serta mempertahankan rasa hormat dan perilaku sopan santun, fungsi-fungsi tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:
a)    kompetitif (competitive), tujuan tindak ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, misalnya memerintah, meminta, menuntut, mengemis dan sebagainya;
b)   konvivial (convivial), berarti menyenangkan, tujuan tindak ilokusi sejalan dengan tujuan sosial misalnya menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memohon, menyarankan, dan sebagainya;
c)    kolaboratif (colaboratif), berarti bekerja sama, tujuan tindak ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial atau berbasa-basi dengan tujuan sosial, misalnya melaporkan, menuntut, mengumumkan, mengajarkan, menginstruksikan, dan sebagainya;
d)   konfliktif (conflictive), berarti bertentangan, tujuan tindak ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, memaksa, memarahi, menyumpai, mengutuk, mencerca, menegur, menghormati, dan sebagainya.
Rani et al (2006:161) menyatakan bahwa, secara khusus, Searle (1980) mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur. Lima jenis tindak tutur tersebut yaitu sebagai berikut ini.
a)    Asertif atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, dan sebagainya. Verba asertif mengacu pada suatu proposisi: menguatkan, menduga, menegaskan, meramalkan, memprediksi, mengumumkan, mendesak.
b)   Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan. Verba komisif mengacu pada menawarkan, berjanji, bersumpah menawarkan diri, berkaul.
c)    Direktif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati. Verba direktif mengacu pada meminta, meminta dengan sangat, memohon dengan sangat, memberi perintah, menuntut, melarang, menganjurkan, memohon.
d)   Ekspresif yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa, mengkritik; tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan diri dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap mitra tutur. Verba ekspresif mengacu pada frasa nomina yang abstrak, misalnya meminta maaf, merasa ikut bersimpati, mengucapkan selamat, memaafkan, mengucapkan terima kasih.
e)    Deklarasi, yakni tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya. Verba deklaratif adalah verba yang ada kaitannya dengan deklarasi, misalnya menunda, memveto, menjatuhkan hukuman, membaptis.
Lebih lanjut Tarigan (2009: 107-108) menjelaskan ciri-ciri sintaktik verba ilokusi.
a)    Verba Asertif biasanya dipakai dalam konstruksi ‘S verba (…) bahwa X’ (S = Subjek (yang mengacu kepada pembicara) dan ‘bahwa X’ mengacu pada suatu proposisi); contoh: menegaskan (mengiakan, memperkokoh, memperkuat, mensahkan), mengatakan (menduga keras, menyatakan tanpa bukti), menegaskan, meramalkan, mengumumkan, menuntut (menagih).
b)   Verba Direktif biasanya terjadi dalam konstruksi ‘S verba (O) bahwa X’ atau ‘S verba O kepada Y’ (S dan O mengacu pada subjek dan objek (yang masing-masing mengacu pada pembicara2 dan penyimak2), ‘bahwa X’ = klausa bahwa yang nonindikatif; dan ‘kepada Y’ = klausa infinitive); contoh: meminta, mengemis, menawar, memerintahkan, memerlukan, melarang, menasihati, menasihatkan, menganjurkan, memuji kebaikan, memohonkan.
Berbeda dengan klausa bahwa yang mengikuti verba asertif, klausa bahwa yang nonindikatif ini mengandung suatu subjungtif atau modal seperti hendaknya, selama mereka mengacu pada suatu perintah dan bukan pada suatu proposisi; misalnya, Kami meminta agar harga buku (hendaknya) diturunkan.
c)    Verba Komisif biasanya dijumpai dalam konstruksi S verba bahwa X’ (di mana klausa bahwa adalah nonindikatif), atau ‘S verba kepada Y’ (di mana kepada Y adalah konstruksi infinitif); contoh: menawarkan, menjanjikan, bersumpah, bersukarela, bernazar. Verba komisif relatif membentuk kelas kecil, menyerupai atau mirip-mirip verba direktif dalam hal mempunyai pengkomplemen yang nonindikatif (klausa bahwa dan klausa infinitif), perlu mempunyai acuan waktu berikutnya (yaitu acuan waktu lebih kemudian daripada waktu verba utama). Oleh karena itu, ada suatu kasus untuk menggabungkan verba direktif dan verba komisif menjadi satu ‘kelas super’.
d)   Verba Ekspresif biasanya dijumpai dalam konstruksi ‘S verba (prep)(O) (prep) Xn’, (di mana ‘(prep)’ sebagai preposisi fakultatif, dan Xn sebagai frasa nomina yang abstrak atau frasa gerundif); misalnya: meminta maaf, menaruh simpati, mengucapkan selamat, memaafkan, mengampuni, mengucapkan terima kasih.
e)    Verba Rogatif adalah verba yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari keempat kategori di atas; contoh: menamai, mengklasifikasi, memerikan, membatasi, mendefinisikan, mengidentifikasi, mempertalikan, menghubungkan.
3)   Tindak Tutur Perlokusi
Austin (dalam Wibisono, 1991:21) menyatakan bahwa mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap perasaan, pikiran dan perilaku si pendengar pernyataan itu. Implikasi tindak mengatakan sesuatu atau tindak ilokusi terhadap si pendengarnya inilah yang disebut sebagai tindak perlokusi itu. Tujuan tertentu yang dirancang oleh si penutur dalam isi tuturannya merupakan ciri khas dari tindak bahasa perlokusi.
Tindak perlokusi adalah tindak tutur untuk mempengaruhi atau untuk mendapatkan efek bagi yang mendengarkan. Efek atau pengaruh itu dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur ini disebut “the act of affecting someone”. Contoh tindak tutur perlokusi yaitu sebagai berikut ini.
a)    Rumahnya jauh.
b)   Kemarin saya sangat sibuk.
Bila kalimat (a) diutarakan seseorang kepada ketua organisasi, maka efek perlokusinya yang mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu memberikan banyak tugas kepadanya karena rumahnya jauh. Bila kalimat (b) diutarakan oleh penutur pada temannya yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan permohonan agar yang mengundang memakluminya (sebagai efek perlokusi).

6.    Pembelajaran siswa SMA
Menurut Hamalik (2011: 57), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi penncapaian tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran di salah satu pihak, menyarankan pada bentuk-bentuk atau kategori-kategori tertentu hasil belajar. Keluaran dari hasil belajar yang antara lain berupa kemampuan, keterampilan, sikap, dan tingkah laku tertentu, di pihak lain pada hakikatnya merupakan realisasi terhadap pencapaian tujuan. Bagaimana wujud tingkah laku keluaran hasil belajar itu adalah bergantung bagaimana tujuan pembelajaran yang dilakukan itu (Nurgiyantoro, 2011: 54).
Tanpa adanya tujuan yang pasti, pelaksanaan kegiatan itu bagaikan akan menempuh suatu perjalanan tanpa mempunyai arah. Tujuan akan memberikan pegangan yang kuat bagi guru sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran untuk mengkreasikan berbagai pengalaman belajar yang akan dibelajarkan kepada peserta didik. Bagi peserta didik itu sendiri, tujuan dapat memberikan informasi tentang apa yang akan diharapkan dari kegiatan belajarnya atau tentang apa yang diharapkan dari kegiatan belajarnya atau tentang apa yang harus dipelajari.
Supaya tujuan pembelajaran tersebut tercapai, guru diharapkan memperhatikan bahan pembelajarannya. Menurut Rusyana (1982: 15), bahan pembelajaran sastra di sekolah tercantum dalam kurikulum. Dalam kurikulum tercantum urutan dan cakupan bahan untuk setiap kelas pada setiap semester. Dalam silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar pada silabus KTSP untuk mata pelajaran bahasa Indonesia kelas X SMA yang sesuai dengan penelitian ini yaitu terdapat pada standar kompetensi nomor 1 (keterampilan menyimak) yang berbunyi “memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung/ tidak langsung”, dengan kompetensi dasarnya yaitu nomor 1.1 yang berbunyi “menanggapi siaran atau informasi dari media elektronik (berita dan nonberita)”.
Supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai, selain dengan seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, guru juga disarankan menggunakan cara atau metode yang sesuai dengan tujuan, bahan, keadaan murid, dan suasana kelas. Menurut  Mackey (dalam Waluyo, 2002:171), metode adalah keseluruhan peristiwa mengajar dan belajar yang meliputi hal-hal, yakni: 1) seleksi; 2) gradasi; 3) presentasi; 4) repetisi; dan 5) evaluasi belajar. Agar lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut ini.
a.    Seleksi
Seleksi materi ditentukan oleh tujuan pengajaran untuk melatih keterampilan makna, konsep, informasi, perspektif, dan apresiasi. Seleksi materi harus mempertimbangkan aspek bahasa, tingkat perkembangan psikologi anak, dan latar belakang sosial budaya siswa yang bersangkutan.
b.    Gradasi (Urutan Penahapan)
Prinsip penting dalam pembelajaran sastra sebagaimana dikemukakan Moody adalah masalah penahapan. Urutan penahapan harus direncanakan, biasanya dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sederhana ke yang rumit, dan dari yang umum ke yang khusus.
c.    Presentasi (Teknik Penyampaian)
Presentasi bahan (materi) dapat berupa mendiskusikan materi, misalnya materi pembelajaran yang sesuai dengan penelitian ini adalah siaran (langsung) dari radio (berita/ nonberita), yaitu siaran iklan di radio. Dari diskusi itu akan dihasilkan kesimpulan, misal tentang isi atau maksud dari siaran iklan tersebut. Guru dapat memberikan penjelasan, ceramah, tetapi lebih banyak memberikan tugas kepada siswa yang disesuaikan dengan bahan pembelajaran.
d.    Repetisi
Materi yang sudah diberikan harus diulangi dalam bentuk ulasan guru atau tanya jawab, dapat pula berupa resensi terhadap materi yang sudah diajarkan. Dalam hal ini guru harus secara sistematis membuat rencana untuk semua siswa, baik yang berminat maupun yang tidak, agar semuanya dapat menguasai materi dalam tahap penguasaan yang tidak terlalu jauh bedanya.
e.    Evaluasi Belajar
Menurut Moody, evaluasi pembelajaran harus meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang informasi, konsep, perspektif, dan apresiasi. Contoh tes informasi yaitu ditanyakan apa iklan yang disiarkan. Contoh tes konsep yaitu ditanyakan siapa yang memasang iklan, apa keunggulan dari barang atau jasa yang diiklankan, siapa sasaran yang dituju oleh iklan tersebut.  Pertanyaan yang menyangkut tes perspektif contohnya yaitu bagaimana bahasa iklan tersebut (apakah menarik perhatian penyimak atau sebaliknya). Sedangkan tes apresiasi menyangkut penghayatan secara mendalam terhadap materi yang sudah diajarkan. Tes ini biasanya berupa tes esai, dan disarankan agar waktunya tidak disamakan dengan tes lainnya.

C.  Kerangka Berpikir
Kerangka pikir merupakan sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Permasalahan yang akan diteliti di sini yaitu tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan bagaimana tindak tutur ilokusi yang terdapat pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Tindak tutur ilokusi menurut Searle meliputi lima jenis tindak tutur, antara lain asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen ini terdapat tuturan yang bernilai ilokusi yang meliputi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia tersebut kemudian direlevansikan dengan pembelajaran menyimak di SMA.
Adapun kerangka pikir penelitian ini secara garis besar dapat dilukiskan pada bagan berikut ini.
Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio IN FM Kebumen
 
 









BAB III














BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Bab III ini berisi objek penelitian, fokus penelitian, data, sumber data, instrumen penelitian, teknik sampling, teknik pengumpulan data, uji validitas data, dan teknik analisis data.
A.  Objek Penelitian
Objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2010: 161). Objek penelitian ini adalah wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen.

B.  Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen dan relevansinya dengan pembelajaran menyimak di SMA.

C.  Data
Suatu pembahasan agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya membutuhkan data yang lengkap dan benar. Data merupakan kumpulan fakta yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi melalui suatu proses pengolahan (Arikunto, 1993: 1). Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data-data berupa tindak tutur yang terdapat dalam wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Data tersebut merupakan transkripsi data hasil rekaman pada iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen.

D.  Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002: 107). Sumber data yang digunakan dalam penelitian dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder (Al-Ma’ruf, 2009: 11-12).
Sumber data primer adalah sumber data yang mengandung data primer. Sumber data primer dalam penelitian ini berupa wacana iklan berbahasa Indonesia di Radio IN FM Kebumen. Sedangkan data tambahan (sekunder) diperoleh dari referensi-referensi lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

E.  Instrumen Penelitian
Arikunto (2006: 160) menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap serta sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, selain peneliti sendiri, adalah kartu pencatat data, dan alat tulisnya. Kartu pencatat data dipergunakan untuk mencatat data hasil dari pembacaan dan pengamatan wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Kartu data ini berisi kata-kata yang merupakan kutipan-kutipan dari wacana iklan yang berkaitan dengan pembahasan.

F.   Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling atau teknik sampel bertujuan. Menurut Sugiyono (2012: 300), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.
Objek dalam penelitian ini adalah wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Penelitian ini mencuplik bagian-bagian dalam wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen yang mewakili informasi penting agar bisa digunakan untuk analisis. Selain itu, juga mencuplik bagian buku, jurnal, dan internet yang bisa memberikan informasi penunjang.

G.  Teknik Pengumpulan Data
Menurut Sugiyono (2012: 308), teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak, teknik rekam, dan teknik catat. Adapun penjelasan dari ketiga teknik yang digunakan tersebut yaitu sebagai berikut ini.
1.    Teknik Simak
Teknik simak yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap (SLBC). Dalam menggunakan teknik ini, peneliti tidak aktif dan tidak terlibat langsung dalam dialog, dan peneliti tidak bertindak sebagai pembicara yang berhadapan dengan lawan bicara. Dia  hanya sebagai pemerhati yang penuh minat mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang yang sedang berdialog atau berbicara (Sudaryanto, 1993: 134). Teknik simak ini digunakan untuk menyimak dialog dan monolog dalam wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen.
2.    Teknik Rekam
Setelah melakukan penyimakan dan ditentukan objek yang diamati, peneliti melakukan perekaman terhadap iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen tersebut, yaitu merekam penggunaan bahasa.
3.    Teknik Catat
Setelah melakukan perekaman kemudian dilakukan pencatatan (transkipsi), sehingga data yang semula berwujud lisan menjadi data yang berwujud tertulis. Data tersebut kemudian diklasifikasikan secara sistematis, berdasarkan cakupan masalah yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini.

H.  Uji Validitas Data
Setelah data digali, dikumpulkan dan dicatat, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah menguji keabsahan data. Dalam hal ini, diperlukan kegiatan validitas data untuk menjamin keabsahan data tersebut. Selanjutnya, kegiatan validitas data dapat dilakukan melalui teknik trianggulasi. Trianggulasi menurut Sugiyono (2012: 273) diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Terkait hal ini, Sukardi (2006:107) menyatakan bahwa teknik trianggulasi terdiri dari empat jenis, yaitu trianggulasi sumber, metode, peneliti, dan teori. Berdasarkan hal tersebut, teknik validitas data penelitian ini adalah trianggulasi sumber, teori dan metode. Ada beberapa teori yang digunakan peneliti untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, yaitu tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen yang mencakup lima jenis tindak tutur ilokusi (asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif).
Melanjuti uraian sebelumnya, validitas data dengan teknik trianggulasi sumber dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah dosen, pegawai di radio IN FM Kebumen, dan pendengar radio IN FM Kebumen.

I.     Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian karena dengan menganalisis data yang diteliti, akan dapat diketahui makna atau jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2010: 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Agar analisis data dapat dilakukan secara tepat dan sesuai, dibutuhkan teknik analisis data yang tepat pula. Tujuan dari analisis data adalah menyederhanakan data agar lebih mudah dibaca atau diinterpretasikan. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (2007: 16-20), yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Sugiyono (2012: 92) juga menyatakan bahwa pelaksanaan teknik ini dimulai dengan pengumpulan data (data collection), kemudian peneliti bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan simpulan (conclutions drawing).
Di bawah ini dijelaskan masing-masing poin tersebut.
1.    Reduksi Data (Data Reduction)
Bagian awal dalam proses analisis data adalah reduksi data. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari data yang diperoleh dari sumber data penelitian. Dengan kata lain, reduksi data adalah proses penyeleksian data yang diperoleh melalui sumber data. Dalam penelitian ini, proses reduksi adalah berupa data tindak tutur ilokusi pada wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Selain itu juga meliputi data relevansi tindak tutur ilokusi pada wacana iklan dengan pembelajaran menyimak di SMA.
2.    Penyajian Data (Data Display)
Setelah proses reduksi data, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah penyajian data secara teratur dan terperinci sesuai dengan permasalahannya melalui wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen. Data yang disajikan kemudian dianalisis dan disintesis berdasarkan data-data yang ditemukan dengan bukti-bukti tekstual yang ada mengenai tindak tutur ilokusi yang terdapat pada wacana berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen dan relevansinya dengan pembelajaran menyimak di SMA.
3.    Penarikan Simpulan dan Verifikasi (Conclution Drawing)
Penarikan simpulan dan verifikasi merupakan hal terakhir yang dilakukan dalam proses analisis data. Simpulan yang disusun adalah berdasarkan data yang telah diperoleh. Namun, kesimpulan yang diperoleh adalah kesimpulan yang bersifat sementara karena perlu pengecekkan kembali catatan-catatan yang telah dibuat. Jika masih ada data yang meragukan, dapat dilakukan kembali pengumpulan data, pereduksian data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Sebagai upaya yang berkelanjutan, berulang dan terus-menerus, masalah reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan dan verifikasi menjadi gambaran keberhasilan. Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data (Miles dan Huberman, 1992: 19-20).
Selain analisis tersebut, digunakan juga analisis data dengan metode induktif dengan langkah menelaah terhadap fakta-fakta yang khusus, pernyataan yang khusus, dan peristiwa yang konkret. Kemudian digeneralisasi untuk mendapat kesimpulan secara umum. Membaca peristiwa-peristiwa khusus tentang tindak tutur ilokusi yang terkandung dalam wacana iklan berbahasa Indonesia di radio IN FM Kebumen, kemudian dihubungkan dengan kejadian-kejadian umum dalam kehidupan nyata secara umum.
Selanjutnya, untuk lebih dapat memahami tahap-tahap dalam analisis data tersebut, berikut ini adalah gambar analisis data tersebut.










 


                                                                                      Oval: Penyajian Data
                                                                                                   
Oval: Reduksi Data
 

                                                                                                                                        
Oval: Penarikan Simpulan/ Verifikasi
 

















DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: CV. Alfabeta.
Fakhrudin, Mohammad. 2012. Pragmatik (Bahan Ajar). Purworejo: FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Bagiya. 2012. Diktat Linguistik Umum. Purworejo: FKIP Universitas Muhammadiyah.
Saputra, Diyat. 2010. Tindak Tutur dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia di Radio Gajah Mada 102.4 FM Semarang (Skripsi). Semarang: IKIP PGRI Semarang.
Arikunto, Suharsini. 2009. Proposal Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rekaan Citra.
Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


Post a Comment for "ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI PADA WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA DI RADIO IN FM KEBUMEN DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN MENYIMAK DI SMA"