Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menulis Novel MENJEMPUT ASA Karya fitria Arum N


Novel


MENJEMPUT ASA


Daftar Isi:
Catatan Pertama          : Si Gadis Yang Manja
Catatan Ke-dua           : Dag Dig Dug Jedoar!!!

Catatan Ke-tiga           : Hidup Harus Terus Berjalan
Catatan Ke-empat       : Keluarga Baru
Catatan Ke-lima          : Ketika Rindu Datang
Catatan Ke-enam        : Cinta Berhijrah (1)
Catatan Ke-tujuh         : Ketika Rindu Datang
Catatan Ke-delapan    : Kembali ke Pangkuan Ibu
Catatan Ke-sembilan   : Dunia Baru
Catatan Ke-sepuluh     : Cinta Berhijrah (2)
Catatan Ke-sebelas      : Pelukan Erat Orang Tua


Catatan Satu

Si Gadis Yang Manja
Hawa panas menguap seolah menyembul dari balik tutup panci berisikan air mendidih. Kesejukan satu dua pohon di tepi jalan tak mempan lagi melawan terik matahari siang itu. angin ribut di pesawahan membuat rok abu dan kerudung putihku ikut ribut, berkibar ke sana ke mari dan memaksaku semakin kuat dalam mengayuh mini ontelku. Sesekali aku mengusap bulir keringatku yang juga  perlahan memenuhi keningku. Meskipun begitu tak ada rasa lelah dalam benakku. Kekocakan Dwi, Novi, Siti, dan tentunya aku, membuat perjalanan pulang sekolah menjadi menyenangkan. Selalu ada lemparan celotehan berupa saling mengejek di antara kami. Kepolosan Siti menambah semarak canda kami, dan tak kalah ekspresi tawaku juga turut menyemarakkan.
Tak terasa sudah empat puluh menitan kami di perjalanan. Kamipun harus berpisah di pertigaan jalan dekat rumahku. Aku tinggal belok kiri dan melewati dua rumah, lalu sampai. Novi dan Dwi belok kanan, masih harus melewati beberapa rumah lagi. Sedangkan Siti masih harus lurus mengikuti jalan itu, masih ada banyak rumah yang harus ia lewati.
Sesampainya di rumah, aku taruh mini ontelku itu di tempat parkir depan rumah. Ibuku seperti biasa, segera menyambutku dengan senyum di depan pintu setelah mendengar teriakanku.
“Maaaah!!!! Aku pulang!!!
Bahkan tak jarang, sebelum aku teriak memanggilnya, ibuku langsung keluar rumah setelah mendengar suara sepedaku yang sedang kuparkir.
“Assalamu’alaikum!” salamku kepada Ibu sambil mencium tangannya. Beberapa menu makanan, Ibu tawarkan kepadaku seusai tunai empat raka’at. Akupun memesan beberapa menu makanan yang telah Ibu tawarkan kepadaku. Dengan cepat, makanan siap lahap beserta minuman segar kesukaannku tersaji di atas meja depan TV. Ibu tahu kebiasaanku yang makan sambil menonton TV. Akupun tanpa basa-basi langsung melahap sajian Ibu untukku hingga bersih. Selesai makan, baru kusadari kalau adikku belum pulang. Biasanya adikku pulang lebih dulu dariku. Saat itu adikku masih duduk di bangku SMP kelas tujuh. Dan seperti biasanya, kakakkupun juga saat itu belum pulang kuliah. Dia biasanya pulang kalau langit sudah mulai gelap, bahkan tak jarang dia tidak pulang dengan alasan mengerjakan tugas di rumah temannya. Ibuku sudah tak heran lagi dengan kebiasaan kakakku itu.
Seusai makan, aku masuk kamar diikuti ibuku. Ibuku bertanya ini itu kepadaku. Akupun bercerita lebih dari yang ditanyakan ibu, sambil mengusap-usap kepalaku yang tiduran di paha ibu. Tak berselang lama, aku tertidur setelah ibuku keluar dari kamarku karena mendengar suara adikku yang memanggil ibu. Seharian menghabiskan waktu di sekolahan, membuatku tidur dengan sangat pulas.
Seperti biasanya, aku bangun jika sudah ada yang membangunkanku. Sebenarnya ibu tak tega jika harus membangunkanku. Tapi apalah daya, waktu shalat ashar sudah hampir habis. Tak mudah untuk dapat membangunkanku dari tidur. Tak jarang, ibu sampai membasuh mukaku dengan air supaya segera bangun.
“Sih!! Ningsih!!! Bangun! Waktu shalat ashar hampir habis!”
Akupun kemudian bergegas bangun dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa baju ganti. Aku sudah terbiasa mandi dulu sebelum shalat ashar.
Langitpun sudah mulai gelap. Lampu-lampu terlihat menyala di setiap rumah yang kulihat, tidak hanya menerangi rumah bagian dalam saja, tetapi juga menerangi jalanan depan rumah mereka. Orang-orang berhamburan keluar dari mushola. Ada yang masih memakai mukena, ada yang menjijjing mukena yang sudah terlipat rapi di dalam tas mukena, ada yang masih bersarung lengkap dengan kopyah putih atau peci hitamnya, dan ada pula yang hanya berpakaian sopan dengan hem dan celana levisnya. Terdengar dari dalam rumahku, gerombolan anak kecil yang sedang bermain benteng-bentengan atau petak umpet di depan rumahku. Terdengar penunggu benteng teriak berhitung satu sampai dengan sepuluh. Dan terdengar tepakan kaki anak-anak yang lain berlarian mencari tempat persembunyian. Ah itu sungguh mengasikkan, mengingatkanku pada masa lalu. Masa di mana aku masih kecil. Bermain tak kenal waktu dan lelah. Setiap kali bermain, aku selalu berusaha untuk jadi pemenang. Dan pernah sekali dua kali aku melakukan kecurangan demi untuk jadi pemenang. Namun kini aku sadar bahwa kecurangan itu sangat tidak perlu untuk dilakukan.
“Ningsih!!!” panggil kedua temanku, Nur dan Khusnul. Mereka biasa menghampiriku setiap usai shalat maghrib untuk pergi mengaji bersama. Rumahku paling dekat dengan mushola, oleh karena itu aku yang paling sering dihampiri mereka. dan uniknya dari kita, salah satu anak dari kita tidak pergi mengaji, maka dua anak lainnya ikut tidak mengaji. Kami biasa disebut trio wek-wek oleh teman-teman yang lainnya. Wajar saja kalau mereka menyebut kami dengan sebutan tri wek-wek, karena jumlah kami ada tiga, dan kami kompak seperti bebek.
Sepulang mengaji aku panteng TV bersama kakak, adik, dan ibuku. Ibuku tak lelah-lelahnya menyuruh kami bertiga, terutama adikku untuk belajar. Kamipun tidak menolak perintah ibu, meskipun hanya menjadwal mata pelajaran untuk esok harinya atau sekedar memegang buku atau pura-pura membolak-balikkan lembar demi lembar buku itu. Dari ketiga anak ibu dan ayahku, akulah yang paling serius dalam belajar. Bahkan tak jarang aku belajar hingga larut malam. Itu dikarenakan beberapa minggu lagi aku akan mengikuti ujian nasional. Aku bertekad untuk dapat lulus dengan nilai memuaskan. Dan setelah lulus, aku bertekad untuk diterima manjadi mahasiswi STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). STAN merupakan salah satu sekolah tinggi yang bekerja sama dengan pemerintahan. Tidak perlu mengeluarkan biaya sekolah untuk bisa mendapatkan ilmu di STAN. Dengan kata lain, biaya sekolah di STAN ditangguh oleh pemerintah. Dengan aku bisa diterima di STAN, maka aku bisa melanjutkan sekolahku tanpa harus menambah beban hidup orang tua dalam hal keuangan. Selain itu, jika sudah lulus dari STAN nanti, aku akan ditempatkan bekerja di sebuah kantor pemerintahan. Sehingga tidak susah lagi untuk mencari pekerjaan ke sana ke mari. Begitulah pemikiranku saat itu. harapan itu selalu terngiang di kepalaku, membuat semangat belajarku berkobar-kobar.
Setiap kami bertiga kumpul, rumah tidak akan sepi karena keributan selalu kami datangkan. Aku yang paling usil meledek adikku yang cengeng, yang sedikit-sedikit nangis, bentar-bentar nangis. Selain itu ada kakakku yang semaunya sendiri dalam mengganti chanel atau acara TV. Dan tentu saja aku tidak begitu saja mau menerima sikap kakakku itu jika chanel yang kakak pilih, acara yang ditonton tidak kusukai. Selain itu, ada adikku yang minta ini, minta itu kepada ibu. Jika tidak dituruti akulah yang jadi sasaran kekesalan adikku. Dia suka tiba-tiba menyenggol lenganku dengan sikutnya ketika aku sedang berjalan melewatinya. Selain itu dia juga kadang menginjak kakiku yang sedang selonjoran depan TV. Jika sudah begitu, darahku langsung naik ke atas dan terjadilah pertengkaran yang cukup sengit di antara kami. Akulah yang selalu terlebih dahulu mengadu pada ibu, kalau si bontot sudah berbuat usil kepadaku. Aku merengek pada ibu supaya si bontot dimarahi. Tentu saja ibu mempercayaiku. Ibu memang sangat jarang memarahiku dalam hal pertengkaran dengan kedua saudaraku. Itu mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya. Apapun yang kuminta seringnya selalu dikabulkan oleh ibu. Berbeda dengan kedua saudaraku. Jika mereka meminta sesuatu, jarang dikabulkan. Ya tentu saja begitu, karena yang mereka minta itu memang tidak gampang untuk dikabulkan, seperti minta ganti motor, ganti handphone, beli sepatu bola baru lagi meskipun yang lama masih sangat layak untuk dipakai, dan lain-lain. Sedangkan yang kuminta adalah hal yang memang sedang kubutuhkan saat itu, seperti membeli peralatan sekolah, membeli jajanan yang nantinya juga akan dimakan bersama di rumah, dan lainnya yang memang bukanlah sesuatu yang menghambur-hamburkan uang. Sekali dua kali aku minta barang mahal seperti handphone. Tapi ibuku paham dengan jaman sekarang, bahwa handphone tidak lagi barang mewah dan setiap remaja kebanyakan sudah memegangnya. Kemudian akupun diberi uang oleh ibu kiriman dari ayah yang sedang bekerja merantau di Bandung.
Esok harinya, sepulang sekolah, aku ditemani oleh Sari, teman sekelasku saat itu, pergi ke Mitra. Mitra adalah sebuah toko yang menjual handphone dengan segala aksesorisnya. Berjam-jam aku dan Sari memilah dan memilih handphone mana yang kira-kira pas, bagus barangnya dan murah harganya, dilayani oleh seorang pelayan toko yang ramah dan sabar. Dan akhirnya aku dapatkan pula sebuah handphone baru, meskipun kurang sesuai dengan yang aku cari. Aku dapatkan sebuah handphone dengan merk yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat umumnya. Selain itu, handphone itu hanya bisa untuk terima dan kirim sms dan telepon. Uang yang ibu beri untukku hanya bisa untuk membeli handphone semacam itu. Meskipun demikian, saat itu aku sangat senang karena denga handphone itu aku menjadi bisa terima dan kirim pesan dengan teman-teman.
Setelah tahu kalau aku punya handphone baru, kadang sebulan sekali ayah mengirimiku pulsa, kadang sepuluh ribu, kadang dua puluh lima ribu. Senang sekali setiap dapat transferan pulsa dari ayah. Karena kalau tidak ditransfer pulsa, setiap hari aku harus menyisihkan uang saku sekolahku untuk membeli pulsa sendiri. Setiap hari kecuali hari Jum’at, aku diberi uang saku sebesar dua ribu rupiah. Namun terkadang aku mendapatkan tambahan uang saku dari nenekku satu sampai dua ribu rupiah. Aku merasa kalau aku adalah cucu kesayangannya. Dari umur sekitar empat hingga delapan tahun, aku tinggal dengan nenek. Aktivitas nenek selain beribadah saat itu adalah membuat tali atau tambang dari ijuk hitam. Tali atau tambang itu nantinya akan dibeli oleh orang lain. Saat itu satu ikat tambang dengan panjang enam belas meter dihargai tiga ratus rupiah saja. Tambang-tambang itu baru akan dijual setelah terkumpul lima belas hingga tiga puluh ikat. Dan hasil penjualannya itu tidak ia simpan sendiri, tetapi untuk dibagikkan kepada cucu-cucunya, tak terkecuali aku, entah itu berupa makanan, minuman, atau masih berwujud uang.
Terkadang setiap libur sekolah aku membantu nenek membuat tambang, meski hanya sebentar dan bahkan hanya membuat berantakan tambang nenek. Kalu sudah begitu, kaburlah aku ke rumah sebelum nenek tahu. Setelah tahu tentang perbuatanku itu, terdengarlah teriakan nenekku yang menunjukkan kekesalannya kepadaku. Kekesalan nenek padaku tidaklah akan bertahan lama, karena selalu ada sogokan berupa segelas teh hangat yang sengaja kubuat untuk nenek. Setelah nenek meneguk satu dua tegukan teh hangat yang aku buat, nenek kembali mencandaiku, kembali cerita ini itu kepadaku. Tak jarang, ketika nenek sedang serius membuat tambang, aku sengaja keluar dari rumah membawa sisir dan sebuah ikat rambut. Aku biasa minta agar nenek menyisiri rambutku kemudian diikat kencang ke atas. Setelah itu bergantian aku yang membelai-belai helai demi helai rambut nenek yang panjang, sedikit dan berwarna putih.






Catatan Dua

Dag Dig Dug Jedoar!!!

Ujian nasionalpun telah usai. Aku merasa lega sekali karena akhirnya pelaksanaan ujian nasional berjalan dengan lancar. Aku yakin, nilai ujian nasionalku tidak akan mengecewakan, karena aku dapat mengerjakannya dengan dengan cukup mudah, sesuai dengan apa yang sudah aku pelajari sebelumnya.
Beberapa hari sesudah aku melaksanakan ujian nasional, aku bersama teman-temanku sekelas pergi bersepeda motor menuju ke tempat di mana kami bisa teriak sepuasnya. Kami memutuskan pergi ke Jembangan. Jembangan merupakan salah satu tempat wisata di Kutowinangun, Kebumen, dengan alamnya yang indah terbuka, dilengkapi dengan air, pepohonan hijau, perahu-perahu, warung-warung berderet di sepanjang jalan dan angin yang menghempas-hempaskan kerudung kami. Sinar matahari yang sudah menguning kemerah-merahan terlihat di ufuk barat. Saat itu sudah tak ada lagi pengunjung lain selain kami berempat, aku, Sari, Dewi, dan Ngafifah. Kami menelantangkan kedua tangan kami sambil memejamkan mata kemudian berteriak sekencang mungkin di sana. Di awali oleh Dewi dengan berteriak, “Aku yakin, kita lulus!!!”, lalu disambung oleh Ngafifah, “Dengan nilai memuaskan!!!”, kemudian dilanjutkan olehku, “Kemudian menjadi mahasiswi STAN!!!”, lalu disambung oleh Sari, “Kita sukses dan lanjut menikah!!!”.
Mendengar teriakan Sari yang spontan mengatakan menikah, secara spontan pula kami tertawa serempak.
“Ah Sari mah pikirannya nikah melulu!” kata Dewi sambil mendorong bahu Sari dengan jari telunjuknya.
“Iya nih Sari. Pengumuman kelulusan juga belum, sudah mikirin mau nikah. Gak sekalian mikirin mau punya anak berapa kamu Ri?” tambah aku.
Kembali kami tertawa serempak. Penunggu tiket perahu terlihat sedang senyum-senyum sendiri melihat ulah kami yang memang seperti anak kecil yang polos, yang tak punya beban pikiran apapun.
“Eh cuy, hidup itu harus direncanakan sedini mungkin. Dan penting juga tuh mikirin mau punya anak berapa dari sekarang!” timpal Sari.
“Iya deh yang sudah punya kekasih sang pujaan hati, belahan jiwa. Dan denger-denger udah mau tunangan nih. Ekhem...! jangan lupa aja makan-makannya. Hehe..” seru Ngafifah meledek Sari.
Ledekan demi ledekan dilontarkan dengan balas membalas di antara kami. Di tengah-tengah keceriaan kami, tiba-tiba salah seorang penunggu Jembangan itu mendekati kami, dan bilang pada kami, “We.. Cewe..!! Hari sudah mulai gelap. Segeralah kalian pulang. Tidak baik anak perawan sudah petang masih keluyuran di luar. Orang tua kalian pasti sedang menunggu kepulangan kalian!”
Spontan aku lihat jam tanganku. Jarum jam di jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17.45. Akupun terperanjat kaget. “Waduh!! Cepet banget jam segini. Ayo teman-teman kita pulang. Sudah sore banget ini. pasti sampai rumah bakal diceramahin mama deh.” Kataku sambil menarik tangan Sari yang kebetulan berada pas di samping kananku. “Mmmm, makasih Pak sudah diingatkan,” kataku lagi pada bapak penunggu jembangan itu.
Kamipun bersegera berjalan menuju tempat motor kami diparkir. Kami tidak terlalu jauh untuk berjalan. Hanya sekitar dua sampai tiga meter sa. Sampai di tempat parkir, kuserahkan kunci motor kakakku yang sedang kupinjam kepada Sari. Memang kebiasaanku kalau bepergian bareng Sari, pasti Sari kusuruh jadi sopirku. Karena melihat badannya yang tinggi dan besar, aku menjadi tak percaya diri jika harus memboncengnya. Jadi, kalau kami bepergian bareng, dengan sadar diripun, Sari selalu meminta kunci motorku jika aku lupa tidak menyerahkan kunciku padanya.
Motorku dilajukan dengan kencang oleh Sari. Dibonceng Sari serasa dibonceng Vallentino Rossi. Tak jarang Pedrosa dan pasangannya alias Dewi dan Ngafifah dapat mendahului kami. Selalu saja Valentino Rossi tak mau kalah. Kecepatanpun ditambah. Kebut-kebutan berlangsung hingga perempatan jalan di dekat rumah sakit di Kebumen. Aku dan Valentino Rossi belok ke selatan, sedangkan Pedrosa dan Ngafifah belok ke utara. Motorku berhenti hingga depan rumah Sari. Ibu Sari selalu menyuruhku untuk masuk rumahnya kemudian menyajikan makanan kecil dan minuman untukku. Bahkan tak jarang makanan besar seperti nasi dan lauknya disajikan di depanku. Akupun dengan senang hati menerima tawaran Ibu sari meskipun sedikit canggung. Namun berbeda dengan saat itu, karena hari sudah petang. Aku harus segera sampai rumah, karena ibu pasti mencemaskanku karena sebelumnya aku tidak memberi kabar kalau aku akan pulang telat.
Dan benar, sampai di rumah tidak seperti biasanya yang ditawarkan makanan ini, makanan itu, minuman ini, minuman itu, tetapi malah mendapat omelan. Ibuku selalu bicara tak henti-hentinya, panjang seperti kereta dan sambung menyambung menjadi satu. Masalah ini dikait-kaitkan dengan masalah itu, selalu begitu. Ibuku memang sungguh cerewet. Itu karena dia tidak ingin terjadi apa-apa pada anak-anaknya. Setiap kali aku diceramahi ini itu oleh ibu, aku selalu diam meskipun tak jarang sebenarnya aku hanya pura-pura mendengarkan, sedangkan telingaku kupasang headset, mendengarkan musik di handphone kakakku yang sedang tergeletak tak dipakai.
Pengumuman kelulusan beberapa detik lagi akan segera kuterima. Tak berselang lama, kudapatkan sebuah amplop berisi surat pengumuman kelulusan dari wali kelasku. Kubuka perlahan dan dan terlihatlah langsung di surat itu tulisan “LULUS” dengan huruf kapitan dan tebal. Langsung kupeluk teman di dekatku yang juga sedang terlihat bahagia karena lulus. Dari belakang aku dapat pelukan yang mengagetkan dari Sari yang juga sedang bahagia karena lulus, kemudian disusul oleh Dewi dan Ngafifah. Kami saling berpelukan kencang, berjingkrak-jingkrak, berputar-putar sambil teriak “Yeyeye Lalala” berulang kali.
Kebahagiaan tak hanya aku rasakan bersama sahabat-sahabatku. Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan meja makan yang sudah tersaji banyak makanan kesukaanku. saudara-saudarakupun datang seperti sedang hari Raya Idul Fitri. Kami kemudian makan bersama. Satu per satu dari mereka mengucapkan selamat disertai doa sukses untukku.  Akupun mengucapkan terima kasih dan mengamini doa-doa yang mereka panjatkan untukku.
“Setelah ini mau ke mana Sih?” kata paman padaku. Belum sempat aku menjawab, bibiku sudah terlebih dahulu mewakiliku menjawab pertanyaan dari paman, “Nikah sama calon pacar, paman”.
“Hahaha.” Tertawa serempak semuanya, kecuali aku. aku sudah tahu, kalu saudaraku yang lain pasti sudah menunggu gilirannya untuk meledekku. Jadi aku diam sambil menikmati hidangan enak masakan ibu, memberi kesempatan saudaraku untuk puas meledekku.
“Calon pacarnya yang mana nih? Sari, Dewi, atau Ngafifah?” ucap sepupuku.
“Hahaha” kembali mereka tertawa. Aku diam, pura-pura tidak mendengar.
“Wah tampaknya adikku yang cewe sekarang berubah jadi cowo nih. Duh tambah saingan nih.” Kata kakakku sambil melirik kepadaku. Aku diam sinis memandang kakakku. Sebenarnya, rasanya sudah sangat geram dengan ledekan-ledekan itu. tapi ternyata ledekan itu belum berakhir.
“Bu, Ibu,,” kata adikku kepada ibu.
“Iya dek. Kenapa sayang?” jawab ibu seketika itu juga.
“Sepertinya pengeluaran ibu bulan ini akan banyak. Adek takut gak kebagian uang jajan nih.” Kata adikku.
“Memangnya kenapa dek?” tanya ibu kepada adikku.
“Ya kan ibu perlu mengganti pakaian-pakaian kak Ningsih. Kak Ningsih kan udah jadi cowo bu, masa pakaiannya masih cewe sih. Aneh banget kali bu. Hehehe.” Jawab adikku dengan nada agak pelan dan mendekati ibu, takut dihajar olehku.
Dan akhirnya sang pembelaku angkat bicara juga. “Ningsih sayang. Jangan hiraukan mereka. Kamu lanjutkan dan tetap fokus pada sekolahmu dulu. Nanti kalau sudah sukses, baru mikirin kayak gituan. Tunjukkan sama kami, kalau kamu itu bisa jadi wanita tulen yang sukses.” Nasihat pak dhe padaku. Dialah yang selalu membelaku di saat saudaraku yang lain meledekku.
“Heh saudara-saudaraku setanah air!! Dengerin tuh pak dhe! Aku mau sukses dulu. Kalau sudah sukses nanti, akan kutunjukkan daftar nama-nama pria tampan sukses yang mendaftarkan dirinya untuk menikahiku.” Kataku semangat.
“Wkwkwk” semua saudaraku tertawa terpingkal-pingkal kecuali ibu dan pak dhe, mendengar perkataanku yang cukup panjang dan mungkin menggelikan bagi mereka. Ada yang tertawa sambil memegangi perut, ada yang tertawa sambil menutupi mulutnya yang terbuka lebar, ada yang tertawa sambil menepuk-nepuk karpet lantai yang sedang ia duduki, ada yang mencoba untuk tidak tertawa dan ada pula yang tertawa sambil mendorong-dorong bahu saudaraku yanng lain yang sedang ada di dekatnya.
Canda tawa kami berlangsung hingga adzan ashar dikumandangkan di mushola Babussalam oleh muadzin kecil. Jarak rumahku dengan mushola sangat dekat. Adzan tanpa microphonepun, tetap terdengar hingga ke dalam rumahku. Saudara-saudarakukup kemudian berpamitan pulang. Rumahkupun menjadi hilang dari keramaian.
Beberapa minggu kemudian, aku pergi ke Bandung bersama ayah menggunakan kereta Sawunggalih. Kurang lebih delapan jam, perjalanan dari stasiun Kebumen menuju stasiun Kiara Condong, Bandung. Ayah pulang dari Bandung tiga hari sebelum berangkat lagi denganku. Ayah sengaja pulang untuk menjemputku. Sampai di sana, aku tinggal di kontrakan ayah. Sebuah kontrakan kecil yang memiliki satu sekat, sehingga terdapat dua ruangan di kontrakan itu. ruangan yang dekat dengan pintu keluar  digunakan untuk ruang tamu, sedangkan ruangan yang satunya lagi digunakan untuk ruang tidur dan menonton TV. Lemari-lemari pakaian berjejer rapi di ruang tidur menempel di tembok. Di dinding ruang tidur sebelah utara terpasang jendela. Dan ternyata di balik jendela itu terdapat sebuah dapur dengan peralatan dapur yang cukup komplit. Dan tepat di sebelah dapur, terdapat sebuah kamar mandi. Kamar mandi, dapur, dan ruang untuk tidur memiliki pintu keluar masing-masing.
Untuk bisa masuk ke kontrakan ayah, aku harus menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu. Tujuanku ikut ayah ke Bandung adalah untuk mengikuti ujian tertulis masuk STAN. Selama di Bandung, aku selalu dimanjakan dengan makanan-makanan enak yang biasa ayah beli, seperti pepes ikan mas, ayam bakar, martabak, batagor, dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu, ayahku mengajakku ke sana ke mari untuk membeli ini dan itu.
Esok harinya aku diajak ke kios ayah, di Pasar Suka Haji, Bandung. Untuk dapat sampai ke sana, kami cukup jalan kaki saja dari kontrakan, karena jaraknya yang tak terlalu jauh. Baru memasuki pintu gerbang pasar, bau kotoran ayam dan burung langsung menyengat hidung panjangku. Aku pura-pura tidak jijik dengan kotoran-kotoran ayam yang berceceran di sepanjang jalan di pasar itu mengingat ayahku telah rela berhari-hari bahkan berbulan-bulan menghabiskan pagi, siang, dan sorenya di tempat itu untuk bisa membahagiakan keluarganya di rumah. Sampai di kios ayah, aku disuruh duduk manis dan melihat ayah mengeluarkan ayam-ayam dari dalam kiosnya yang tertutup rapat. Setelah ayam-ayam itu dikeluarkan semua, kulihat ada berbagai macam ayam yang ayah jual. Tak tau apa saja nama ayam-ayam itu, yang jelas tidak seperti ayam-ayam milik ibuku di rumah. Kata ayah, ayam-ayam yang ayah jual ada ayam cemani, ketawa, mutiara, bangkok, kate, dan masih ada banyak yang lain.
Dua hari kemudian aku bangun pagi benaruntuk menyiapkan segala sesuatunya, meskipun sebenarnya malam hari sebelum aku bangun, sudah aku siapkan apa-apa yang aku butuhkan untuk mengikuti ujian masuk STAN. Aku mengikuti ujian STAN di Balai Diklat Keuangan BDK) Cimahi, tepatnya di jalan Gado Bangkong No 111, Cimahi. Ujian dimulai pukul 08.00 WIB. Kami berangkat dari kontrakan sengaja pagi, karena ayah belum tau benar lokasi pelaksanaan ujiannya. Kami berangkat jam 05.30 WIB. Sampai di sana jam 07.30 WIB. Perjalanan yang lumayan panjang, macet dan harus mencari alamat tujuan juga. Aku minta doa restu ayah sebelum masuk ruang ujianku. Selesai ujian perasaan sedikit lega kurasakan setelah sebelumnya ketegangan dan keributan batin menghampiriku karena soal-soal ujian yang tidak terlalu aku kuasai. Soal-soal itu tidak biasa aku hadapi di sekolah.
“Gimana Sih” kata ayah sambil memberiku botol minuman.
“Tak tau deh yah. Susah banget!!” jawabku sambil membuka botol minuman dan kemudian meneguk perlahan.
“Usaha sudah, tinggal tambahin doa. Yakinlah pada rencana Allah” kata ayah lagi.
“Iya yah” jawabku pelan, karena tak yakin dengan jawaban-jawaban yang telah aku putuskan dari soal-soal ujian itu.
Setengah bulan aku menunggu pengumuman hasil ujian seleksi masuk STAN. Setengah bulan juga, jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Harap-harap cemas dengan hasil ujian seleksi masuk STAN itu. Tak hanya jantung, seisi tubuhku serasa ikut berdetak, dan darah mengalir deras. detik-detik pengumuman membuat jantungku serasa mau meletus.
Meskipun tak yakin dengan jawaban dari soal-soal ujiannya, entah kenapa doa-doa yang selalu aku panjatkan setiap saat, membuatku yakin kalau aku akan lolos ujian tertulis itu. Tepat di hari pengumuman itu, aku dan ayah pergi ke lokasi ujian lagi untuk melihat daftar nama yang lulus ujian seleksi. Satu per satu nama yang berderet ke bawah kubaca, dari atas hingga bawah. Karena tak kubaca namaku di daftra itu, aku baca ulang hingga tiga kali. Pikirku, siapa tau namaku terlewati saat aku membaca deretan ke bawah itu, sehingga tk kubaca namaku sendiri. Namun setelah kubaca hingga tiga kali, hasilnya sama saja, tidak ada namaku di deretan nama-nama itu.
“Ayah!” kataku dengan raut muka sedih. Ayahku paham, kemudian menepuk-nepuk bahuku sambil berkata, “Belum rejekimu, Sih. Di luar sana ada rejekimu yang lebih baik yang sedang menunggumu. Ingatlah, rencana Allah lebih baik dari apapun yang kita harapkan di dunia ini”. Pesan itu membuatku sedikit berkurang sedih dan kecewaku. Lalu ayah mengajakku kembali ke kontrakan. Sepanjang ajalan aku hanya diam. Menjawab seperlunya saja, jika ayah bertanya atau berkata sesuatu padaku. Ayah memahami perasaanku saat itu. sebelum sampai di kontrakan, ayah memarkirkan Varionya di tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan megah yang bertuliskan LOTTE. Aku hanya menggeleng dan mengangguk saat ayah menawarkan barang-barang bagus pilihannya untukku, seperti baju, sepatu, tas, dan lain-lain. Pengumuman itu sangat membuatku kecewa dan marah sejenak pada Allah. Dalam hati aku berkata pada Allah, “Kenapa Allah jahat padaku? Kenapa Allah tak melihat usahaku? Kenapa Allah tak mendengar do’aku?”
Pengumuman itu membuatku menjadi bermalas-malasan untuk melaksanakan kewajibanku kepada-Nya. Support dari saudara dan teman-temanku lewat pesan seluler tak merubah sikap kecewaku pada Allah. berhari-hari aku merenung sendiri di kontrakan ayah. Setiap kali ayah mengajakku untuk ikut dengannya ke kios, aku menolak. Aku memilih untuk berdiam diri di kontrakan.
























Catatan ke-tiga

Hidup Harus Terus Berjalan

Seminggu setelah pengumuman itu aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
“Ayah, aku pengin pulang.” Kataku pada ayah sambil mengambilkan nasi serta lauknya untuk ayah.
“Loh, Ningsih sudah tak betah tinggil di sini?” kata ayah sambil mengaduk-aduk kopi yang sudah aku seduhkan untuknya.
“Aku mau mikirin langkah selanjutnya di rumah yah.” Kataku lagi.
“Baiklah kalu begitu maumu. Nanti siang ayah caritak tiket kereta untukmu. Sekarang kita sarapan dulu. Kamu makan yang banyak, biar gak kurus seperti itu. liat nih ayahmu, terlihat lebih tampan dengan badan ayah yang besardan segar.” Kata ayah sedikit menghiburku sambil menunjukkan otot lengannya.
“Hehe. Ah ayah bisa saja. Ningsih gak kurus kali yah.” Kataku.
Kamipun kemudian sarapan sambil melanjutkan obrolan kecil yang membuatku sedikit lupa dengan kekecewaanku pada pengumuman itu. sekitar pukul 07.30 WIB, seperti biasanya, ayah berangkat ke kiosnya, berharap pulang membawa lembaran-lembaran uang besar. Ayah berpamitan untuk berangkat dengan memberi pesan padaku, “Ningish, ayah berangkat dulu ya. Nanti kalau kamu mau keluar kontrakan, pintu jangan lupa untuk selalu dikunci. Kalau mau tidur, pintu juga jangan lupa dikunci dari dalam ya?”
“Siap bos!” kataku sambil hormat.
Sebelum berangkat ayah menyodorkan tangannya padaku. Akupun paham maksud ayah. Aku bersalaman dengan ayah kemudian mencium tangan ayah. Ayah menepuk-nepuk bahuku.
Sorenya, ayah pulang dengan membawa sebuah tiket kereta. Akupun segera bersiap-siap, menyiapkan segala sesuatu yang harus aku bawa pulang. Satu tas ransel dan satu tas jinjinglah yang harus kubawa.isi tas itu adalah baju-baju yang aku beli dengan ayah selama di Bandung. baju-baju itu bukan hanya bajuku. Tapi juga baju untuk ibu, kakak, dan adik di rumah. Selain itu, jajanan khas Bandung seperti macam-macam dodol, peyem, batagor, dan martabak sudah terbungkus rapi di dalam tas jinjing. Jajanan itu sengaja dibeli untuk saudara-daudaraku yang sudah menunggu kepulanganku di rumah, seperti sepupu-sepupu, bu dhe, pak dhe, paman, dan bibiku. Kereta berangkat pukul 21.00 WIB. Aku diantarkan oleh ayah dengan Varionya sampai stasiun Kiara Condong. Aku mencoba meyakinkan ayah, kalau aku akan baik-baik saja selama di perjalanan dan akan sampai di rumah dengan selamat tak kurang apapun.
“Ningsih, maafkan ayah hanya mengantarmu sampai di sini. Seandainya saja langganan ayah mau sabar menunggu ayah hingga lusa. Pasti kamu ayah antar hingga pada ibumu nak.” Kata ayah dengan wajah penuh dengan kekhawatiran.
“Ayah bicara apa sih. Ningsih sudah besar yah. Ningsih bisa kok pulang sendiri. Malu kali yah udah segede gini tapi pulang pake dianter segala. Ayah tenang saja di sini. Ningsih pasti baik-baik saja di jalan. Nanti kalau sudah sampai di Kebumen, ayah orang pertama yang aku kabari deh.” Kataku mantap.
“Baiklah Ningsih. Kamu hati-hati di jalan yah. Jaga diri baik-baik. dan jangan lupa jaga juga barang-barang bawaanmu.” Kata ayah sambil menyerahkan tas jinjing kepadaku.
“Siap! Baiklah ayah. Ningsih masuk kereta dulu. Ayah hati-hati di sini. Jaga kesehatan ayah selalu ya yah. Ningsih pasti akan merindukan ayah di rumah nanti. Assalamu’alaikum yah.?” Kataku sambil menyalami tangan ayah kemudian mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam.” Kata ayah senyum terpaksa.
Kamipun kemudian berpisah. Aku berjalan mencari tempat dudukku di dalam kereta yang kunaiki. Tak lama, akhirnya kutemukan tempat duduk itu. tas jinjing yang kubawa, kuletakan di atas tempat dudukku, sedangkan tas ranselku, kutaruh di bawah tempat dudukku. Keretapun melaju semakin kencang, hingga membuat mataku terpejam dengan sendirinya. Pedagang-pedagang asongan yang kutemukan saat itu tidak serampai sektu aku berangkat ke Bandung. Mungkin karena waktunya yang berbeda. Sewaktu berangkat ke Bandung pagi hari, sedangkan sewaktu pulang dari Bandung adalah malam hari.
Pukul 05.00 WIB aku tiba di stasiun Kebumen. Sebelumnya sampai di Kebumen, aku sudah kirim sms ke kakakku untuk menjemputku di stasiun. Setelah turun dari kereta, aku mengirimkan sebuah sms pada ayah, bahwa aku sudah sampai di kebumen dengan selamat. Ayahkupun langsung membalasnya. Terlihat hati ayah yang tenang saat aku membaca pesan darinya karena tahu kalau aku sudah tiba di Kebumen. Aku keluar dari stasiun, dan kulihat kakakku sudah menungguku di depan pintu gerbang stasiun dengan Tiger birunya. Aku bersalaman dengannya, lalu menaiki Tiger itu. kemudian Tigerpun dilajukan dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan, tak ada obrolan serius di atara kami.
“Ningsih makin kurus saja.” Kata kakakku.
“Tapi makin cantik kan adikmu ini? ngaku deh.” Timpalku pada kakak.
Sampai di rumah, kulihat ibu sedang memasak makanan kesukaanku, semur jengkol. Sedangkan adikku sedang sibuk menyiapkan buku-buku sekolahnya. Nampaknya dia sedang menjadwal mata pelajaran hari itu.
“Gimana Ningsih, sehat kamu nak?” kata ibu.
“Seperti yang ibu lihat, aku sehat, kuat, segar bugar, dan tambah cantik juga.” Kataku tanpa malu sedikitpun.
Ibu tersenyum melihat tingkahku yang masih sama seperti sebelum aku pergi ke Bandung.
“Aku dibelikan jajan apa kak?” kata bontot menghampiriku, lalu bersalaman dan mencium tanganku.
“Itu di tas ransel. Bayar jangan lupa! Barang mahal itu.” ledekku pada adik.
“Aku bos kak. Masalah bayar kecil. Sudah ada ibu yang jadi manajerku. Dia yang akan membayarkan segala kebutuhanku.” Jawab adik tak mau kalah.
Oleh-oleh yang aku bawa, segera Ibu bagikan merata pada saudara-saudaraku dan tak lupa tetangga dekatku. Disisakan satu bungkus dodol, satu ikat peyem, satu bungkus batagor, dan dua bungkus martabak di rumah.
Esoknya, aku ketemuan dengan salah satu sahabat SMKku dulu, Mirna namanya, yang sudah jadi pengacara alias pengangguran banyak acara. Sebelumnya kami sudah terlebih dahulu janjian lewat sms. Kami berbincang-bincang cukup lama di Alun-alun Kebumen. Mirna mengajakku untuk mencari pekerjaan bareng. Akupun tanpa pikir panjang langsung menerima ajakannya, meskipun sebenarnya ayah tidak terlalu membolehkanku untuk bekerja dahulu. Pengumuman hasil seleksi masuk STAN itu telah membuat pikiranku tercuci. Tak ada lagi keinginanku untuk melanjutkan sekolah. Ditambah, teman-teman SMKku sekelas hampir seratus persen tidak melanjutan sekolah, melainkan bekerja. Akupun secara diam-diam mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke salah satu perusahaan yang ada di Bekasi lewat kantor pos. Bahkan ibupun tak tau kalau anak perempuannya sedang memiliki misi untuk merantau mencari uang sendiri.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat telepon dari pihak perusahaan itu, bahwa besok aku harus mengikuti tes tertulis di perusahaan itu. kaget, senang, dan bing yang kurasakan saat itu. aku hanya menjawab iya dan baik, pada saat menerima telepon itu. ternyata Mirna juga menerima telepon sama sepertiku. Lalu hari itu juga, kami ketemuan di stasiun, memesan tiket kereta menuju Bekasi. Tiketpun kami dapatkan dengan keberangkatan pukul 21.00 WIB.
Sepulang dari stasiun, aku langsung memberi kabar pada keluarga. Kakakkulah orang pertama yang melarangku untuk pergi merantau. Dia khawatir akan terjadi hal buruk padaku bila pergi meninggalkan rumah dengan waktu yang lama tanpa ada keluarga yang bersamanya. Dia ingin aku tetap tinggal di rumah menemani ibu. Begitupula denga ayah. Dia melarangku untuk pergi jauh-jauh untuk bekerja. Dia menyuruhku untuk melanjutkan kuliah di manapun aku mau. Berbeda dengan ibuku. Dia memberiku support tentang keinginanku untuk pergi merantai belajar mandiri. Dia yakin kalau aku akan bisa jaga diri. Meskipun ayah da kakakku melarangku pergi merantau untuk bekerja, namun aku tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan niatku. Aku merengek pada ayah yang sedang menelpon ke nomorku, “Ayah, ayo donk bolehin Ningsih pergi merantau ke Bekasi. Ningsih pengin belajar nyari duit sendiri yah. Ningsih sudah gak pengin sekolah. Nanti deh kalau Ningsih pengin sekolah lagi, Ningsih langsung bilang sama ayah. Boleh ya yah?”
“Hmmm. Kamu keras kepala ya. Nanti kamu di sana sama siapa?” kata ayah padaku dengan serius.
“Oh kalau itu sudah Ningsih pikirkan mateng-mateng yah. Banyak teman-teman SMK Ningsih yang juga merantau di sana. Nanti malam saja Ningsih berangkatnya sama Mirna, teman SMK Ningsih, yah.” Jawabku tak kalah serius dengan ayah. “Oh iya yah. Ayah juga jangan khawatir, nanti Ningsih di sana tinggal di mana dan sama siapa. Di sana nanti Ningsih numpang tidur dulu dikontrakan teman. Setelah pasti kalau Ningsih diterima bekerja, nanti pelan-pelan Ningsih sambil mencari kontrakan kosong dengan ditemani oleh teman Ningsih yang ada di sana. Mereka sudah tau banyak tentang daerah di sana, jadi tak akan bingung deh yah. Temen-temen Ningsih baik-baik semua sama Ningsih satu per satu di antara mereka sudah menawari Asih bantuan yah.” Tambahku panjang lebar. Tampaknya ayah masih belum membolehkanku untuk pergi merantau. Tak ada respon apaun yang terdengan dari HP ku. Maka aku menegaskan pertanyaanku pada ayah, “Gimana ayah? Boleh gak sih? Mas anak mau belajar maniri gak boleh sih!.”
“Ekhem! Ya sudah kalau memang mau Asih seperti itu. Ayah tak bosan-bosannya berpesan padamu, di sana nantin kamu hati-hati ya. Jangan sembarangan percaya sama orang, baik yang sudah dikenal maupun belum. Kalu ada teman yang butuh bantuanmu, bantulah dia semampumu. Karena suatu saat pasti kamu akan butuh bantuan mereka. selalunjalankan shalat lima waktu tepat waktu. Kalu ada apa-apa segera kabari ayah, ibu atau kakakmu.” Ungkap ayah kebapakkan.
“Iya, ayah Ningsih janji akan selalu ingat dan menjalankan pesan ayah itu.” kataku senang. Lalu HP kuserahkan pada ibu, karena ayah ingin bicara dengan ibu. Ibu langsung menuju ke ruang tamu, kebetulan ruang tamu sedang sepi. Aku hanya melihat ibu yang sedang duduk di kursi dengan bibir yang melebar karena tersenyum lepas, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Kemudian aku menuju kamar untuk membereskan baju-baju yang mau aku bawa malam itu. kakakku mengikutiku dan berbicara padaku dengan penuh kasih sayang. Tak biasanya, kakakku bersikap seperti saat itu. biasanya dia cuek bebek terhadap apa yang kulakukan. Tapi tidak ketika itu.
“Dhek, nanti kakak yang nganter kamu ke stasiun yah?” katak kakakku lembut.
“Ya iyalah kak. Siapa lagi kalau bukan kakak.” Jawabku agak membentak.
Nanti kalau kamu sudah sampai di sana, jangan suka keluar malam. Kalau keluar kontrakan, pakailah jilbabmu. Sering kabari keadaanmu di sana pada kakak ya dhek. “ kata kakak dengan lembut. Aku tak kuasa mendengar nasihat kakak yang sangat jarang aku dapatkan sebelumnya. Akupun tanpa sadar memeluk kakakku, “Iya kak. Kakak jangan khawatir. Nanti adhek bakal sering kasih kabar ke kakak. Adhe di sana pasti akan baik-baik saja kak.” Kataku sambil mengusap air mata yang tak hurapakan keluar dan jatuh ke pipiku.
“Ningsih, kamu pengin dibawain jajan apa? Nanti ibu belikan.” Kata ibu yang terlihat matanya sudah berkaca-kaca. Aku dan kakakpun segera melepas pelukan. Aku mencoba menarik napas panjang supaya kuat untuk menjawab pertanyaan dari ibu.
“Tak usah bu. Tak usah ibu repot-repot membelikan Ningsih jajan untuk dibawa ke sana. Nanti malah Ningsih kerepotan bawanya. Tas Ningsih sudah penuh bu.” Kataku sambil memperlihatkan tas hitamku yang sudah penuh dengan baju-baju dan dokumen-dokumen penting.
Matahari mulai condong ke barat, lalu tenggelam. Akupun sudah siap untuk meninggalkan rumah serta isinya. Sebelumnya, aku sudah berpamitan pada saudara-saudara dekatku. Sehabis shalat Isya, akupun keluar dari kamar dengan menggendong tasku yang penuh memadat. “Ayuh kak.” Kataku sambil mengetuk pintu kamar kakak. Aku berjalan keluar rumah lalu mengenakan  sepatu fantofel hitamku. Ibuku duduk di teras rumah sambil memperhatikanku. “Ibu, hati-hati di rumah ya. Adhek, jagain ibu baik-baik.jangan nakal loh. Kalau nakal, nanti kakak pulang gak ngebawain oleh-oleh buat adhek.” Kataku sambil pura-pura kuat.
“Ayuh dhek. Kakak sudah siap.” Kata kakakku sambil menunjukkan kunci Tigernya lalu menaikinya.
“Ningsih berangkat dulu ya bu.” Kataku sambil menyalami dan mencium tangan ibu.
“Iya, hati-hati di jalan. Jangan lupa bismillah dan ayat kursinya.” Kata ibu sambil mengusap kepalaku lalu menciumi keningku.
“Kakak berangkat ya dhek.” Kataku sambil menyodorkan tanganku pada adikku.
“Iya kak. Adhek tunggu jajannya saat kakak pulang. Hehe.” Kata adhek sambil mencium tanganku.
Akupun kemudian menyusul kakakku, menaiki Tiger birunya. Aku duduk di belakang kakak. Kakak meminta tasku, kemudian digendonglah tasku oleh kakak. Sungguh beruntungnya aku punya kakak seperhatian dan sepengertian kakakku. Tigerpun segera dilajukan. Sekitar lima belas menitan kamipun sampai di stasiun. Di sana sudah ada Mirna yang sedang duduk di serambi stasiun, sengaja menungguku. Kakakkupun ikut menemui Mirna dan bersalaman dengannya, kemudian duduk sebentar menunggu kereta datang. Tak lama kemudian, keretapun datang. Kamipun segera masuk kereta. Kakakku ikut masuk, ingin memastikan adiknya benar-benar akan baik-baik saja di dalam kereta. Aku duduk bersebelahan dengan Mirna. Setelah ada peringatan bahwa kereta akan segera melaju, kakakkupun segera turun. “Kakak turun ya dhe?” kata kaka sambil menyodorkan tangannya padaku. “Pasti kak. Makasih ya kak sudah diantar. Adhek sayang kakak. Hehe.” Kataku sambil mencium tangannya. “Mirna, titip Ningsih yah.” Kata kakak pada Mirna. Mirnapun mengangguk lalu bersalaman.
Lambaian tangan aku berikan pada kakak dari balik jendela kereta. Terlihat dari dalam kereta, kakak ikut melambaikan tangannya dan tersenyum padaku dan Mirna. Lambaian tangan kakakkupun lama kelamaan hilang. Kereta melaju semakin kencang. Semakin lama, matakupun semakin tak kuat menahan kantuk. Obrolan aku dan Mirnapun semakin berkurang. Dan tak lama kemudian tanpa kusadari mataku terpejam dan ragaku melayang entah ke mana. Namun, suara-suara pedagang asongan membuat tidurku menjadi tidaklah lelap.
“Udang goreng udang goreng!!” kata pedagang udang goreng menawarkan dagangannya.
“Kopi popmi kopi popmi!!!” kata penjual yang lain. Dan masih ada banyak lagi yang lain yang mencoba menawarkan barang-barang dagangannya. Tak ada yang aku beli, kecuali sebotol minuman. Berbeda dengan Mirna yang membeli segelas kopi dan popmi. Aroma kopi dan popminya menusuk-nusuk hidungku. “Ningsih mau nggak?” kata Mirna menawariku. “Gak Mir, makasih. Dimakan saja. Aku masih kenyang. Tadi mau berangkat aku makan banyak. Ibuku yang mengambilkan.” Jawabku jujur. Akupun kembali melanjutkan usahaku untuk bisa terlelap tidur, karena besok pagi aku harus mengikuti tes masuk di sebuah perusahaan yang menelponku hari itu juga di pagi hari, yaitu PT Sanyo Jaya Components Indonesia, di Cibitung, Bekasi.

Post a Comment for "Menulis Novel MENJEMPUT ASA Karya fitria Arum N"