Menulis Novel MENJEMPUT ASA Karya fitria Arum N
Novel
MENJEMPUT
ASA
Daftar Isi:
Catatan
Pertama : Si Gadis Yang Manja
Catatan
Ke-dua : Dag Dig Dug Jedoar!!!
Catatan
Ke-tiga : Hidup Harus Terus
Berjalan
Catatan
Ke-empat : Keluarga Baru
Catatan
Ke-lima : Ketika Rindu Datang
Catatan
Ke-enam : Cinta Berhijrah (1)
Catatan
Ke-tujuh : Ketika Rindu Datang
Catatan
Ke-delapan : Kembali ke Pangkuan Ibu
Catatan
Ke-sembilan : Dunia Baru
Catatan
Ke-sepuluh : Cinta Berhijrah (2)
Catatan
Ke-sebelas : Pelukan Erat Orang Tua
Catatan Satu
Si Gadis Yang Manja
Hawa panas
menguap seolah menyembul dari balik tutup panci berisikan air mendidih.
Kesejukan satu dua pohon di tepi jalan tak mempan lagi melawan terik matahari
siang itu. angin ribut di pesawahan membuat rok abu dan kerudung putihku ikut
ribut, berkibar ke sana ke mari dan memaksaku semakin kuat dalam mengayuh mini
ontelku. Sesekali aku mengusap bulir keringatku yang juga perlahan memenuhi keningku. Meskipun begitu
tak ada rasa lelah dalam benakku. Kekocakan Dwi, Novi, Siti, dan tentunya aku,
membuat perjalanan pulang sekolah menjadi menyenangkan. Selalu ada lemparan
celotehan berupa saling mengejek di antara kami. Kepolosan Siti menambah
semarak canda kami, dan tak kalah ekspresi tawaku juga turut menyemarakkan.
Tak terasa
sudah empat puluh menitan kami di perjalanan. Kamipun harus berpisah di
pertigaan jalan dekat rumahku. Aku tinggal belok kiri dan melewati dua rumah,
lalu sampai. Novi dan Dwi belok kanan, masih harus melewati beberapa rumah
lagi. Sedangkan Siti masih harus lurus mengikuti jalan itu, masih ada banyak
rumah yang harus ia lewati.
Sesampainya di
rumah, aku taruh mini ontelku itu di tempat parkir depan rumah. Ibuku seperti
biasa, segera menyambutku dengan senyum di depan pintu setelah mendengar
teriakanku.
“Maaaah!!!! Aku
pulang!!!
Bahkan tak jarang,
sebelum aku teriak memanggilnya, ibuku langsung keluar rumah setelah mendengar
suara sepedaku yang sedang kuparkir.
“Assalamu’alaikum!”
salamku kepada Ibu sambil mencium tangannya. Beberapa menu makanan, Ibu
tawarkan kepadaku seusai tunai empat raka’at. Akupun memesan beberapa menu
makanan yang telah Ibu tawarkan kepadaku. Dengan cepat, makanan siap lahap
beserta minuman segar kesukaannku tersaji di atas meja depan TV. Ibu tahu
kebiasaanku yang makan sambil menonton TV. Akupun tanpa basa-basi langsung
melahap sajian Ibu untukku hingga bersih. Selesai makan, baru kusadari kalau
adikku belum pulang. Biasanya adikku pulang lebih dulu dariku. Saat itu adikku
masih duduk di bangku SMP kelas tujuh. Dan seperti biasanya, kakakkupun juga
saat itu belum pulang kuliah. Dia biasanya pulang kalau langit sudah mulai
gelap, bahkan tak jarang dia tidak pulang dengan alasan mengerjakan tugas di
rumah temannya. Ibuku sudah tak heran lagi dengan kebiasaan kakakku itu.
Seusai makan,
aku masuk kamar diikuti ibuku. Ibuku bertanya ini itu kepadaku. Akupun
bercerita lebih dari yang ditanyakan ibu, sambil mengusap-usap kepalaku yang
tiduran di paha ibu. Tak berselang lama, aku tertidur setelah ibuku keluar dari
kamarku karena mendengar suara adikku yang memanggil ibu. Seharian menghabiskan
waktu di sekolahan, membuatku tidur dengan sangat pulas.
Seperti
biasanya, aku bangun jika sudah ada yang membangunkanku. Sebenarnya ibu tak
tega jika harus membangunkanku. Tapi apalah daya, waktu shalat ashar sudah
hampir habis. Tak mudah untuk dapat membangunkanku dari tidur. Tak jarang, ibu
sampai membasuh mukaku dengan air supaya segera bangun.
“Sih!!
Ningsih!!! Bangun! Waktu shalat ashar hampir habis!”
Akupun kemudian
bergegas bangun dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa baju ganti. Aku
sudah terbiasa mandi dulu sebelum shalat ashar.
Langitpun sudah
mulai gelap. Lampu-lampu terlihat menyala di setiap rumah yang kulihat, tidak
hanya menerangi rumah bagian dalam saja, tetapi juga menerangi jalanan depan
rumah mereka. Orang-orang berhamburan keluar dari mushola. Ada yang masih
memakai mukena, ada yang menjijjing mukena yang sudah terlipat rapi di dalam
tas mukena, ada yang masih bersarung lengkap dengan kopyah putih atau peci
hitamnya, dan ada pula yang hanya berpakaian sopan dengan hem dan celana
levisnya. Terdengar dari dalam rumahku, gerombolan anak kecil yang sedang
bermain benteng-bentengan atau petak
umpet di depan rumahku. Terdengar penunggu benteng teriak berhitung satu sampai
dengan sepuluh. Dan terdengar tepakan kaki anak-anak yang lain berlarian
mencari tempat persembunyian. Ah itu sungguh mengasikkan, mengingatkanku pada
masa lalu. Masa di mana aku masih kecil. Bermain tak kenal waktu dan lelah.
Setiap kali bermain, aku selalu berusaha untuk jadi pemenang. Dan pernah sekali
dua kali aku melakukan kecurangan demi untuk jadi pemenang. Namun kini aku
sadar bahwa kecurangan itu sangat tidak perlu untuk dilakukan.
“Ningsih!!!”
panggil kedua temanku, Nur dan Khusnul. Mereka biasa menghampiriku setiap usai
shalat maghrib untuk pergi mengaji bersama. Rumahku paling dekat dengan
mushola, oleh karena itu aku yang paling sering dihampiri mereka. dan uniknya
dari kita, salah satu anak dari kita tidak pergi mengaji, maka dua anak lainnya
ikut tidak mengaji. Kami biasa disebut trio wek-wek oleh teman-teman yang
lainnya. Wajar saja kalau mereka menyebut kami dengan sebutan tri wek-wek,
karena jumlah kami ada tiga, dan kami kompak seperti bebek.
Sepulang
mengaji aku panteng TV bersama kakak, adik, dan ibuku. Ibuku tak lelah-lelahnya
menyuruh kami bertiga, terutama adikku untuk belajar. Kamipun tidak menolak
perintah ibu, meskipun hanya menjadwal mata pelajaran untuk esok harinya atau
sekedar memegang buku atau pura-pura membolak-balikkan lembar demi lembar buku
itu. Dari ketiga anak ibu dan ayahku, akulah yang paling serius dalam belajar.
Bahkan tak jarang aku belajar hingga larut malam. Itu dikarenakan beberapa
minggu lagi aku akan mengikuti ujian nasional. Aku bertekad untuk dapat lulus
dengan nilai memuaskan. Dan setelah lulus, aku bertekad untuk diterima manjadi
mahasiswi STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). STAN merupakan salah satu
sekolah tinggi yang bekerja sama dengan pemerintahan. Tidak perlu mengeluarkan
biaya sekolah untuk bisa mendapatkan ilmu di STAN. Dengan kata lain, biaya
sekolah di STAN ditangguh oleh pemerintah. Dengan aku bisa diterima di STAN,
maka aku bisa melanjutkan sekolahku tanpa harus menambah beban hidup orang tua
dalam hal keuangan. Selain itu, jika sudah lulus dari STAN nanti, aku akan
ditempatkan bekerja di sebuah kantor pemerintahan. Sehingga tidak susah lagi
untuk mencari pekerjaan ke sana ke mari. Begitulah pemikiranku saat itu.
harapan itu selalu terngiang di kepalaku, membuat semangat belajarku
berkobar-kobar.
Setiap kami
bertiga kumpul, rumah tidak akan sepi karena keributan selalu kami datangkan.
Aku yang paling usil meledek adikku yang cengeng, yang sedikit-sedikit nangis,
bentar-bentar nangis. Selain itu ada kakakku yang semaunya sendiri dalam
mengganti chanel atau acara TV. Dan tentu saja aku tidak begitu saja mau
menerima sikap kakakku itu jika chanel yang kakak pilih, acara yang ditonton
tidak kusukai. Selain itu, ada adikku yang minta ini, minta itu kepada ibu.
Jika tidak dituruti akulah yang jadi sasaran kekesalan adikku. Dia suka
tiba-tiba menyenggol lenganku dengan sikutnya ketika aku sedang berjalan
melewatinya. Selain itu dia juga kadang menginjak kakiku yang sedang selonjoran
depan TV. Jika sudah begitu, darahku langsung naik ke atas dan terjadilah
pertengkaran yang cukup sengit di antara kami. Akulah yang selalu terlebih
dahulu mengadu pada ibu, kalau si bontot sudah berbuat usil kepadaku. Aku
merengek pada ibu supaya si bontot dimarahi. Tentu saja ibu mempercayaiku. Ibu
memang sangat jarang memarahiku dalam hal pertengkaran dengan kedua saudaraku.
Itu mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya. Apapun yang kuminta
seringnya selalu dikabulkan oleh ibu. Berbeda dengan kedua saudaraku. Jika
mereka meminta sesuatu, jarang dikabulkan. Ya tentu saja begitu, karena yang
mereka minta itu memang tidak gampang untuk dikabulkan, seperti minta ganti
motor, ganti handphone, beli sepatu
bola baru lagi meskipun yang lama masih sangat layak untuk dipakai, dan
lain-lain. Sedangkan yang kuminta adalah hal yang memang sedang kubutuhkan saat
itu, seperti membeli peralatan sekolah, membeli jajanan yang nantinya juga akan
dimakan bersama di rumah, dan lainnya yang memang bukanlah sesuatu yang
menghambur-hamburkan uang. Sekali dua kali aku minta barang mahal seperti handphone. Tapi ibuku paham dengan jaman
sekarang, bahwa handphone tidak lagi
barang mewah dan setiap remaja kebanyakan sudah memegangnya. Kemudian akupun
diberi uang oleh ibu kiriman dari ayah yang sedang bekerja merantau di Bandung.
Esok harinya,
sepulang sekolah, aku ditemani oleh Sari, teman sekelasku saat itu, pergi ke
Mitra. Mitra adalah sebuah toko yang menjual handphone dengan segala aksesorisnya. Berjam-jam aku dan Sari
memilah dan memilih handphone mana
yang kira-kira pas, bagus barangnya dan murah harganya, dilayani oleh seorang
pelayan toko yang ramah dan sabar. Dan akhirnya aku dapatkan pula sebuah handphone baru, meskipun kurang sesuai
dengan yang aku cari. Aku dapatkan sebuah handphone
dengan merk yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat umumnya. Selain itu,
handphone itu hanya bisa untuk terima
dan kirim sms dan telepon. Uang yang ibu beri untukku hanya bisa untuk membeli handphone semacam itu. Meskipun
demikian, saat itu aku sangat senang karena denga handphone itu aku menjadi bisa terima dan kirim pesan dengan
teman-teman.
Setelah tahu
kalau aku punya handphone baru,
kadang sebulan sekali ayah mengirimiku pulsa, kadang sepuluh ribu, kadang dua
puluh lima ribu. Senang sekali setiap dapat transferan pulsa dari ayah. Karena
kalau tidak ditransfer pulsa, setiap hari aku harus menyisihkan uang saku
sekolahku untuk membeli pulsa sendiri. Setiap hari kecuali hari Jum’at, aku
diberi uang saku sebesar dua ribu rupiah. Namun terkadang aku mendapatkan
tambahan uang saku dari nenekku satu sampai dua ribu rupiah. Aku merasa kalau
aku adalah cucu kesayangannya. Dari umur sekitar empat hingga delapan tahun,
aku tinggal dengan nenek. Aktivitas nenek selain beribadah saat itu adalah
membuat tali atau tambang dari ijuk hitam. Tali atau tambang itu nantinya akan
dibeli oleh orang lain. Saat itu satu ikat tambang dengan panjang enam belas
meter dihargai tiga ratus rupiah saja. Tambang-tambang itu baru akan dijual
setelah terkumpul lima belas hingga tiga puluh ikat. Dan hasil penjualannya itu
tidak ia simpan sendiri, tetapi untuk dibagikkan kepada cucu-cucunya, tak
terkecuali aku, entah itu berupa makanan, minuman, atau masih berwujud uang.
Terkadang
setiap libur sekolah aku membantu nenek membuat tambang, meski hanya sebentar
dan bahkan hanya membuat berantakan tambang nenek. Kalu sudah begitu, kaburlah
aku ke rumah sebelum nenek tahu. Setelah tahu tentang perbuatanku itu,
terdengarlah teriakan nenekku yang menunjukkan kekesalannya kepadaku. Kekesalan
nenek padaku tidaklah akan bertahan lama, karena selalu ada sogokan berupa
segelas teh hangat yang sengaja kubuat untuk nenek. Setelah nenek meneguk satu
dua tegukan teh hangat yang aku buat, nenek kembali mencandaiku, kembali cerita
ini itu kepadaku. Tak jarang, ketika nenek sedang serius membuat tambang, aku
sengaja keluar dari rumah membawa sisir dan sebuah ikat rambut. Aku biasa minta
agar nenek menyisiri rambutku kemudian diikat kencang ke atas. Setelah itu
bergantian aku yang membelai-belai helai demi helai rambut nenek yang panjang,
sedikit dan berwarna putih.
Catatan
Dua
Dag Dig Dug Jedoar!!!
Ujian
nasionalpun telah usai. Aku merasa lega sekali karena akhirnya pelaksanaan
ujian nasional berjalan dengan lancar. Aku yakin, nilai ujian nasionalku tidak
akan mengecewakan, karena aku dapat mengerjakannya dengan dengan cukup mudah,
sesuai dengan apa yang sudah aku pelajari sebelumnya.
Beberapa hari
sesudah aku melaksanakan ujian nasional, aku bersama teman-temanku sekelas
pergi bersepeda motor menuju ke tempat di mana kami bisa teriak sepuasnya. Kami
memutuskan pergi ke Jembangan. Jembangan merupakan salah satu tempat wisata di
Kutowinangun, Kebumen, dengan alamnya yang indah terbuka, dilengkapi dengan
air, pepohonan hijau, perahu-perahu, warung-warung berderet di sepanjang jalan
dan angin yang menghempas-hempaskan kerudung kami. Sinar matahari yang sudah menguning
kemerah-merahan terlihat di ufuk barat. Saat itu sudah tak ada lagi pengunjung
lain selain kami berempat, aku, Sari, Dewi, dan Ngafifah. Kami menelantangkan
kedua tangan kami sambil memejamkan mata kemudian berteriak sekencang mungkin
di sana. Di awali oleh Dewi dengan berteriak, “Aku yakin, kita lulus!!!”, lalu
disambung oleh Ngafifah, “Dengan nilai memuaskan!!!”, kemudian dilanjutkan
olehku, “Kemudian menjadi mahasiswi STAN!!!”, lalu disambung oleh Sari, “Kita
sukses dan lanjut menikah!!!”.
Mendengar
teriakan Sari yang spontan mengatakan menikah, secara spontan pula kami tertawa
serempak.
“Ah Sari mah
pikirannya nikah melulu!” kata Dewi sambil mendorong bahu Sari dengan jari
telunjuknya.
“Iya nih Sari.
Pengumuman kelulusan juga belum, sudah mikirin mau nikah. Gak sekalian mikirin
mau punya anak berapa kamu Ri?” tambah aku.
Kembali kami
tertawa serempak. Penunggu tiket perahu terlihat sedang senyum-senyum sendiri
melihat ulah kami yang memang seperti anak kecil yang polos, yang tak punya
beban pikiran apapun.
“Eh cuy, hidup
itu harus direncanakan sedini mungkin. Dan penting juga tuh mikirin mau punya
anak berapa dari sekarang!” timpal Sari.
“Iya deh yang
sudah punya kekasih sang pujaan hati, belahan jiwa. Dan denger-denger udah mau
tunangan nih. Ekhem...! jangan lupa aja makan-makannya. Hehe..” seru Ngafifah
meledek Sari.
Ledekan demi
ledekan dilontarkan dengan balas membalas di antara kami. Di tengah-tengah
keceriaan kami, tiba-tiba salah seorang penunggu Jembangan itu mendekati kami,
dan bilang pada kami, “We.. Cewe..!! Hari sudah mulai gelap. Segeralah kalian
pulang. Tidak baik anak perawan sudah petang masih keluyuran di luar. Orang tua
kalian pasti sedang menunggu kepulangan kalian!”
Spontan aku
lihat jam tanganku. Jarum jam di jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17.45.
Akupun terperanjat kaget. “Waduh!! Cepet banget jam segini. Ayo teman-teman
kita pulang. Sudah sore banget ini. pasti sampai rumah bakal diceramahin mama
deh.” Kataku sambil menarik tangan Sari yang kebetulan berada pas di samping
kananku. “Mmmm, makasih Pak sudah diingatkan,” kataku lagi pada bapak penunggu
jembangan itu.
Kamipun
bersegera berjalan menuju tempat motor kami diparkir. Kami tidak terlalu jauh
untuk berjalan. Hanya sekitar dua sampai tiga meter sa. Sampai di tempat parkir,
kuserahkan kunci motor kakakku yang sedang kupinjam kepada Sari. Memang
kebiasaanku kalau bepergian bareng Sari, pasti Sari kusuruh jadi sopirku.
Karena melihat badannya yang tinggi dan besar, aku menjadi tak percaya diri
jika harus memboncengnya. Jadi, kalau kami bepergian bareng, dengan sadar
diripun, Sari selalu meminta kunci motorku jika aku lupa tidak menyerahkan
kunciku padanya.
Motorku
dilajukan dengan kencang oleh Sari. Dibonceng Sari serasa dibonceng Vallentino
Rossi. Tak jarang Pedrosa dan pasangannya alias Dewi dan Ngafifah dapat
mendahului kami. Selalu saja Valentino Rossi tak mau kalah. Kecepatanpun
ditambah. Kebut-kebutan berlangsung hingga perempatan jalan di dekat rumah
sakit di Kebumen. Aku dan Valentino Rossi belok ke selatan, sedangkan Pedrosa
dan Ngafifah belok ke utara. Motorku berhenti hingga depan rumah Sari. Ibu Sari
selalu menyuruhku untuk masuk rumahnya kemudian menyajikan makanan kecil dan
minuman untukku. Bahkan tak jarang makanan besar seperti nasi dan lauknya
disajikan di depanku. Akupun dengan senang hati menerima tawaran Ibu sari
meskipun sedikit canggung. Namun berbeda dengan saat itu, karena hari sudah
petang. Aku harus segera sampai rumah, karena ibu pasti mencemaskanku karena
sebelumnya aku tidak memberi kabar kalau aku akan pulang telat.
Dan benar,
sampai di rumah tidak seperti biasanya yang ditawarkan makanan ini, makanan
itu, minuman ini, minuman itu, tetapi malah mendapat omelan. Ibuku selalu
bicara tak henti-hentinya, panjang seperti kereta dan sambung menyambung
menjadi satu. Masalah ini dikait-kaitkan dengan masalah itu, selalu begitu.
Ibuku memang sungguh cerewet. Itu karena dia tidak ingin terjadi apa-apa pada
anak-anaknya. Setiap kali aku diceramahi ini itu oleh ibu, aku selalu diam
meskipun tak jarang sebenarnya aku hanya pura-pura mendengarkan, sedangkan
telingaku kupasang headset, mendengarkan
musik di handphone kakakku yang
sedang tergeletak tak dipakai.
Pengumuman
kelulusan beberapa detik lagi akan segera kuterima. Tak berselang lama,
kudapatkan sebuah amplop berisi surat pengumuman kelulusan dari wali kelasku.
Kubuka perlahan dan dan terlihatlah langsung di surat itu tulisan “LULUS” dengan huruf kapitan dan tebal.
Langsung kupeluk teman di dekatku yang juga sedang terlihat bahagia karena
lulus. Dari belakang aku dapat pelukan yang mengagetkan dari Sari yang juga
sedang bahagia karena lulus, kemudian disusul oleh Dewi dan Ngafifah. Kami
saling berpelukan kencang, berjingkrak-jingkrak, berputar-putar sambil teriak
“Yeyeye Lalala” berulang kali.
Kebahagiaan tak
hanya aku rasakan bersama sahabat-sahabatku. Sesampainya di rumah, aku
dikejutkan dengan meja makan yang sudah tersaji banyak makanan kesukaanku.
saudara-saudarakupun datang seperti sedang hari Raya Idul Fitri. Kami kemudian
makan bersama. Satu per satu dari mereka mengucapkan selamat disertai doa
sukses untukku. Akupun mengucapkan
terima kasih dan mengamini doa-doa yang mereka panjatkan untukku.
“Setelah ini
mau ke mana Sih?” kata paman padaku. Belum sempat aku menjawab, bibiku sudah
terlebih dahulu mewakiliku menjawab pertanyaan dari paman, “Nikah sama calon
pacar, paman”.
“Hahaha.”
Tertawa serempak semuanya, kecuali aku. aku sudah tahu, kalu saudaraku yang
lain pasti sudah menunggu gilirannya untuk meledekku. Jadi aku diam sambil
menikmati hidangan enak masakan ibu, memberi kesempatan saudaraku untuk puas
meledekku.
“Calon pacarnya
yang mana nih? Sari, Dewi, atau Ngafifah?” ucap sepupuku.
“Hahaha”
kembali mereka tertawa. Aku diam, pura-pura tidak mendengar.
“Wah tampaknya
adikku yang cewe sekarang berubah jadi cowo nih. Duh tambah saingan nih.” Kata
kakakku sambil melirik kepadaku. Aku diam sinis memandang kakakku. Sebenarnya,
rasanya sudah sangat geram dengan ledekan-ledekan itu. tapi ternyata ledekan
itu belum berakhir.
“Bu, Ibu,,”
kata adikku kepada ibu.
“Iya dek.
Kenapa sayang?” jawab ibu seketika itu juga.
“Sepertinya
pengeluaran ibu bulan ini akan banyak. Adek takut gak kebagian uang jajan nih.”
Kata adikku.
“Memangnya
kenapa dek?” tanya ibu kepada adikku.
“Ya kan ibu
perlu mengganti pakaian-pakaian kak Ningsih. Kak Ningsih kan udah jadi cowo bu,
masa pakaiannya masih cewe sih. Aneh banget kali bu. Hehehe.” Jawab adikku
dengan nada agak pelan dan mendekati ibu, takut dihajar olehku.
Dan akhirnya
sang pembelaku angkat bicara juga. “Ningsih sayang. Jangan hiraukan mereka.
Kamu lanjutkan dan tetap fokus pada sekolahmu dulu. Nanti kalau sudah sukses,
baru mikirin kayak gituan. Tunjukkan sama kami, kalau kamu itu bisa jadi wanita
tulen yang sukses.” Nasihat pak dhe padaku. Dialah yang selalu membelaku di
saat saudaraku yang lain meledekku.
“Heh
saudara-saudaraku setanah air!! Dengerin tuh pak dhe! Aku mau sukses dulu.
Kalau sudah sukses nanti, akan kutunjukkan daftar nama-nama pria tampan sukses
yang mendaftarkan dirinya untuk menikahiku.” Kataku semangat.
“Wkwkwk” semua
saudaraku tertawa terpingkal-pingkal kecuali ibu dan pak dhe, mendengar
perkataanku yang cukup panjang dan mungkin menggelikan bagi mereka. Ada yang
tertawa sambil memegangi perut, ada yang tertawa sambil menutupi mulutnya yang
terbuka lebar, ada yang tertawa sambil menepuk-nepuk karpet lantai yang sedang
ia duduki, ada yang mencoba untuk tidak tertawa dan ada pula yang tertawa
sambil mendorong-dorong bahu saudaraku yanng lain yang sedang ada di dekatnya.
Canda tawa kami
berlangsung hingga adzan ashar dikumandangkan di mushola Babussalam oleh
muadzin kecil. Jarak rumahku dengan mushola sangat dekat. Adzan tanpa microphonepun, tetap terdengar hingga ke
dalam rumahku. Saudara-saudarakukup kemudian berpamitan pulang. Rumahkupun
menjadi hilang dari keramaian.
Beberapa minggu
kemudian, aku pergi ke Bandung bersama ayah menggunakan kereta Sawunggalih.
Kurang lebih delapan jam, perjalanan dari stasiun Kebumen menuju stasiun Kiara
Condong, Bandung. Ayah pulang dari Bandung tiga hari sebelum berangkat lagi
denganku. Ayah sengaja pulang untuk menjemputku. Sampai di sana, aku tinggal di
kontrakan ayah. Sebuah kontrakan kecil yang memiliki satu sekat, sehingga
terdapat dua ruangan di kontrakan itu. ruangan yang dekat dengan pintu keluar digunakan untuk ruang tamu, sedangkan ruangan
yang satunya lagi digunakan untuk ruang tidur dan menonton TV. Lemari-lemari
pakaian berjejer rapi di ruang tidur menempel di tembok. Di dinding ruang tidur
sebelah utara terpasang jendela. Dan ternyata di balik jendela itu terdapat
sebuah dapur dengan peralatan dapur yang cukup komplit. Dan tepat di sebelah
dapur, terdapat sebuah kamar mandi. Kamar mandi, dapur, dan ruang untuk tidur
memiliki pintu keluar masing-masing.
Untuk bisa
masuk ke kontrakan ayah, aku harus menaiki beberapa anak tangga terlebih
dahulu. Tujuanku ikut ayah ke Bandung adalah untuk mengikuti ujian tertulis
masuk STAN. Selama di Bandung, aku selalu dimanjakan dengan makanan-makanan
enak yang biasa ayah beli, seperti pepes ikan mas, ayam bakar, martabak, batagor,
dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu, ayahku mengajakku ke sana ke mari
untuk membeli ini dan itu.
Esok harinya
aku diajak ke kios ayah, di Pasar Suka Haji, Bandung. Untuk dapat sampai ke
sana, kami cukup jalan kaki saja dari kontrakan, karena jaraknya yang tak
terlalu jauh. Baru memasuki pintu gerbang pasar, bau kotoran ayam dan burung
langsung menyengat hidung panjangku. Aku pura-pura tidak jijik dengan
kotoran-kotoran ayam yang berceceran di sepanjang jalan di pasar itu mengingat
ayahku telah rela berhari-hari bahkan berbulan-bulan menghabiskan pagi, siang,
dan sorenya di tempat itu untuk bisa membahagiakan keluarganya di rumah. Sampai
di kios ayah, aku disuruh duduk manis dan melihat ayah mengeluarkan ayam-ayam
dari dalam kiosnya yang tertutup rapat. Setelah ayam-ayam itu dikeluarkan
semua, kulihat ada berbagai macam ayam yang ayah jual. Tak tau apa saja nama
ayam-ayam itu, yang jelas tidak seperti ayam-ayam milik ibuku di rumah. Kata
ayah, ayam-ayam yang ayah jual ada ayam cemani, ketawa, mutiara, bangkok, kate,
dan masih ada banyak yang lain.
Dua hari
kemudian aku bangun pagi benaruntuk menyiapkan segala sesuatunya, meskipun
sebenarnya malam hari sebelum aku bangun, sudah aku siapkan apa-apa yang aku
butuhkan untuk mengikuti ujian masuk STAN. Aku mengikuti ujian STAN di Balai
Diklat Keuangan BDK) Cimahi, tepatnya di jalan Gado Bangkong No 111, Cimahi.
Ujian dimulai pukul 08.00 WIB. Kami berangkat dari kontrakan sengaja pagi,
karena ayah belum tau benar lokasi pelaksanaan ujiannya. Kami berangkat jam
05.30 WIB. Sampai di sana jam 07.30 WIB. Perjalanan yang lumayan panjang, macet
dan harus mencari alamat tujuan juga. Aku minta doa restu ayah sebelum masuk
ruang ujianku. Selesai ujian perasaan sedikit lega kurasakan setelah sebelumnya
ketegangan dan keributan batin menghampiriku karena soal-soal ujian yang tidak
terlalu aku kuasai. Soal-soal itu tidak biasa aku hadapi di sekolah.
“Gimana Sih”
kata ayah sambil memberiku botol minuman.
“Tak tau deh
yah. Susah banget!!” jawabku sambil membuka botol minuman dan kemudian meneguk
perlahan.
“Usaha sudah,
tinggal tambahin doa. Yakinlah pada rencana Allah” kata ayah lagi.
“Iya yah”
jawabku pelan, karena tak yakin dengan jawaban-jawaban yang telah aku putuskan
dari soal-soal ujian itu.
Setengah bulan
aku menunggu pengumuman hasil ujian seleksi masuk STAN. Setengah bulan juga,
jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Harap-harap cemas dengan hasil
ujian seleksi masuk STAN itu. Tak hanya jantung, seisi tubuhku serasa ikut
berdetak, dan darah mengalir deras. detik-detik pengumuman membuat jantungku
serasa mau meletus.
Meskipun tak
yakin dengan jawaban dari soal-soal ujiannya, entah kenapa doa-doa yang selalu
aku panjatkan setiap saat, membuatku yakin kalau aku akan lolos ujian tertulis
itu. Tepat di hari pengumuman itu, aku dan ayah pergi ke lokasi ujian lagi
untuk melihat daftar nama yang lulus ujian seleksi. Satu per satu nama yang
berderet ke bawah kubaca, dari atas hingga bawah. Karena tak kubaca namaku di
daftra itu, aku baca ulang hingga tiga kali. Pikirku, siapa tau namaku
terlewati saat aku membaca deretan ke bawah itu, sehingga tk kubaca namaku
sendiri. Namun setelah kubaca hingga tiga kali, hasilnya sama saja, tidak ada
namaku di deretan nama-nama itu.
“Ayah!” kataku
dengan raut muka sedih. Ayahku paham, kemudian menepuk-nepuk bahuku sambil
berkata, “Belum rejekimu, Sih. Di luar sana ada rejekimu yang lebih baik yang
sedang menunggumu. Ingatlah, rencana Allah lebih baik dari apapun yang kita
harapkan di dunia ini”. Pesan itu membuatku sedikit berkurang sedih dan
kecewaku. Lalu ayah mengajakku kembali ke kontrakan. Sepanjang ajalan aku hanya
diam. Menjawab seperlunya saja, jika ayah bertanya atau berkata sesuatu padaku.
Ayah memahami perasaanku saat itu. sebelum sampai di kontrakan, ayah
memarkirkan Varionya di tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan megah yang
bertuliskan LOTTE. Aku hanya menggeleng dan mengangguk saat ayah menawarkan
barang-barang bagus pilihannya untukku, seperti baju, sepatu, tas, dan lain-lain.
Pengumuman itu sangat membuatku kecewa dan marah sejenak pada Allah. Dalam hati
aku berkata pada Allah, “Kenapa Allah jahat padaku? Kenapa Allah tak melihat
usahaku? Kenapa Allah tak mendengar do’aku?”
Pengumuman itu
membuatku menjadi bermalas-malasan untuk melaksanakan kewajibanku kepada-Nya.
Support dari saudara dan teman-temanku lewat pesan seluler tak merubah sikap
kecewaku pada Allah. berhari-hari aku merenung sendiri di kontrakan ayah.
Setiap kali ayah mengajakku untuk ikut dengannya ke kios, aku menolak. Aku
memilih untuk berdiam diri di kontrakan.
Catatan
ke-tiga
Hidup Harus Terus Berjalan
Seminggu
setelah pengumuman itu aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
“Ayah, aku
pengin pulang.” Kataku pada ayah sambil mengambilkan nasi serta lauknya untuk
ayah.
“Loh, Ningsih
sudah tak betah tinggil di sini?” kata ayah sambil mengaduk-aduk kopi yang
sudah aku seduhkan untuknya.
“Aku mau
mikirin langkah selanjutnya di rumah yah.” Kataku lagi.
“Baiklah kalu
begitu maumu. Nanti siang ayah caritak tiket kereta untukmu. Sekarang kita
sarapan dulu. Kamu makan yang banyak, biar gak kurus seperti itu. liat nih
ayahmu, terlihat lebih tampan dengan badan ayah yang besardan segar.” Kata ayah
sedikit menghiburku sambil menunjukkan otot lengannya.
“Hehe. Ah ayah
bisa saja. Ningsih gak kurus kali yah.” Kataku.
Kamipun
kemudian sarapan sambil melanjutkan obrolan kecil yang membuatku sedikit lupa
dengan kekecewaanku pada pengumuman itu. sekitar pukul 07.30 WIB, seperti
biasanya, ayah berangkat ke kiosnya, berharap pulang membawa lembaran-lembaran
uang besar. Ayah berpamitan untuk berangkat dengan memberi pesan padaku,
“Ningish, ayah berangkat dulu ya. Nanti kalau kamu mau keluar kontrakan, pintu
jangan lupa untuk selalu dikunci. Kalau mau tidur, pintu juga jangan lupa
dikunci dari dalam ya?”
“Siap bos!”
kataku sambil hormat.
Sebelum
berangkat ayah menyodorkan tangannya padaku. Akupun paham maksud ayah. Aku
bersalaman dengan ayah kemudian mencium tangan ayah. Ayah menepuk-nepuk bahuku.
Sorenya, ayah
pulang dengan membawa sebuah tiket kereta. Akupun segera bersiap-siap,
menyiapkan segala sesuatu yang harus aku bawa pulang. Satu tas ransel dan satu
tas jinjinglah yang harus kubawa.isi tas itu adalah baju-baju yang aku beli
dengan ayah selama di Bandung. baju-baju itu bukan hanya bajuku. Tapi juga baju
untuk ibu, kakak, dan adik di rumah. Selain itu, jajanan khas Bandung seperti
macam-macam dodol, peyem, batagor, dan martabak sudah terbungkus rapi di dalam
tas jinjing. Jajanan itu sengaja dibeli untuk saudara-daudaraku yang sudah
menunggu kepulanganku di rumah, seperti sepupu-sepupu, bu dhe, pak dhe, paman,
dan bibiku. Kereta berangkat pukul 21.00 WIB. Aku diantarkan oleh ayah dengan
Varionya sampai stasiun Kiara Condong. Aku mencoba meyakinkan ayah, kalau aku
akan baik-baik saja selama di perjalanan dan akan sampai di rumah dengan
selamat tak kurang apapun.
“Ningsih,
maafkan ayah hanya mengantarmu sampai di sini. Seandainya saja langganan ayah
mau sabar menunggu ayah hingga lusa. Pasti kamu ayah antar hingga pada ibumu
nak.” Kata ayah dengan wajah penuh dengan kekhawatiran.
“Ayah bicara
apa sih. Ningsih sudah besar yah. Ningsih bisa kok pulang sendiri. Malu kali
yah udah segede gini tapi pulang pake dianter segala. Ayah tenang saja di sini.
Ningsih pasti baik-baik saja di jalan. Nanti kalau sudah sampai di Kebumen,
ayah orang pertama yang aku kabari deh.” Kataku mantap.
“Baiklah
Ningsih. Kamu hati-hati di jalan yah. Jaga diri baik-baik. dan jangan lupa jaga
juga barang-barang bawaanmu.” Kata ayah sambil menyerahkan tas jinjing
kepadaku.
“Siap! Baiklah
ayah. Ningsih masuk kereta dulu. Ayah hati-hati di sini. Jaga kesehatan ayah
selalu ya yah. Ningsih pasti akan merindukan ayah di rumah nanti.
Assalamu’alaikum yah.?” Kataku sambil menyalami tangan ayah kemudian mencium
tangannya.
“Wa’alaikumsalam.”
Kata ayah senyum terpaksa.
Kamipun
kemudian berpisah. Aku berjalan mencari tempat dudukku di dalam kereta yang
kunaiki. Tak lama, akhirnya kutemukan tempat duduk itu. tas jinjing yang
kubawa, kuletakan di atas tempat dudukku, sedangkan tas ranselku, kutaruh di
bawah tempat dudukku. Keretapun melaju semakin kencang, hingga membuat mataku
terpejam dengan sendirinya. Pedagang-pedagang asongan yang kutemukan saat itu
tidak serampai sektu aku berangkat ke Bandung. Mungkin karena waktunya yang
berbeda. Sewaktu berangkat ke Bandung pagi hari, sedangkan sewaktu pulang dari
Bandung adalah malam hari.
Pukul 05.00 WIB
aku tiba di stasiun Kebumen. Sebelumnya sampai di Kebumen, aku sudah kirim sms
ke kakakku untuk menjemputku di stasiun. Setelah turun dari kereta, aku
mengirimkan sebuah sms pada ayah, bahwa aku sudah sampai di kebumen dengan
selamat. Ayahkupun langsung membalasnya. Terlihat hati ayah yang tenang saat
aku membaca pesan darinya karena tahu kalau aku sudah tiba di Kebumen. Aku
keluar dari stasiun, dan kulihat kakakku sudah menungguku di depan pintu
gerbang stasiun dengan Tiger birunya. Aku bersalaman dengannya, lalu menaiki
Tiger itu. kemudian Tigerpun dilajukan dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan,
tak ada obrolan serius di atara kami.
“Ningsih makin
kurus saja.” Kata kakakku.
“Tapi makin
cantik kan adikmu ini? ngaku deh.” Timpalku pada kakak.
Sampai di
rumah, kulihat ibu sedang memasak makanan kesukaanku, semur jengkol. Sedangkan
adikku sedang sibuk menyiapkan buku-buku sekolahnya. Nampaknya dia sedang
menjadwal mata pelajaran hari itu.
“Gimana
Ningsih, sehat kamu nak?” kata ibu.
“Seperti yang
ibu lihat, aku sehat, kuat, segar bugar, dan tambah cantik juga.” Kataku tanpa
malu sedikitpun.
Ibu tersenyum
melihat tingkahku yang masih sama seperti sebelum aku pergi ke Bandung.
“Aku dibelikan
jajan apa kak?” kata bontot menghampiriku, lalu bersalaman dan mencium
tanganku.
“Itu di tas ransel.
Bayar jangan lupa! Barang mahal itu.” ledekku pada adik.
“Aku bos kak.
Masalah bayar kecil. Sudah ada ibu yang jadi manajerku. Dia yang akan
membayarkan segala kebutuhanku.” Jawab adik tak mau kalah.
Oleh-oleh yang
aku bawa, segera Ibu bagikan merata pada saudara-saudaraku dan tak lupa
tetangga dekatku. Disisakan satu bungkus dodol, satu ikat peyem, satu bungkus
batagor, dan dua bungkus martabak di rumah.
Esoknya, aku
ketemuan dengan salah satu sahabat SMKku dulu, Mirna namanya, yang sudah jadi
pengacara alias pengangguran banyak acara. Sebelumnya kami sudah terlebih
dahulu janjian lewat sms. Kami berbincang-bincang cukup lama di Alun-alun
Kebumen. Mirna mengajakku untuk mencari pekerjaan bareng. Akupun tanpa pikir
panjang langsung menerima ajakannya, meskipun sebenarnya ayah tidak terlalu
membolehkanku untuk bekerja dahulu. Pengumuman hasil seleksi masuk STAN itu
telah membuat pikiranku tercuci. Tak ada lagi keinginanku untuk melanjutkan
sekolah. Ditambah, teman-teman SMKku sekelas hampir seratus persen tidak
melanjutan sekolah, melainkan bekerja. Akupun secara diam-diam mengirimkan
surat lamaran pekerjaan ke salah satu perusahaan yang ada di Bekasi lewat
kantor pos. Bahkan ibupun tak tau kalau anak perempuannya sedang memiliki misi
untuk merantau mencari uang sendiri.
Beberapa hari
kemudian, aku mendapat telepon dari pihak perusahaan itu, bahwa besok aku harus
mengikuti tes tertulis di perusahaan itu. kaget, senang, dan bing yang
kurasakan saat itu. aku hanya menjawab iya dan baik, pada saat menerima telepon
itu. ternyata Mirna juga menerima telepon sama sepertiku. Lalu hari itu juga,
kami ketemuan di stasiun, memesan tiket kereta menuju Bekasi. Tiketpun kami
dapatkan dengan keberangkatan pukul 21.00 WIB.
Sepulang dari
stasiun, aku langsung memberi kabar pada keluarga. Kakakkulah orang pertama
yang melarangku untuk pergi merantau. Dia khawatir akan terjadi hal buruk
padaku bila pergi meninggalkan rumah dengan waktu yang lama tanpa ada keluarga
yang bersamanya. Dia ingin aku tetap tinggal di rumah menemani ibu. Begitupula
denga ayah. Dia melarangku untuk pergi jauh-jauh untuk bekerja. Dia menyuruhku
untuk melanjutkan kuliah di manapun aku mau. Berbeda dengan ibuku. Dia
memberiku support tentang keinginanku untuk pergi merantai belajar mandiri. Dia
yakin kalau aku akan bisa jaga diri. Meskipun ayah da kakakku melarangku pergi
merantau untuk bekerja, namun aku tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan
niatku. Aku merengek pada ayah yang sedang menelpon ke nomorku, “Ayah, ayo donk
bolehin Ningsih pergi merantau ke Bekasi. Ningsih pengin belajar nyari duit
sendiri yah. Ningsih sudah gak pengin sekolah. Nanti deh kalau Ningsih pengin
sekolah lagi, Ningsih langsung bilang sama ayah. Boleh ya yah?”
“Hmmm. Kamu
keras kepala ya. Nanti kamu di sana sama siapa?” kata ayah padaku dengan
serius.
“Oh kalau itu
sudah Ningsih pikirkan mateng-mateng yah. Banyak teman-teman SMK Ningsih yang
juga merantau di sana. Nanti malam saja Ningsih berangkatnya sama Mirna, teman
SMK Ningsih, yah.” Jawabku tak kalah serius dengan ayah. “Oh iya yah. Ayah juga
jangan khawatir, nanti Ningsih di sana tinggal di mana dan sama siapa. Di sana
nanti Ningsih numpang tidur dulu dikontrakan teman. Setelah pasti kalau Ningsih
diterima bekerja, nanti pelan-pelan Ningsih sambil mencari kontrakan kosong
dengan ditemani oleh teman Ningsih yang ada di sana. Mereka sudah tau banyak
tentang daerah di sana, jadi tak akan bingung deh yah. Temen-temen Ningsih
baik-baik semua sama Ningsih satu per satu di antara mereka sudah menawari Asih
bantuan yah.” Tambahku panjang lebar. Tampaknya ayah masih belum membolehkanku
untuk pergi merantau. Tak ada respon apaun yang terdengan dari HP ku. Maka aku
menegaskan pertanyaanku pada ayah, “Gimana ayah? Boleh gak sih? Mas anak mau
belajar maniri gak boleh sih!.”
“Ekhem! Ya
sudah kalau memang mau Asih seperti itu. Ayah tak bosan-bosannya berpesan
padamu, di sana nantin kamu hati-hati ya. Jangan sembarangan percaya sama
orang, baik yang sudah dikenal maupun belum. Kalu ada teman yang butuh
bantuanmu, bantulah dia semampumu. Karena suatu saat pasti kamu akan butuh
bantuan mereka. selalunjalankan shalat lima waktu tepat waktu. Kalu ada apa-apa
segera kabari ayah, ibu atau kakakmu.” Ungkap ayah kebapakkan.
“Iya, ayah
Ningsih janji akan selalu ingat dan menjalankan pesan ayah itu.” kataku senang.
Lalu HP kuserahkan pada ibu, karena ayah ingin bicara dengan ibu. Ibu langsung
menuju ke ruang tamu, kebetulan ruang tamu sedang sepi. Aku hanya melihat ibu
yang sedang duduk di kursi dengan bibir yang melebar karena tersenyum lepas,
entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Kemudian aku menuju kamar untuk
membereskan baju-baju yang mau aku bawa malam itu. kakakku mengikutiku dan
berbicara padaku dengan penuh kasih sayang. Tak biasanya, kakakku bersikap
seperti saat itu. biasanya dia cuek bebek terhadap apa yang kulakukan. Tapi
tidak ketika itu.
“Dhek, nanti
kakak yang nganter kamu ke stasiun yah?” katak kakakku lembut.
“Ya iyalah kak.
Siapa lagi kalau bukan kakak.” Jawabku agak membentak.
Nanti kalau
kamu sudah sampai di sana, jangan suka keluar malam. Kalau keluar kontrakan,
pakailah jilbabmu. Sering kabari keadaanmu di sana pada kakak ya dhek. “ kata
kakak dengan lembut. Aku tak kuasa mendengar nasihat kakak yang sangat jarang
aku dapatkan sebelumnya. Akupun tanpa sadar memeluk kakakku, “Iya kak. Kakak
jangan khawatir. Nanti adhek bakal sering kasih kabar ke kakak. Adhe di sana
pasti akan baik-baik saja kak.” Kataku sambil mengusap air mata yang tak
hurapakan keluar dan jatuh ke pipiku.
“Ningsih, kamu
pengin dibawain jajan apa? Nanti ibu belikan.” Kata ibu yang terlihat matanya
sudah berkaca-kaca. Aku dan kakakpun segera melepas pelukan. Aku mencoba
menarik napas panjang supaya kuat untuk menjawab pertanyaan dari ibu.
“Tak usah bu.
Tak usah ibu repot-repot membelikan Ningsih jajan untuk dibawa ke sana. Nanti
malah Ningsih kerepotan bawanya. Tas Ningsih sudah penuh bu.” Kataku sambil
memperlihatkan tas hitamku yang sudah penuh dengan baju-baju dan
dokumen-dokumen penting.
Matahari mulai
condong ke barat, lalu tenggelam. Akupun sudah siap untuk meninggalkan rumah
serta isinya. Sebelumnya, aku sudah berpamitan pada saudara-saudara dekatku.
Sehabis shalat Isya, akupun keluar dari kamar dengan menggendong tasku yang
penuh memadat. “Ayuh kak.” Kataku sambil mengetuk pintu kamar kakak. Aku
berjalan keluar rumah lalu mengenakan
sepatu fantofel hitamku. Ibuku duduk di teras rumah sambil
memperhatikanku. “Ibu, hati-hati di rumah ya. Adhek, jagain ibu
baik-baik.jangan nakal loh. Kalau nakal, nanti kakak pulang gak ngebawain
oleh-oleh buat adhek.” Kataku sambil pura-pura kuat.
“Ayuh dhek.
Kakak sudah siap.” Kata kakakku sambil menunjukkan kunci Tigernya lalu
menaikinya.
“Ningsih
berangkat dulu ya bu.” Kataku sambil menyalami dan mencium tangan ibu.
“Iya, hati-hati
di jalan. Jangan lupa bismillah dan ayat kursinya.” Kata ibu sambil mengusap
kepalaku lalu menciumi keningku.
“Kakak
berangkat ya dhek.” Kataku sambil menyodorkan tanganku pada adikku.
“Iya kak. Adhek
tunggu jajannya saat kakak pulang. Hehe.” Kata adhek sambil mencium tanganku.
Akupun kemudian
menyusul kakakku, menaiki Tiger birunya. Aku duduk di belakang kakak. Kakak
meminta tasku, kemudian digendonglah tasku oleh kakak. Sungguh beruntungnya aku
punya kakak seperhatian dan sepengertian kakakku. Tigerpun segera dilajukan.
Sekitar lima belas menitan kamipun sampai di stasiun. Di sana sudah ada Mirna
yang sedang duduk di serambi stasiun, sengaja menungguku. Kakakkupun ikut
menemui Mirna dan bersalaman dengannya, kemudian duduk sebentar menunggu kereta
datang. Tak lama kemudian, keretapun datang. Kamipun segera masuk kereta.
Kakakku ikut masuk, ingin memastikan adiknya benar-benar akan baik-baik saja di
dalam kereta. Aku duduk bersebelahan dengan Mirna. Setelah ada peringatan bahwa
kereta akan segera melaju, kakakkupun segera turun. “Kakak turun ya dhe?” kata
kaka sambil menyodorkan tangannya padaku. “Pasti kak. Makasih ya kak sudah
diantar. Adhek sayang kakak. Hehe.” Kataku sambil mencium tangannya. “Mirna,
titip Ningsih yah.” Kata kakak pada Mirna. Mirnapun mengangguk lalu bersalaman.
Lambaian tangan
aku berikan pada kakak dari balik jendela kereta. Terlihat dari dalam kereta,
kakak ikut melambaikan tangannya dan tersenyum padaku dan Mirna. Lambaian
tangan kakakkupun lama kelamaan hilang. Kereta melaju semakin kencang. Semakin
lama, matakupun semakin tak kuat menahan kantuk. Obrolan aku dan Mirnapun
semakin berkurang. Dan tak lama kemudian tanpa kusadari mataku terpejam dan
ragaku melayang entah ke mana. Namun, suara-suara pedagang asongan membuat
tidurku menjadi tidaklah lelap.
“Udang goreng
udang goreng!!” kata pedagang udang goreng menawarkan dagangannya.
“Kopi popmi
kopi popmi!!!” kata penjual yang lain. Dan masih ada banyak lagi yang lain yang
mencoba menawarkan barang-barang dagangannya. Tak ada yang aku beli, kecuali
sebotol minuman. Berbeda dengan Mirna yang membeli segelas kopi dan popmi.
Aroma kopi dan popminya menusuk-nusuk hidungku. “Ningsih mau nggak?” kata Mirna
menawariku. “Gak Mir, makasih. Dimakan saja. Aku masih kenyang. Tadi mau
berangkat aku makan banyak. Ibuku yang mengambilkan.” Jawabku jujur. Akupun
kembali melanjutkan usahaku untuk bisa terlelap tidur, karena besok pagi aku
harus mengikuti tes masuk di sebuah perusahaan yang menelponku hari itu juga di
pagi hari, yaitu PT Sanyo Jaya Components Indonesia, di Cibitung, Bekasi.
Post a Comment for "Menulis Novel MENJEMPUT ASA Karya fitria Arum N"