Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendekatan Semiotik Puisi Pelajaran dari Kincir Angin Karya: Lasinta Ari Nendra Wibawa ST


Pelajaran dari Kincir Angin
Karya: Lasinta Ari Nendra Wibawa ST

mencintaimu dengan setulus-tulusnya, wahai angin
sama halnya mencintai kawan kaum papa lagi miskin
sebab dinding-atap serupa mimpi yang paling ingin
saat takdir memaksanya jadi nahkoda tanpa kabin


tak pernah kukutuk bibir yang menyebut baling-baling
meski kelahiran bermula dari angin yang memusing
bukan mesin yang berulang-ulang mencumbui bearing
atau pembakaran fosil yang kini berwajah asing

kami menyandarkan hidup dari tiupan demi tiupan
lalu bekerja menghela dua roda yang bersinggungan
seperti ladang subur dengan bibit yang disebarkan
namun rutin kami sirami meski tiada hujan

kami percaya bahwa setiap pekerjaan
bermula dari perubahan yang pelan-pelan
maka belajarlah dari siput yang bertahan
dari invasi musuh dan ancaman kelaparan

kami percaya bahwasannya setiap upaya
berdetak dari kesahajahan yang tak percuma
maka renungilah pohon tumbang saat dibantai
membusuk lalu mewariskan jamur-jamur yang mengurai

karena begitulah lahirnya kesempatan
bukan buah dari penantian-keberuntungan
melainkan dari peristiwa demi peristiwa
yang semula adalah ikhwal biasa

berjuang melepaskanmu dari pelukan gelap
tanpa pernah membangunkan sekelompok asap
adalah misi yang sungguh teramat-amat suci
tanpa memanggul pamrih dilain hari
tanpa mengotori hidung lembut para bayi
anak kecil, maupun ibu menyusui

oh, betapapun cepat-gigihnya kami berlari
tetapi hati kembali ditempat kami mengawali

Pembahasan
Semiotik adalah ilmu yang pempelajari tentang tanda yang mempunyai makna. Tokoh dalam semiotik terdiri atas Ferdinan de Saussure, dan Charles Sander Pierce. Menurut Sariban, (2009:44-45) konsep Semiotik menurut Ferdinan de Saussure menjelaskan bahwa tanda mempunyai dua aspek, yakni penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Penanda adalah bentuk formal bahasa, sedangkan petanda adalah arti yang ditimbulkan oleh bentuk formal.
Semiotika, biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982: ix). Menurut Charles S. Pierce (1986: 4), maka semiotika tidak lain sebuah nama lain bagi logika. Sedangkan Ferdinand de Saussure (1966: 16), semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda,” suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”.

            Konsep Semiotik menurut Charles Sander Pierce merupakan hubungan antara petanda dan penanda, yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.
1.       Ikon adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara petanda dan penanda.
2.       Indeks adalah tanda yang menunjukan hubungan kausualitas (sebab-akibat).
3.       Simbol adalah tanda yang menunjukan tidak adanya hubungan alamiyah antara penanda dan petanda (bersifat arbiter) (Sariban, 2009:45-46).

Dalam pembahasan ini analisis semiotika dilakukan terhadap karya sastra yang sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Yaitu dengan menganalisis aspek sintaksis, dan menganalisis aspek semantik.
                
Pada puisi “Pelajaran dari Kincir Angin” karya Lasinta Ari Nendra Wibawa ST ini akan dikaji melalui analisis semiotik dengan beberapa aspek berikut, yaitu :

1)      Aspek Sintaksis
Dalam puisi “Pelajaran dari Kincir Angin” mempunyai 8 bait. Dibait pertama sampai bait keenam terdiri dari 4 baris, sedangkan bait ke tujuh terdiri dari 6 baris dan bait ke delapan terdiri dari 2 baris.
2)      Aspek Sematik
Pada puisi “Pelajaran dari Kincir Angin” ini, jika dilihat dari penggunaan kata yang dipakai yang mempengaruhi puisi ini adalah:
a)      Kaum papa : orang-orang tua
b)      Dinding-atap serupa mimpi : pembatas, penutup rumah serupa mimpi
c)      Nakhoda : pemimpin
d)      Berwajah asing : perubahan
e)      Menghela dua roda : menarik dua roda
f)       Rutin kami sirami : selalu berusaha
g)      Invasi musuh : wilayah musuh
h)      Berdetak dari kesahajaan : bersungguh-sungguh
i)       Ihwal biasa : keadaan biasa
j)       Pelukan gelap : mendekap kegelapan

Setelah melihat dan mengartikan kata-kata tersebut maka kita bisa mengkaji lewat konotasi atau bahasa kias yang dipakai Lasinta Ari Nendra Wibawa ST dalam puisinya yang berjudul” Pelajaran dari Kincir Angin” ini.
Dalam kata kaum papa, kita dapat mengetahui bahwa kaum orang-orang tua ingin sekali membuat perubahan dengan mengikuti perkembangan zaman.  Dan juga pada kata dinding-atap serupa mimpi menceritakan tentang pembatas dan penutup rumah serasa mimpi, juga pada kata nahkoda disini yaitu dengan keterpaksaan adanya perubahan zaman yang memaksanya untuk memimpin perubahan.
Dan pada kata menghela dua roda ini seseorang harus menarik dua roda dengan ekstra keras untuk membuahkan hasil yang maksimal. Sedangkan pada kata rutin kami sirami disini adalah walaupun mustahil untuk berhasil tetapi tidak putus asa. Dan pada kata invasi musuh adalah seperti menggambarkan tentang selalu bertahan pada wilayah musuh, dari kata berdetak dari kesahajaan menceritan bahwa orang-orang selalu bersungguh-sungguh dan ihwal biasa dari keadaan biasa menjadi perubahan dari pelukan gelap yang artinya selalu mendekap keogelapan.
Apabila kita lihat makna perbait maka akan terlihat makna-makna keseluruhan yang telah dijelaskan diatas. Untuk itu maka kita analisis makna setiap bait dari puisi karya Lasinta Ari Nendra Wibawa ST ini.
a)      Pada bait pertama

mencintaimu dengan setulus-tulusnya, wahai angin
sama halnya mencintai kawan kaum papa lagi miskin
sebab dinding-atap serupa mimpi yang paling ingin
saat takdir memaksanya jadi nahkoda tanpa kabin

Pada baris pertama terdapat kalimat mencintaimu dengan setulus-tulusnya, wahai angin penyair menulis syair itu yang artinya adalah mencintai angin dengan tulus.
Pada baris yang kedua pada kalimat sama halnya mencintai kawan kaum papa lagi miskin menulis syair tersebut menjelaskan bahwa harus mencintai kaum orang tua walaupun miskin.
Pada baris ketiga sebab dinding-atap serupa mimpi yang paling ingin  menjelaskan tentang keinginan yang melihat atap dan dinding yang jelas.
Pada baris keempat  saat takdir memaksanya jadi nahkoda tanpa kabin yang artinya harus ada perubahan dengan menjadi pemimpin tanpa beristirahat.
b)      Bait kedua

tak pernah kukutuk bibir yang menyebut baling-baling
meski kelahiran bermula dari angin yang memusing
bukan mesin yang berulang-ulang mencumbui bearing
atau pembakaran fosil yang kini berwajah asing

Pada baris pertama pada bait kedua, terdapat puisi tak pernah kukutuk bibir yang menyebut baling-baling yang artinya tak kan pernah mengutuk bibir yang selalu menyebutnya baling-baling berputar. 
Baris kedua pada bait kedua meski kelahiran bermula dari angin yang memusing  yang artinya kelahirannya bermulai dari angin yang berputar.
Baris ketiga bait ketiga, bukan mesin yang berulang-ulang mencumbui bearing artinya bukan hanya mesin yang selalu  berhubungan berkali-kali.
Pada baris ke empat pada bait ketiga atau pembakaran fosil yang kini berwajah asing yang artinya atau menghanguskan sisa-sisa zaman yang kini telah berubah.
c)      Bait ketiga

kami menyandarkan hidup dari tiupan demi tiupan
lalu bekerja menghela dua roda yang bersinggungan
seperti ladang subur dengan bibit yang disebarkan
namun rutin kami sirami meski tiada hujan

Baris pertama pada bait ketiga  kami menyandarkan hidup dari tiupan demi tiupan  yang artinya kami bertumpuan hidup dari hembusan demi hembusan.
Pada baris kedua bait ketiga adalah lalu bekerja menghela dua roda yang bersinggungan  yang artinya  lalu bekerja menarik dua roda yang saling bersinanggungan.
Dan pada baris ketiga pada bait ketiga seperti ladang subur dengan bibit yang disebarkan yang artinya bagaikan ladang yang subur dan ditebar dengan benih-benih kehidupan.
Baris keempat pada bait ketiga namun rutin kami sirami meski tiada hujan yang artinya selalu berusaha dengan keras walaupun terlihat sangat mustahil.

d)      Bait keempat
kami percaya bahwa setiap pekerjaan
bermula dari perubahan yang pelan-pelan
maka belajarlah dari siput yang bertahan
dari invasi musuh dan ancaman kelaparan

Pada baris pertama bait keempat,  kami percaya bahwa setiap pekerjaan yang artinya kami selalu percaya setiap pekerjaan.
Baris kedua pada bait keempat, bermula dari perubahan yang pelan-pelan yang artinya diawali dengan perubahan yang berlahan.
Pada baris ketiga bait keempat,  maka belajarlah dari siput yang bertahan artinya selalu belajar dengan hewan kecil seperti siput yang selalu tegar dan bertahan.
Baris keempat pada bait keempat, dari invasi musuh dan ancaman kelaparan artinya dari wilayah musuh dan ancaman kelaparan yang melanda.

e)      Bait kelima
kami percaya bahwasannya setiap upaya
berdetak dari kesahajahan yang tak percuma
maka renungilah pohon tumbang saat dibantai
membusuk lalu mewariskan jamur-jamur yang mengurai

Pada baris pertama bait kelima,  kami percaya bahwasannya setiap upaya artinya kami selalu percaya adanya keberhasilan setiap usaha.
Baris kedua bait kelima, berdetak dari kesahajahan yang tak percuma yang artinya berdunyi dari kesederhanaan yang tidak sia-sia.
Pada baris ketiga bait kelima, maka renungilah pohon tumbang saat dibantai yang artinya maka lihatlah baik-baik pohon yang rebah yang dipotong.
Pada baris keempat bait kelima, membusuk lalu mewariskan jamur-jamur yang mengurai yang artinya rusak lalu memperoleh jamur-jamur yang menguraikannya.

f)       Bait keenam

karena begitulah lahirnya kesempatan
bukan buah dari penantian-keberuntungan
melainkan dari peristiwa demi peristiwa
yang semula adalah ikhwal biasa

Pada baris pertam bait keenam, karena begitulah lahirnya kesempatan yang artinya memang begitu setiap lahirnya kesempatan.
Baris kedua bait keenam, bukan buah dari penantian-keberuntungan artinya bukan proses dari penantian dan keberuntungan.
Baris ketiga pada bait keenam, melainkan dari peristiwa demi peristiwa yang artinya melainkan dari beberapa perubahan peristiwa.
Baris keempat pada bait keenam, yang semula adalah ikhwal biasa artinya yang awalnya adalah dari keadaan yang biasa saja.

g)      Bait ketujuh
berjuang melepaskanmu dari pelukan gelap
tanpa pernah membangunkan sekelompok asap
adalah misi yang sungguh teramat-amat suci
tanpa memanggul pamrih dilain hari
tanpa mengotori hidung lembut para bayi
anak kecil, maupun ibu menyusui

Baris pertama pada bait ketujuh,  berjuang melepaskanmu dari pelukan gelap artinya berjuang untuk melepaskan kegelapan.
Baris kedua bait ketujuh, tanpa pernah membangunkan sekelompok asap artinya tidak pernah membangkitkan dari sekumpulan asap.
Baris ketiga pada bait ketujuh, adalah misi yang sungguh teramat-amat suci artinya adalah tugas yang sangat mulia.
Baris keempat  pada bait ketujuh, tanpa memanggul pamrih dilain hari yang artinya tanpa membawa maksud dilain hari.
Baris kelima pada bait ketujuh, tanpa mengotori hidung lembut para bayi artinya tanpa mengotori hidung halus para bayi.
Baris keenam pada bait ketujuh anak kecil, maupun ibu menyusui artinya dari anak-anak kecil atau ibu-ibu yang memberikan air asinya.
h)      Bait kedelapan
oh, betapapun cepat-gigihnya kami berlari
tetapi hati kembali ditempat kami mengawali

Pada baris pertama bait kedelapan oh, betapapun cepat-gigihnya kami berlari artinya oh, sungguh cepat dan gigihnya kami berlari.
Baris kedua pada bait kedelapan, tetapi hati kembali ditempat kami mengawali yang artinya tetapi hati tetap dimana pertama kali kami memulainya.

Sajak ini menggambarkan atau menceritakan tentang sekelompok seseorang ingin sekali merubah kehidupannya dengan mengikuti perkembangan zaman. Dengan menjadi pemimpin untuk merubah keadaanya dan membuat kehidupannya menjadi lebih terang lagi. Kami disini selalu berusaha dengan keras tanpa putus asa. Dengan mengandalkan sebuah angin yang selalu berhembus untuk mencontoh dari negara yang sangat asing baginya. Tetapi dengan segala upaya yang dilakukannya si kami disini, tetap selalu berusaha tanpa mengeluh dan tanpa pamrih dalam melakukan pekerjaannya untuk merubah kehidupan tanpa melupakan jati dirinya.
Dalam sajak “Pelajaran dari Kincir Angin” ini, secara struktural dipergunakan sarana-sarana kepuitisan untuk mendapatkan dan memperkuat secara bersama-sama, seperti dikemukakan oleh Altenbernd (1970) bahwa puisi mempergunakan sarana-sarana kepuitisan secara bersama-sama untuk mendapatkan jaringan efek sebanyak-banyaknya. Dalam sajak ini dipergunakan sarana kepuitisan diantaranya baik kiasan seperti yang telah terurai diatas, dan dikombinasikan dengan corak kosa kata, citraan, sarana retorika, dan keselarasan bunyi yang semuanya itu perlu dikemukakan oleh Jakobson (1975:358) bahwa bahasa puisi itu memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros pemilihan (parataksis) keporos kombinasi (sintaksis). Perulangan bunyi seperti: setulus-tulusnya (bait 1), perulangan vokal u-u mempunyai efek seperti sangat bersungguh-sungguh, sedangkan alitrasinya s-s yang menambahkan intensitas arti sangat bersih hatinya.
Penggunaan citraan yang berhubungan erat dengan bahasa kiasan, dalam sajak ini dipergunakan untuk membuat gambaran segar dan hidup, dipergunakan dengan cara sepenuhnya untuk memperjelas dan memperkaya seperti yang digunakan oleh Coombes (1980:43), yaitu citraan yang berhasil menolong kita untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap objek atau situasi yang dialaminya dengan tepat, hidup dan ekonomis.
Citra rabaan yang merangsang indera dipergunakan dalam : pelukan gelap / hidung lembut (bait ke-7). Yang merangsang citra penglihatan dipergunakan dalam : berwajah asing (bait ke-2). Yang merangsang indera pendengar dipergunakan pada : menyebut baling-baling (bait ke-2) 
Penggunaan citra ini memuncak dalam bait   ke 2 dan 7 : menyebut baling-baling/berwajah asing. Citra penglihatan ditandai dengan bunyi r-i dikombinasikan dengan citra visual tampak dalam pengelihatan : tak pernah kukutuk bibir yang menyebut baling-baling,  meski kelahiran bermula dari angin yang memusing, bukan mesin yang berulang-ulang mencumbui bearing, atau pembakaran fosil yang kini berwajah asing (bait ke-2). Berjuang melepaskanmu dari pelukan gelap, tanpa pernah membangunkan sekelompok asap, adalah misi yang sungguh teramat-amat suci, tanpa memanggul pamrih dilain hari, tanpa mengotori hidung lembut para bayi, anak kecil maupun ibu menyusui (bait ke-7).
Sarana-sarana retorika yang dikombinasikan untuk memperkuat efek dalam sajak ini pada umumnya untuk mempertegas atau untuk penandasan, disamping untuk membuat liris karena iramanya  yang mengalun oleh ulangan-ulangan bunyi yang teratur.
Dari pemaparan yang dipergunakan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penyair ingin menyampaikan tentang kehidupan manusia yang selalu mengikuti perubahan zaman dengan kerja keras tanpa meninggalkan atau melupakan jatidirinya terdahulu.

Post a Comment for "Pendekatan Semiotik Puisi Pelajaran dari Kincir Angin Karya: Lasinta Ari Nendra Wibawa ST"