ANALISIS STRUKTURAL CERPEN “LAKI-LAKI YANG KAWIN DENGAN PERI” KARYA KUNTOWIJOYO
Pendahuluan
Dalam membaca dan mendiskusikan
fiksi serius, diperlukan adanya topik-topik tertentu. Topik-topik ini akan
dikelompokkan, antara lain yaitu fakta-fakta cerita, tema dan sarana-sarana
sastra. Setiap karya yang berhasil merupakan satu individu unik, karena
sebenarnya tidak ada seorangpun yang bisa menguraikan sebuah organisme secara
menyeluruh.
Dalam konsep-konsep seperti tema,
simbolisme, konflik, dan sebagainya, dapat membantu pembaca memahami sebuah
cerita. Untuk memahami sebuah peristiwa dalam cerita, dibutuhkan kejelian. Dan
meskipun kejadian tersebut dapat dimengerti, tetap saja pemahaman kita akan
keseluruhan cerita bersifat prematur.
Seorang pengarang fiksi serius
tidak akan menyia-nyiakan materi dalam novel-novelnya. Setiap detail dalam
sebuah cerita, berpengaruh pada keseluruhan.
A. Fakta-fakta Cerita
Elemen-elemen dari fakta cerita ini berfungsi sebagai
catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu,
semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita.
Fakta-fakta cerita tersebut yaitu:
1.
Alur
Alur merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa yang merupakan tulang punggung dalam sebuah
cerita. Dalam alur, terdapat subplot, yaitu rangkaian peristiwa-peristiwa yang
menjadi bagian dari alur utama. Satu subplot bisa memiliki bentuk yang paralel
dengan subplot lain. Tindakan ini merupakan upaya untuk menonjolkan
signifikansi; caranya adalah dengan teknik kontras/ similaritas.
Alur hendaknya
memiliki bagian awal, tengah dan akhir yang nyata, meyakinkan, dan logis, dapat
menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri
ketegangan-ketegangan.
Subplot dalam
cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” tersebut, adalah sebagai berikut:
a.
Bagian awal
I.
Nama laki-laki dalam judul cerpen tersebut
adalah Kromo Busuk.
A. Disebut
busuk karena baunya.
B. Entah
busuk karena luka di kakinya atau keringatnya, wallahualam.
II. Pada
mulanya, ia tinggal di tengah desa seperti orang-orang pada umumnya.
A. Ia
mempunyai sepetak sawah. Ia dapat berkebun, memelihara ayam, dan sesekali
menukarkan hasil kebun ke pasar untuk garam dan pakaian.
B. Untuk
yang tidak berkeluarga seperti dia cukuplah dalam hal ekonomi.
C. Pendek
kata, orang boleh iri dengannya.
b.
Bagian tengah
I.
Ketenangan Kromo tersebut terganggu sejak
tetangganya punya menantu orang luar desa.
A.
Berawal dari malam pertama sang menantu dengan
istrinya. Malam pertamanya terganggu ketika bau busuk tercium di hidungnya.
B.
Sang menantu mencari-cari sumber bau itu. Dia menuduh
istrinya, ayah dan ibu mertuanya belum mandi. Tuduhan itu membuat ayah mertua marah
besar terhadap menantu, karena tersinggung.
C. Ketika
kemarahan ayah akan ditunjukkan pada menantu itu, tiba-tiba datang orang-orang
dari pos kamling yang juga menanyakan asal bau busuk itu. Malam itu juga,
kemudian diadakan penggeledahan, namun tidak berhasil.
D. Berkat
orang-orang gardu, seluruh penduduk desa jadi sadar akan bau itu. Kemudian
diadakan penelitian dari rumah ke rumah.
E.
Pada waktu itulah ketahuan bahwa sumber bau
busuk itu ialah Kromo. Hal itu tentulah tidak diakui Pak Kromo.
II. Pak
Kromo membangun gubug baru di pinggir desa dan pindah ke sana.
A. Pindahnya
Kromo tersebut tidak membuat bau busuk hilang dari hidung orang desa.
B. Ketika
Kromo ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli.
C. Kalau
ia pergi nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan
niyaga yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.
III.
Pak Kromo akhirnya memutuskan untuk bermalam di
tengah sawah angker setiap malam.
A. Suatu
malam wanita cantik tiba-tiba sudah didekatnya, entah dari mana datangnya.
Wanita cantik itu tidak seperti orang-orang desa. Dia tidak mempermasalahkan
atau menerima keadaan Kromo saat itu.
B. Kromo
dikawinkan dengan wanita cantik itu pada malam berikutnya.
C. Jika
orang-orang desa mencoba mengikutinya, mereka akan kehilangan jejak ketika
Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan tak ditanami.
D. Jika
hari hujan, dikabarkan sawah tempat ia bermalam tidak kehujanan.
E.
Jika Pak Kromo bangun kesiangan, terlihat oleh
warga, ia sedang mendekap sebuah batu.
F.
Yang mengherankan, ia terlihat awet muda jika
dibandingkan dengan orang sebayanya.
G. Adapun
baunya tidak juga hilang, malah lebih keras.
IV.
Suatu malam datanglah dua orang penunggang kuda
ke gardu ronda.
A. Mereka
menanyakan kepada orang gardu, kenapa orang-orang desa menghina Kromo.
B. Mereka
berkata bahwa Pak Kromo adalah orang yang baik, kemudian pergi entah ke mana.
C. Segera
orang-orang desa berkumpul.
V. Sesaat
setelah orang-orang desa berkumpul, tiba-tiba terdengar ledakan keras dari
tengah sawah, sementara bau wangi tercium di mana-mana.
A. Orang-orang
desa pergi ke sawah untuk tahu apa yang terjadi.
B. Yang
terjadi adalah Pak Kromo meninggal dunia.
C. Jenazah
Pak Kromo tidak diketemukan warga. Yang mereka temukan hanya batu-batu,
rumput, dan tikar. Mereka menyimpulkan bahwa jenazah Kromo dibawa oleh
wanita cantik yang setiap malam bersamanya ke dunianya, dunia lelembut.
c.
Bagian akhir
Sejak meninggalnya Kromo, terjadilah musibah di desa itu, yaitu pageblug yang berlaku untuk semua umur.
A. Pagi
sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal, siang masih di sawah malam
hari sakit, ibu-ibu kehabisan air susu.
B. Orang
sudah berusaha dengan segala upaya, namun sia-sia.
C. Datanglah
Kyai dan menyuruh warga untuk bersyukur dan sedekah.
D. Disepakati
warga untuk mengadakan kenduri dan mengaji sebagai layaknya orang menghormati
yang sudah meninggal.
Dua elemen dasar
yang membangun alur adalah “konflik dan klimaks”. Konflik utama bersifat
fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu seperti
kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman, atau individualitas
dengan kemauan beradaptasi. Sedangkan klimaks adalah saat ketika konflik terasa
sangat intens sehingga ending tidak
dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan
kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat
terselesaikan.
Dari
subplot-subplot tersebut di atas, dapat kita temukan konflik utama dalam cerpen
tersebut, yaitu terdapat pada bagian tengah. Di mana ketenangan Kromo menjadi
terganggu karena tuduhan tokoh menantu dan orang-orang desa lainnya, bahwa Kromo
berbau busuk. Bau busuk itu membuat Kromo menjadi dijauhi warga. Ketika Kromo
pergi ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia pergi
nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang
melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.
Sedangkan klimaks
dari cerpen tersebut juga terdapat pada bagian tengah pada subplot di atas,
yaitu Pak Kromo memutuskan untuk bermalam di tengah sawah angker setiap malam.
Di tempat itulah dia kemudian berjumpa dengan wanita cantik, lalu mengawininya.
Setelah mengawini wanita itu, kejadian-kejadian ganjil terjadi, seperti: jika
orang-orang desa mencoba mengikutinya, mereka akan kehilangan jejak ketika
Kromo sudah memasuki sawah tempat ia bermalam; jika hari hujan, dikabarkan
sawah tempat ia bermalam tidak kehujanan; jika Pak Kromo bangun kesiangan,
terlihat oleh warga, ia sedang mendekap sebuah batu; yang mengherankan, ia
terlihat awet muda jika dibandingkan dengan orang sebayanya. Lalu suatu malam
terdengar ledakan keras dari tengah sawah, sementara bau wangi tercium di
mana-mana. Setelah dilihat oleh orang-orang di desa, tahulah mereka kalau Pak
Kromo meninggal dunia. Namun, jenazah Pak Kromo tidak nampak di sana. Orang-orang
hanya menemukan batu-batu, rumput dan tikar. Mereka mengambil kesimpulan, kalau
jenazah Pak Kromo dibawa oleh wanita cantik itu ke dunianya, dunia lelembut.
2.
Karakter
Terma
karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk
pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks ke-dua, karakter
merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral dari individu-individu tersebut. Sedangkan alasan seorang
karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi.
Dalam
cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” tersebut, terdapat delapan tokoh
dengan karakter sebagai berikut:
a.
Kromo : tokoh utama yang pendiam, penerima,
dan pekerja keras.
Tokoh Kromo yang berwatak penerima
ini dinyatakan dalam cerpen tersebut, yaitu bahwa meskipun Kromo oleh penduduk
desa dikatakan sebagai sumber bau busuk, namun ia tidak berbuat apa-apa untuk
membantah pernyataan itu. Pak Kromo hanya bisa mengatakan kalau tidak mungkin
dia bau busuk, karena dia sudah mandi dengan sabun dan minum jamu, serta tidak
memiliki luka sedikitpun.
Hal tersebut di atas seperti
tertera pada kutipan cerpen di bawah ini:
Pada waktu
itulah ketahuan bahwa sumber bau busuk itu ialah Pak Kromo. Sudah barang tentu
hal itu tidak diakui Pak Kromo sendiri. Katanya ia sudah mandi, suruh pakai sabun
sudah, suruh minum jamu sudah, padahal ia tidak luka sedikit pun.
Sedangkan tindakan Kromo yang
menunjukkan bahwa dia berwatak pendiam yaitu ketika Pak Kromo hendak bercampur
dengan orang-orang yang sedang berkumpul, seketika itu pula perkumpulan orang
menjadi bubar. Hal itu tidak membuatnya memberontak terhadap orang-orang desa
dengan perlakuan mereka terhadapnya, tetapi dia malah lebih memilih untuk diam, tidak mendekati orang-orang desa lagi, dan
memutuskan untuk tidak bekerja lagi, tidak mau mengganggu aktivitas mereka
karena bau busuknya. Hal ini terbukti pada kutipan di bawah ini:
“...Ketika
Kromo pergi ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula
kalau ia pergi nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden,
dan niyaga yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya....... Menjelang malam orang akan melihat dia
mengempit selembar tikar usang menuju batu di tengah sawah untuk tidur. Baru
pagi-pagi ia pulang. Praktis ia tidak bisa bekerja, sebab orang akan bubar untuk
menjauhinya.”
Selain hal di atas, tindakan Kromo
yang lain yang menunjukkan bahwa Kromo adalah tokoh yang pendiam yaitu, Kromo
tidak melakukan adu mulut dengan warga karena tuduhan bau busuk itu, tetapi dia
lebih memilih untuk menjauhi warga. Kromo dengan diam-diam membangun gubuk baru
di pinggir desa dan tinggal di sana. Karena bau busuk masih tercium oleh warga,
diapun memilih untuk tinggal sendiri, bermalam di tengah sawah yang menurut
kepercayaan penduduk desa itu, adalah tempat yang angker. Hal tersebut terdapat
pada kutipan di bawah ini:
“Diam-diam
Kromo membangun gubuk baru di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi,
ternyata hal itu tidak memecahkan masalah....”
“...Malam hari
dia akan keluar desa untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak
dikerjakan, karena orang percaya itu tempat angker....”
Motivasi tokoh Kromo memiliki
watak pendiam dan penerima adalah ingin hidup rukun dengan orang lain, tidak
ingin menyakiti atau mengganggu kehidupan atau aktivitas orang lain.
Sedangkan tokoh Kromo yang
memiliki karakter pekerja keras dinyatakan dalam cerpen tersebut, yaitu bahwa
ia memiliki sepetak sawah, yang bisa ia kerjakan sendiri tentunya. Selain itu
ia dapat berkebun dan memelihara ayam. Sesekali ia menukarkan hasil kebunnya ke
pasar untuk garam dan pakaian. Dalam keadaan yang bagaimanapun, ia ajan bisa
bertahan. Ia tidak bergantung pada kebaikan hati pasar. Dan hal tersebut
terdapat pada kutipan di bawah ini:
“...Ia juga
mempunyai sepetak sawah. Untuk yang tidak berkeluarga seperti dia cukuplah. Ia
dapat berkebun, memlihara ayam, dan sesekali menukarkan hasil kebun ke pasar
untuk garam dan pakaian. Pendek kata, orang boleh iri dengannya. Dalam keadaan
ekonomi yang bagaimanapun ia ajan bisa bertahan, sebab ia tidak bergantung pada
kebaikan hati pasar.”
Motivasi tokoh Kromo memiliki
karakter pekerja keras adalah supaya kebutuhan hidupnya dapat terus terpenuhi,
antara lain yaitu sandang dan pangan.
b.
Warga : tokoh yang tidak perduli dengan
sesamanya dan masih percaya dengan tahayul.
Tokoh warga yang berwatak tidak
perduli dengan sesamanya ini, ditunjukkan dalam cerpen tersebut yaitu ketika salah
satu warga desa bernama Kromo mendapati suatu musibah, yaitu berbau busuk, mereka (warga) membiarkannya, bahkan menjauhi
dan meninggalkan Kromo. Ketika Kromo hendak bercampur dengan orang-orang yang
sedang berkumpul, seketika itu pula perkumpulan orang (warga) menjadi bubar. Seharusnya,
sebagai sesama manusia, warga menolong Kromo untuk bisa menghilangkan bau busuk
itu. Tindakan warga tersebut terdapat pada kutipan cerpen di bawah ini:
Ketika Kromo
pergi ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia
pergi nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga
yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.
Motivasi tokoh warga memiliki
watak tidak perduli dengan sesamanya adalah mereka tidak tahan atau tidak kuat
dengan bau busuk Kromo. Bau busuk itu mengganggu kehidupan atau aktivitas warga;
seperti mengganggu malam pertama sepasang pengantin baru; para gadis desa tidak
laku, karena jejaka-jejaka takut dengan bau yang akan menghalangi; pencuri
berkeliaran dengan leluasa di malam hari, karena pos ronda tidak ada lagi yang
menjaga. Kejadian-kejadian akibat bau busuk Kromo, terdapat pada kutipan cerpen
di bawah ini:
“...Menantu inilah yang mula-mula
menyebabkan orang menuduh Kromo berbau busuk. Itu dimulai pada malam pertamanya.
“kau belum mandi sejak pagi,” katanya pada istri. Itu sungguh di luar dugaan.
Biasanya ia diam saja meskipun (calon) istri itu tidak mandi barang tiga hari.
Ketika istrinya bersumpah bahwa sudah mandi, malah dikatakannya bahwa untuk
menghadapi hari itu sengaja dipilihnya sabun yang paling wangi, menantu itupun
mencari-cari sumber bau itu....”
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa bau busuk Kromo
mengganggu malam pertama sepasang pengantin baru.
“...Para gadis
desa tidak laku, karena jejaka-jejaka takut dengan bau yang akan menghalangi.
Malam bulan purnama juga sepi. Desa itu
jadi sarang hantu. Pencuri berkeliaran dengan leluasa di malam hari, karena
gardu ronda tidak dijaga lagi.”
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa terganggunya
aktivitas dan kehidupan warga yang disebabkan karena bau busuk Kromo.
Sedangkan tokoh warga yang
berwatak masih percaya dengan tahayul ini, dinyatakan dalam cerpen tersebut,
yaitu ketika warga mendapati suatu musibah, yaitu pageblug, mereka melakukan beberapa
upaya, yang mana upaya itu adalah berwujud sejenis ritual atau upacara adat,
yakni dengan berkeliling desa membawa obor, perempuan-perempuan telanjang
mengelilingi rumah dan menyanyikan Dandanggula.
Seperti terdapat pada kutipan di bawah ini:
Sejak itu,
terjadilah pageblug, epidemi, di desa. Tidak bayi, tidak remaja, tidak orang
tua semua terkena. Pagi sakit sore mati, sore sakit pagi meninggal, siang masih
mencangkul di sawah malam hari sakit, ibu-ibu kehabisan air susu. Orang sudah
berusaha dengan membawa obor keliling desa, perempuan-perempuan telanjang
mengelilingi rumah dan menyanyikan Dandanggula, “Ana kidung rumeksa ing wengi.”
Tapi keadaan tidak menjadi baik, malah sebaliknya yang terjadi. habislah akal
orang.
Motivasi tokoh warga memiliki
karakter tersebut adalah untuk menghilangkan atau menjauhkan diri dari musibah
yang sedang menimpa seluruh warga desa pada waktu itu, yaitu pageblug.
c.
Peri : tokoh wanita cantik yang
penghibur.
Tokoh peri yang berwatak penghibur
ini, dinyatakan dalam cerpen tersebut, yaitu bahwa tokoh peri dalam cerpen
mendatangi Kromo yang sedang bermalam di tengah sawah sendirian, lalu
menyuruhnya untuk bercerita tentang alasannya setiap malam tidur di tempat itu.
Kromopun tanpa rasa takut bercerita kepada tokoh wanita cantik yang datang
dengan tiba-tiba itu, tentang kesulitannya dengan orang lain. Mendengar cerita
Kromo, Peri itu memberikan seuntai kalimat yang dapat menghibur atau mengurangi
rasa susah yang dirasakan Kromo. Peri berkata kepada Kromo supaya Kromo jangan
merasa susah lagi jika tidak ada manusia yang mau mengerti dengan keadaannya,
karena masih ada dia, bangsa Peri yang mau mengerti dan memahami dengan
keadaannya saat itu yang menurut warga berbau busuk. Hal tersebut seperti
terdapat pada kutipan cerpen di bawah ini:
Suatu malam
seorang wanita cantik tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Ia tidak tahu dari mana
perempuan itu datang.
“Jangan takut,
kaki. Saya ingin tahu kenapa setiap malam kau di sini.”
Entah apa
sebabnya, tetapi rasa takutnya hilang. Maka iapun bercerita tentang
kesulitannya dengan orang. Ketika dia mengakhiri ceritanya, perempuan itu berkata,
“Sudah kaki.
Kalau bangsa manusia tidak mau mengerti, jangan susah.”
Motivasi tokoh Peri memiliki
karakter tersebut adalah supaya Kromo mau mengikuti bahkan menjadi bangsanya,
yaitu bangsa lelembut. Motivasi ini tersirat juga dalam cerpen tersebut. Yang
mana, pada suatu malam, Peri dikawini Kromo. Pada beberapa malam berikutnya,
tiba-tiba terdengar ledakan keras dari tengah sawah, tempat Kromo bermalam
setiap malam. Warga langsung menghampiri tempat itu. Di tempat itu hanya
ditemukan batu-batu, rumput, dan tikar untuk alas tidur Kromo, sedangkan Kromo
hilang entah ke mana. Warga mengambil kesimpulan, kalau Kromo dibawa ke alam
lelembut. Motivasi tersebut tersirat pada kutipan di bawah ini:
“...Kemudian
terdengar ledakan keras dari tengah sawah, sementara bau wangu tercium di
mana-mana. Mereka segera pergi ke sawah. Masih mereka saksikan asap membumbung
ke atas. Tahulah mereka bahwa Pak Kromo sudah meninggal dunia. Mereka hanya
menemukan batu-batu, rumput, dan tikar. Mereka mengambil kesimpulan bahwa jenazah
Pak Kromo dibawa ke dunia lelembut...”
d.
Menantu : pengantin baru, tokoh laki-laki yang
asal bicara atau ceplas-ceplos dalam berbicara, tanpa ada unggah-ungguhnya.
Tokoh menantu yang berwatak asal
bicara ini dinyatakan dalam cerpen tersebut, yaitu bahwa pada suatu malam, yang
mana malam itu adalah malam pertama tokoh menantu dengan istrinya. Malam
pertamanya itu terganggu dengan kehadiran bau busuk yang menyengat. Hal itu
membuat tokoh menantu menanyakan secara langsung, tanpa basa-basi kepada istri,
apakah sudah mandi atau belum. Karena istrinya menjawab sudah mandi, tokoh
menantu kemudian menanyakan hal yang sama kepada ayah mertua secara langsung.
Pertanyaan tersebut membuat ayah mertua tersinggung, dan marah kepada tokoh
menantu. Ayah mertua berkata bahwa lebih baik tidak punya menantu. Tindakan
menantu yang menunjukkan bahwa dia berkarakter asal bicara, terdapat pada
kutipan di bawah ini:
“...Menantu
inilah yang mula-mula menyebabkan orang menuduh Kromo berbau busuk. Itu dimulai
pada malam pertamanya. “kau belum mandi sejak pagi,” katanya pada istri. Itu
sungguh di luar dugaan. Biasanya ia diam saja meskipun (calon) istri itu tidak
mandi barang tiga hari. Ketika istrinya bersumpah bahwa sudah mandi, malah
dikatakannya bahwa untuk menghadapi hari itu sengaja dipilihnya sabun yang
paling wangi, menantu itupun mencari-cari sumber bau itu. Mula-mula mertuanya
laki-laki, laki-laki itu tersinggung, katanya lebih baik tidak punya menantu.
Terpaksa orang banyak menyabarkannya. Untuk sebentar menantu itu mengalah dan
kamar pengantin itu tenang kembali....”
Motivasi tokoh menantu memiliki
karakter tersebut adalah ingin mengetahui sumber bau busuk yang mengganggu
malam pertamanya itu.
e.
Ayah mertua : tokoh yang mudah tersinggung dan pemarah.
Tokoh ayah mertua yang memiliki
karakter mudah tersinggung dan pemarah ini, dinyatakan dalam cerpen tersebut,
yaitu ketika menantunya menanyakan langsung kepadanya, apakah sudah mandi atau
belum, ayah mertua langsung tersinggung, tidak terima dengan tuduhan tersebut.
Dia langsung naik darah atau marah kepada menantunya. Dia berkata lebih baik
tidak punya menantu. Dan kemarahannya itu mengundang banyak orang untuk
menyabarkannya. Hal tersebut terdapat pada kutipan cerpen di bawah ini:
“...menantu
itupun mencari-cari sumber bau itu. Mula-mula mertuanya laki-laki, laki-laki
itu tersinggung, katanya lebih baik tidak punya menantu. Terpaksa orang banyak
menyabarkannya. Untuk sebentar menantu itu mengalah dan kamar pengantin itu
tenang kembali....”
Motivasi tokoh ayah mertua
memiliki karakter tersebut adalah memberi tahu kalau tidak mungkin dia belum
mandi, apalagi menjadi sumber bau busuk.
f.
Istri : tokoh yang pengertian (mengerti
keadaan).
Tokoh istri yang memiliki karakter
mengerti keadaan ini dinyatakan dalam
cerpen tersebut, yaitu untuk menghadapi malam pertamanya, ia sengaja mandi
dengan sabun yang paling wangi, seperti terdapat pada kutipan cerpen di bawah
ini:
“...Ketika
istrinya bersumpah bahwa sudah mandi, malah dikatakannya bahwa untuk menghadapi
hari itu sengaja dipilihnya sabun yang paling wangi,...”
Motivasi tokoh istri memiliki
karakter mengerti keadaan tersebut yaitu untuk memberi kenyamanan pada
pasangannya pada malam pertamanya itu.
Selain itu, wujud tokoh istri yang
memiliki karakter pengertian (mengerti keadaan) yaitu ditunjukkan ketika
pasangannya memintanya untuk menanyakan kepada ibunya, apakah sudah mandi atau
belum. Hal itu tidak langsung ditanyakan kepada ibunya, karena takut
menyinggung perasaan ibunya. Tokoh istri dengan cara yang berputar-putar,
akhirnya tahu kalau ibunya sudah mandi. Hal itu seperti terdapat pada kutipan
di bawah ini:
Tetapi kamar
itu ribut ketika menantu minta istrinya untuk menanyakan apakah ibu mertua hari
itu tidak lupa mandi. Tentu saja permintaan itu ditolak. Hanya ketika menantu
itu mengancam akan menanyakan langsung, istri itu mengalah. Istri itu bisa
membayangkan betapa ibunya akan marah, pengalaman dengan ayahnya yang
disangkanya akan tersenyum dengan tuduhan itu sudah membuatnya berhati-hati. Ia
tidak langsung menanyakan pada ibunya. Dengan berputar-putar, akhirnya ia tahu
bahwa ibunya sudah mandi.
Motivasinya yaitu untuk menghindar
dari menyinggung perasaan ibunya dengan pertanyaan itu. Serta menghindar dari
kembali marahnya ayah, karena sebelumnya ayah sudah marah besar karena diajukannya
pertanyaan seperti itu oleh pasangan tokoh istri kepada ayah.
g.
Dua orang penunggang
kuda : bijak dalam perkataan.
Tokoh dua orang penunggang kuda
yang memiliki karakter bijak dalam perkataan ini dinyatakan dalam cerpen
tersebut, yaitu pada suatu malam, tokoh tersebut datang ke gardu ronda, dan
menanyakan kepada orang gardu, mengapa orang-orang desa menghina Kromo, padahal
Kromo adalah orang yang baik, seperti terdapat pada kutipan cerpen di bawah
ini:
“Pada suatu
malam, ada dua orang berpakaian seperti ketoprak datang di gardu ronda. Seorang
dengan pakaian kesatria lengkap dengan kudanya, seorang lagi berpakaian lebih
buruk tapi juga menunggang kuda. Tampaknya mereka pangeran dan pembantunya.
Mereka menanyakan kenapa orang-orang desa menghina Pak Kromo, padahal dia orang
baik-baik. Ia tak pernah menyakiti orang, selalu berkata lembut, menundukkan
muka, suka menolong, tidak sombong, dermawan dalam kemiskinannya, suka memberi
dalam kefakirannya. Pendek kata, ia termasuk orang-orang terbaik di desa...”
Motivasi tokoh tersebut memiliki
karakter yang demikian, adalah menyadarkan orang-orang desa bahwa apa yang
sudah dilakukan mereka selama ini terhadap Kromo adalah hal yang salah.
h.
Kyai : tokoh yang penasihat.
Tokoh Kyai yang memiliki karakter
penasihat ini dinyatakan dalam cerpen tersebut, yaitu tokoh Kyai memberi
nasihat kepada warga desa, ketika desa itu terdapat suatu musibah, yang mana
musibah itu tidak kunjung hilang meski sudah berbagai upaya dilakukan warga.
Tokoh Kyai mengatakan kalau orang desa kurang bersyukur dan menganjurkan untuk
bersedekah. Hal tersebut terdapat pada kutipan cerpen di bawah ini:
“Akhirnya,
datanglah kiyai itu. Ia mengatakan kalau orang desa kurang bersyukur dan
menganjurkan sedekah. Kemudian disepakati bahwa orang desa akan mengadakan
kenduri dan mengaji sebagai layaknya orang menghormati yang sudah meninggal...”
Motivasi tokoh Kyai memiliki
karakter penasihat adalah supaya orang desa bersyukur atas apa yang sudah
dimiliki, dan bersedekah walau sedikit dari apa yang sudah dimiliki saat itu
sebagai tanda penghormatan kepada orang yang sudah meninggal.
3.
Latar
Latar
adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat
berwujud dekor, waktu-waktu tertentu, cuaca, atau satu periode sejarah. Selain
itu, meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum
orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita. Dan dalam berbagai cerita dapat
dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang
melingkupi sang karakter.
Berdasarkan
pembahasan di atas, dalam cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” terdapat
latar, baik itu berwujud dekor maupun waktu. Latar yang berwujud dekor dalam
cerpen tersebut yaitu kamar pengantin, sekolah, surau, sungai, sawah, warung,
pasar, dan gardu ronda. Sedangkan latar yang berwujud waktu dalam cerpen
tersebut yaitu pagi hari, malam bulan purnama, malam bukan bulan purnama, dan
siang hari.
Dalam
cerpen tersebut, latar yang merangkum orang-orang menjadi dekor dalam cerita
adalah orang desa. Latar terkadang dapat berpengaruh pada karakter pada tokoh
dalam cerita. Begitu pula dengan latar desa pada cerpen tersebut. Latar desa
mempengaruhi karakter pada tokoh dalam cerpen tersebut. Pada kenyataannya,
umumnya orang-orang yang tinggal di pedesaan adalah orang yang pekerja keras,
mau melakukan aktivitas apapun untuk kelangsungan hidupnya sendiri dan
keluarganya bagi yang sudah berkeluarga. Dan dalam cerpen tersebut, terdapat
karakter yang demikian. Karakter itu dimiliki oleh tokoh Kromo. Meskipun Kromo belum berkeluarga, tetapi dia
tergolong pekerja keras. Terbukti pada kutipan cerpen di bawah ini:
“...ia tinggal di tengah desa seperti
orang-orang pada umumnya. Ia juga mempunyai sepetak sawah. Untuk yang tidak
berkeluarga seperti dia cukuplah. Ia dapat berkebun, memlihara ayam, dan
sesekali menukarkan hasil kebun ke pasar untuk garam dan pakaian. Pendek kata,
orang boleh iri dengannya. Dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun ia ajan bisa
bertahan, sebab ia tidak bergantung pada kebaikan hati pasar.”
Kutipan
cerpen tersebut menunjukkan bahwa Kromo memiliki sepetak sawah, yang tentunya
dapat ia kerjakan sendiri. Selain itu, Kromo berkebun dan memelihara ayam. Dan
hasil kebun tersebut sesekali ia tukarkan dengan kebutuhan hidupnya.
Selain
pekerja keras, pada kenyataannya orang-orang pedesaan umumnya memiliki karakter
masih percaya dengan tahayul. Dan karakter tersebut dalam cerpen juga dimiliki
oleh warga desa, seperti terdapat pada kutipan di bawah ini:
“...terjadilah pageblug, epidemi, di
desa. Tidak bayi, tidak remaja, tidak orang tua semua terkena. Pagi sakit sore
mati, sore sakit pagi meninggal, siang masih mencangkul di sawah malam hari
sakit, ibu-ibu kehabisan air susu. Orang sudah berusaha dengan membawa obor
keliling desa, perempuan-perempuan telanjang mengelilingi rumah dan menyanyikan
Dandanggula, “Ana kidung rumeksa ing wengi.” Tapi keadaan tidak menjadi baik,
malah sebaliknya yang terjadi. habislah akal orang.”
Kutipan
cerpen tersebut menunjukkan bahwa suatu ketika musibah pageblug mendatangi seluruh warga desa tersebut, tanpa terkecuali.
Untuk menghilangkan musibah tersebut, warga mengadakan sejenis ritual atau
upacara adat, yaitu dengan membawa obor keliling desa. Selain itu
perempuan-perempuan telanjang mengelilingi rumah dan menyanyikan Dandanggula. Namun upaya-upaya itu
tidaklah ada hasilnya.
Selain
latar mempengaruhi karakter tokoh, dalam cerpen tersebut latar desa juga
mempengarui tone atau suasana. Pada
cerpen tersebut memunculkan tone
penuh perasaan, yang merefleksikan perasaan memelas Kromo. Pada kehidupan nyata
di desa, jika ada salah satu warga yang tidak selayaknya orang-orang lain, maka
ia akan dijauhi oleh warga yang lain. Demikian pula dalam cerpen tersebut,
seperti pada kutiban cerpen berikut:
Ketika Kromo pergi ke
warung, orang warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia
pergi nonton wayang, orang akan bubar, dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga
yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.
Kutipan
cerpen tersebut menunjukkan, bahwa Kromo dijauhi oleh orang lain, satu
warganya. Orang akan pergi serempak, jika Kromo datang. Dan alasan Kromo
dijauhi orang lain, adalah karena Kromo tidak selayaknya orang-orang yang lain;
Kromo berbau busuk.
Kromo
tidak tau harus berbuat apa. Kemudian memutuskan untuk tinggal sendiri di
tengah sawah yang menurut penduduk desa, sawah itu angker. Tapi Kromo tidak
perduli akan hal itu. Setiap malam ia tidur di sana, dan di siang hari terpaksa
tidak bekerja lagi untuk menghindari perlakuan warga terhadapnya, seperti terdapat
pada kutipan cerpen di bawah ini:
Malam hari dia akan keluar desa
untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak dikerjakan, karena
orang percaya itu tempat angker. Kromo sudah bertekad karena mati pun tidak ada
yang kehilangan. Orang sudah berusaha mencegahnya dengan mengatakan bahwa
tempat tinggalnya yang di pinggiran desa itu sudah lebih dari cukup. Tetapi ia
sudah bulat. Menjelang malam orang akan melihat dia mengempit selembar tikar
usang menuju batu di tengah sawah untuk tidur. Baru pagi-pagi ia pulang.
Praktis ia tidak bisa bekerja, sebab orang akan bubar untuk menjauhinya.
B. Tema
Tema merupakan
aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang
menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema mengacu dan menyorot pada
aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang
melingkupi cerita.
Tema cerpen
“Laki-laki yang Kawin dengan Peri” tersebut adalah kemanusiaan. Disebut bertema
demikian, karena dalam cerpen tersebut mengisahkan tentang seorang warga yang
terkena musibah, tetapi warga yang lain tidak memperdulikannya, bahkan malah
menghindar atau menjauhinya. Sehingga membuat seorang warga itu terasingkan,
terkucilkan, dan tak memiliki tetangga, bahkan saudara. Karena hal demikianlah
yang kemudian membuat seorang warga tersebut berteman, bahkan berkeluarga
dengan yang bukan bangsanya sendiri, melainkan bangsa makhluk ghaib, yaitu
peri.
C.
Sarana-sarana
Sastra
Sarana-sarana
sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu, karena
dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang,
memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalamanpun dapat dibagi. Beberapa
sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone dan
gaya, dan sudut pandang. Sarana sastra lain seperti simbolisme sangat jarang
dihadirkan.
1.
Judul
Judul akan relevan terhadap karya
yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan, apabila judul mengacu
pada sang karakter utama atau latar tertentu.
Namun, kita harus waspada karena judul tersebut dapat mengacu pada satu
detail yang tidak menonjol.
Cerpen karya Kuntowijoyo tersebut,
yang berjudul Laki-laki yang Kawin dengan Peri, setelah melihat isinya, adalah
termasuk judul yang relevan terhadap karya yang diampunya, dan membentuk satu
kesatuan. Cerita dalam cerpen tersebut mengacu pada sang karakter utama, yaitu
Kromo. Cerpen tersebut menggambarkan kehidupan seorang laki-laki, yaitu Kromo,
yang dikucilkan oleh warganya karena suatu musibah yang menimpanya, yang
kemudian datanglah peri yang menemani setiap harinya. Yang pada akhirnya Kromo
meninggal, dan jenazahnya tidak ditemukan keberadaannya.
2.
Sudut pandang
Kita sebagai pembaca memiliki
posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam
tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara
emosional. Posisi ini, pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap
peristiwa dalam cerita, yang dinamakan sudut pandang. Tempat dan sifat sudut
pandang tidak muncul semerta-merta.
Dalam cerpen karya Kuntowijoyo
tersebut, sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang
orang ke-tiga tidak terbatas. Pengarang mengacu pada setiap karakter dan
memosisikannya sebagai orang ke-tiga. Pengarang dapat membuat beberapa karakter
melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakterpun hadir.
Pembaca akan dapat memahami beberapa karakter secara sempurna. Pada beberapa
cerita tertentu, pengarang sengaja menempatkan diri dalam posisi superior yang
serba tahu (layaknya Tuhan) sehingga pengalaman setiap karakter dapat
menghadirkan efek-efek tertentu sesuai keinginannya.
Contoh cuplikan yang menyatakan
bahwa cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang ke-tiga tidak terbatas
yaitu:
Malam
berikutnya, beberapa orang yang kurang pekerjaan mencoba mengikutinya. Tetapi
mereka akan kehilangan jejak ketika Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan
tak ditanami itu. Masih disaksikan oleh mereka angin bertiup sepoi-sepoi dan
pucuk padi tertunduk teratur, seperti angin sedang berjalan di atasnya.
Katak-katak berbunyi serempak, juga kunang-kungang menuju tengah sawah. Udara
menjadi dingin bukan main dan rasa kantuk yang tak tertahankan menyerang
orang-orang dari gardu. Satu per satu mereka menguap dan tertidur di sembarang
tempat. Kalau hari hujan dikabarkan bahwa tempat itu tidak kehujanan.
Cuplikan cerpen di atas
menunjukkan, bahwa pengarang tahu tentang apa yang dilihat, didengar, dan
dirasakan oleh orang-orang desa tersebut, meskipun orang-orang tersebut bukan
tokoh utama.
Selain cuplikan cerpen di atas,
cuplikan di bawah ini juga menunjukkan bahwa cerpen tersebut menggunakan sudut
pandang orang ke-tiga tidak terbatas, yaitu:
Pada
mulanya, ia tinggal di tengah desa seperti orang-orang pada umumnya. Ia juga
mempunyai sepetak sawah. Untuk yang tidak berkeluarga seperti dia cukuplah. Ia
dapat berkebun, memelihara ayam, dan sesekali menukarkan hasil kebun ke pasar
untuk garam dan pakaian. Pendek kata, orang boleh iri dengannya. Dalam keadaan
ekonomi yang bagaimanapun ia ajan bisa bertahan, sebab ia tidak bergantung pada
kebaikan hati pasar.
Cuplikan cerpen di atas
menunjukkan, bahwa pengarang serba tahu. Meskipun tidak ada satu karakter
(tokoh) pun yang hadir, namun pengarang membuat karakter melihat dan berpikir,
yaitu bahwa Kromo adalah termasuk orang yang tercukupi kebutuhannya, dan
bolehlah orang lain iri dengannya karena hal tersebut.
3.
Gaya dan tone
Gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa, dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme,
panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan
metafora. Sedangkan tone adalah sikap
emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan,
romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan.
Dalam cerpen “Laki-laki yang Kawin
dengan Peri” karya Kuntowijaya tersebut, gaya bahasa yang digunakan yaitu
langsung, dan disertai deskripsi-deskripsi yang terorganisasi rapi dan
memanjakan indra.
Dikatakan bergaya bahasa langsung,
karena adanya dialog-dialog atau percakapan langsung yang dilakukan oleh
beberapa tokoh dalam cerpen tersebut, antara lain yaitu:
“Kau
belum mandi sejak pagi,” katanya (menantu) pada istri.
“Ini
sudah keterlaluan,” kata Ayah.
“Jangan
takut, kaki. Saya ingin tahu kenapa setiap malam kau di sini.” kata
wanita cantik. Dan berkata lagi, “Sudah kaki. Kalau bangsa manusia tidak mau
mengerti, jangan susah.”
Komentar
orang bermacam-macam. “itu biasa karena sebayanya malah sudah mati.” “Itu biasa
karena bininya masih muda dan ia harus mengimbangi.” “Itu biasa, salahnya kawin
dengan peri. Aku punya pengalaman daya sedot peri sungguh luar biasa, hingga
tubuh bisa kering kerontang kalau terlalu sering ketemu. Apalagi tiap malam.”
Sedangkan dikatakan bergaya bahasa
yang menyertakan deskripsi-deskripsi yang terorganisasi rapi dan memanjakan
indra, karena dalam cerpen tersebut, pengarang dalam mengungkapkan gagasannya menyertakan
deskripsi atau gambaran-gambaran yang mudah dipahami, sehingga membuat pembaca
seolah-olah ikut melihat, mendengar, mencium, dan merasakannya. Deskripsi
tersebut ditunjukkan pada kutipan cerpen sebagai berikut:
“Malam
hari dia akan keluar desa untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan
tidak dikerjakan, karena orang percaya itu tempat angker.... Menjelang malam
orang akan melihat dia mengempit selembar tikar usang menuju batu di tengah
sawah untuk tidur....”
“...Tetapi
mereka akan kehilangan jejak ketika Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan
tak ditanami itu. Masih disaksikan oleh mereka angin bertiup sepoi-sepoi dan
dan pucuk padi tertunduk teratur, seperti angin sedang berjalan di atasnya.
Katak-katak berbunyi serempak, juga kunang-kungang menuju tengah sawah. Udara
menjadi dingin bukan main dan rasa kantuk yang tak tertahankan menyerang
orang-orang dari gardu. Satu per satu mereka menguap dan tertidur di sembarang
tempat. Kalau hari hujan dikabarkan bahwa tempat itu tidak kehujanan.”
“....
Segera orang berkumpul. Perkara berkumpul tidak ada yang menandingi orang desa.
Kemudian terdengar ledakan keras dari tengah sawah, sementara bau wangi tercium
di mana-mana. Mereka segera pergi ke sawah. Masih mereka saksikan asap
membumbung ke atas. Tahulah mereka bahwa Pak Kromo sudah meninggal dunia .
mereka hanya menemukan batu-batu, rumput, dan tikar. Mereka mengambil
kesimpulan bahwa jenazah Pak Kromo dibawa ke dunia lelembut....”
Sedangkan tone dalam cerpen tersebut adalah penuh perasaan, yaitu memelas. Tone ini dimunculkan oleh fakta-fakta
dalam cerpen tersebut. Cerpen tersebut mengisahkan tentang kehidupan seseorang,
bernama Kromo. Kromo dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang di desa, karena suatu
musibah yang menimpanya. Musibah itu adalah bau busuk. Bau busuk Kromo
mengganggu aktivitas orang-orang desa. Apabila Kromo pergi ke warung, warung
itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia pergi nonton wayang,
orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang melanjutkan
dengan menutup hidung sekenanya. Hal demikian terdapat dalam kutipan cerpen di
bawah ini:
Diam-diam Kromo
membangun gubuk baru di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi, ternyata
hal itu tidak memecahkan masalah. Bau busuk tidak juga hilang dari hidung orang
desa. Pada malam hari, orang masih mengeluh. Ketika Kromo pergi ke warung,
warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia pergi nonton
wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang
melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.
Dalam cerita, Kromo tidaklah
melakukan aksi seperti berontak atau semacamnya kepada orang-orang yang sudah
memperlakukannya seperti manusia hina yang harus dijauhi. Kromo tidak berbuat
apapun, kecuali menerima semua yang terjadi. Kromo memilih untuk berada jauh
dari orang-orang desa, karena tidak ingin mengganggu aktivitas mereka, dan
lelah dengan perlakuan mereka terhadapnya. Di antara mereka, orang-orang desa,
tidak ada yang perduli dengan keadaannya. Yang mau perduli dan menerima
keadaannya hanyalah seorang wanita cantik yang bukan berasal dari bangsa
manusia, melainkan berasal dari bangsa lelembut, yang kemudian Kromo mengawini
wanita cantik itu, seperti terdapat pada kutipan cerpen di bawah ini:
Menjelang malam
orang akan melihat dia mengempit selembar tikar usang menuju batu di tengah
sawah untuk tidur. Baru pagi-pagi ia pulang. Praktis ia tidak bisa bekerja,
sebab orang akan bubar untuk menjauhinya.
Suatu malam
seorang wanita cantik tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Ia tidak tahu dari mana
perempuan itu datang.
“Jangan takut,
kaki. Saya ingin tahu kenapa setiap malam kau di sini.”
Entah apa
sebabnya, tetapi rasa takutnya hilang. Maka iapun bercerita tentang
kesulitannya dengan orang. Ketika dia mengakhiri ceritanya, perempuan itu
berkata,
“Sudah kaki.
Kalau bangsa manusia tidak mau mengerti, jangan susah.”
Malam
berikutnya ia dikawinkan di depan peghulu Naib Kecamatan yang sudah dikenalnya.
4.
Simbolisme
Simbol berwujud detail-detail
konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi
dalam pikiran pembaca. Simbolisme sastra lebih menimbulkan persoalan bagi
pembaca jika dibandingkan dengan sarana-sarana lain. Dengan simbolisme,
pengarang membuat maknanya jadi tampak. Detail yang bermakna simbolis biasanya
sering muncul atau diulang-ulang, melebihi seharusnya atau melampaui
kepentingannya dalam alur cerita. Pendekatan yang dilakukan untuk menemukan
maknanya adalah lebih baik dengan membandingkan detail dengan konteksnya,
apakah detail tersebut mengulangi, menyerupai, atau menyugestikan satu elemen
dalam adegan tempat ia muncul? Adakah konotasi-konotasi yang relevan secara
spesifik dengan adegan tersebut?
Simbol yang terdapat dalam cerpen karya
Kuntowijoyo tersebut yaitu terdapat pada judul itu sendiri, yaitu “Laki-laki
yang Kawin dengan Peri”. Judul “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” tersebut sebenarnya
adalah ringkasan dari makna cerpen keseluruhan. Makna dari simbol “Laki-laki
yang Kawin dengan Peri” tersebut yaitu bahwa terdapat seorang laki-laki bernama
Kromo, memiliki sebuah musibah. Musibah yang dimilikinya adalah berbau busuk.
Musibah itu membuat dirinya dijauhi orang-orang. Tak ada satupun orang yang mau
memperdulikan musibah yang sedang ia alami itu. Seperti terdapat pada kutipan
cerpen berikut, yaitu: Ketika Kromo pergi ke warung, warung itu
akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia pergi nonton wayang, orang
akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang melanjutkan dengan
menutup hidung sekenanya. Karena perlakuan
warga kepadanya itulah yang kemudian
membuatnya untuk pergi jauh dari mereka, seperti terdapat pada kutipan cerpen
berikut, yaitu: “Diam-diam Kromo membangun gubuk baru
di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi, ternyata hal itu tidak
memecahkan masalah..... Kromo menyadari hal itu. Malam hari
dia akan keluar desa untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak
dikerjakan, karena orang percaya itu tempat angker...”
Di tengah sawah itulah dia berjumpa dengan peri, seorang wanita cantik yang
bukan berasal dari bangsa manusia, melainkan berasal dari bangsa lelembut atau
siluman. Karena tak ada siapapun yang mau menerima keadaannya pada waktu itu,
kecuali peri, kemudian peri itupun dikawini oleh Kromo. Peri tersebut dikatakan
sebagai seorang wanita cantik yang berasal dari bangsa lelembut atau siluman,
karena kedatangannya yang secara tiba-tiba dan tidak diketahui dari mana
datangnya. Selain itu terdapatnya kejadian-kejadian ganjil yang terjadi setelah
Kromo mengawini peri itu, seperti terdapat pada kutipan berikut ini, yaitu:
“....beberapa orang yang kurang pekerjaan mencoba mengikutinya. Tetapi mereka
akan kehilangan jejak ketika Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan tak
ditanami itu.... Kalau hari hujan dikabarkan bahwa tempat itu tidak kehujanan....
Kalau Kromo kesiangan, orang akan menemukannya sedang mendekap sebuah batu.
Yang mengherankan ialah rambut Kromo yang tidak putih, meskipun orang sebayanya
sudah..... Tahulah mereka bahwa Pak Kromo sudah meninggal dunia. Mereka hanya
menemukan batu-batu, rumput, dan tikar...”
Kejadian-kejadian seperti yang
terdapat pada kutipan cerpen di atas dikatakan sebagai kejadian ganjil karena
jika dibandingkan dengan kehidupan nyata, secara logika hal itu tidaklah masuk
akal; orang yang kehilangan jejak secara tiba-tiba setelah Kromo memasuki
tempat ia tinggal bersama peri, yaitu sawah berbatu-batu dan tidak ditanami;
tempat ia tinggal bersama peri kalau hari hujan, tidak ikut kehujanan; jika
Kromo bangun kesiangan, bukannya diketemukan oleh warga sedang mendekap peri,
malah mendekap sebuah batu; awet muda, karena warna rambutnya yang masih hitam,
padahal orang sebayanya sudah berambut putih; sepeninggalnya, jenazahnya tidak
diketemukan warga.
Jadi, judul “Laki-laki yang Kawin dengan
Peri” tersebut diibaratkan sebagai seseorang yang sebenarnya mampu untuk
bekerja sama dengan orang lain. Namun karena orang-orang menganggapnya rendah,
iapun akhirnya memilih untuk bekerja sama dengan siluman. Dan terbukti setelah
ia mengawini siluman, hidupnya menjadi tidak sendirian. Setiap malam dia
ditemani siluman itu yang menyerupai seorang wanita cantik. Meskipun ia tidak
bekerja lagi, namun ia masih tetap dapat bertahan hidup. Dan setelah
sepeninggalnya, mungkin karena sesuai perjanjian dengan siluman itu, jenazahnya
tidak diketemukan oleh orang-orang. Dimungkinkan jenazahnya dibawa oleh siluman
itu ke alamnya.
5.
Ironi
Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Terdapat dua ironi
dalam dunia fiksi, yaitu ironi dramatis dan tone
ironis.
Ironi dramatis, biasanya muncul melalui kontras
diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan, atau antara
harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sedangkan tone
ironis, untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara
berkebalikan. Terkadang terdapat kontras ironis antara sikap pengarang dengan
rasa yang sesungguhnya ia rasakan; biasanya seorang pengarang akan menggunakan
sudut pandang seorang karakter atau kelompok.
Dalam cerpen tersebut, ironi dramatis yang digunakan
adalah adanya kontras diametris antara harapan dengan apa yang sebenarnya
terjadi. Kondisi berdasarkan cerpen yang menunjukkan kekontrasan tersebut yaitu
pindahnya tempat tinggal Kromo ke pingggir desa, kemudian ke tengah sawah yang
berbatu-batu dan tidak dikerjakan, yang awalnya diupayakan atau diharapkan
dapat memecahkan masalah (yaitu bau busuk hilang dari hidung orang-orang desa),
kenyataannya bau busuk yang tercium malah semakin keras. Kalau sebelumnya hanya
di malam hari, sekarang tercium tidak hanya di malam hari saja, tetapi juga di
siang hari. Hal itu terdapat pada kutipan cerpen di bawah ini:
“Diam-diam
Kromo membangun gubuk baru di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi,
ternyata hal itu tidak memecahkan masalah. Bau busuk tidak juga hilang dari
hidung orang desa... Kromo menyadari hal itu. Malam hari dia akan keluar desa
untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak dikerjakan, karena
orang percaya itu tempat angker. Kromo sudah bertekad karena mati pun tidak ada
yang kehilangan.... Adapun baunya tidak juga hilang, malah lebih keras. Kalau
dulu hanya di malam hari, sekarang juga tercium di siang hari. Sampai-sampai
anak sekolah disuruh menimbuni sampah dan membersihkan semak-semak di sekitar
sekolah...”
Sedangkan tone
ironis dalam cerpen tersebut yaitu terdapat pada cuplikan cerpen di bawah ini:
Pada waktu
itulah ketahuan bahwa sumber bau busuk itu ialah Pak Kromo. Sudah barang tentu
hal itu tidak diakui Pak Kromo sendiri. Katanya ia sudah mandi, suruh pakai
sabun sudah, suruh minum jamu sudah, padahal ia tidak luka sedikit pun.
Diam-diam Kromo
membangun gubuk baru di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi, ternyata
hal itu tidak memecahkan masalah. Bau busuk tidak juga hilang dari hidung orang
desa. Pada malam hari, orang masih mengeluh. Ketika Kromo pergi ke warung,
warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau ia pergi nonton
wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang
melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya.....
Kromo menyadari
hal itu. Malam hari dia akan keluar desa untuk tidur di tengah sawah yang
berbatu-batu, dan tidak dikerjakan, karena orang percaya itu tempat angker.
Kromo sudah bertekad karena matipun tidak ada yang kehilangan. Orang sudah
berusaha mencegahnya dengan mengatakan bahwa tempat tinggalnya yang di
pinggiran desa itu sudah lebih dari cukup. Tetapi ia sudah bulat. Menjelang
malam orang akan melihat dia mengempit selembar tikar usang menuju batu di
tengah sawah untuk tidur. Baru pagi-pagi ia pulang. Praktis ia tidak bisa
bekerja, sebab orang akan bubar untuk menjauhinya.
Suatu malam
seorang wanita cantik tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Ia tidak tahu dari mana
perempuan itu datang.... Malam berikutnya ia dikawinkan di depan peghulu Naib
Kecamatan yang sudah dikenalnya. Dihadirkan juga saksi-saksi. Perempuan yang dikawininya
rasa-rasanya ia pernah ketemu sebelumnya, tetapi ia lupa di mana. Ia enggan
bertanya, pokoknya wanita itu cantik di luar bayangan orang yang paling gila
sekalipun. Dan malam itu dia memberikan kenikmatan yang luar biasa yang tidak
mungkin diceritakan demi sopan santun.
Dalam kutipan cerpen di atas terdapat kontras ironis
antara sikap pengarang dengan rasa yang sesungguhnya ia rasakan, melalui sudut
pandang orang pertama utama, yaitu Kromo. Kutipan di atas menunjukkan bahwa
pengarang terhadap pembaca menunjukkan sikap yang menasihati pembaca. Seperti
terdapat pada kutipan di atas, dapat kita hayati, bahwa apabila kita mendapati
sebuah musibah yang sebenarnya datangnya dari Yang Maha Kuasa, kemudian
mengakibatkan dibenci oleh orang lain dan dijauhi mereka, maka janganlah kita
untuk balik membenci mereka, dengan berbuat jahat pada mereka. Pilihlah jalan
untuk sabar dan menerima atas perlakuan mereka terhadap kita, dan tetap berbuat
baiklah kita terhadap mereka. Jika kita sabar menjalani itu semua, pasti pada
akhirnya nanti akan ada sesuatu yang manis yang akan kita telan. Pada kutipan
cerpen di atas, tokoh Kromo yang awalnya dijauhi warga dan selalu tinggal
sendirian di tengah sawah karena bau busuknya, berkat kesabarannya, suatu
ketika wanita cantik mendatanginya, dan bersedia untuk dikawininya. Setelah
perkawinan itu, tokoh Kromo tidak sendiri lagi. Setiap malam ia tidur ditemani
wanita cantik yang dikawininya itu.
Sedangkan rasa atau keadaan jiwa yang sesungguhnya
pengarang rasakan, berdasarkan kutipan cerpen di atas adalah keadaan jiwa
pengarang yang penuh pemberontakan. Pengarang tidak setuju terhadap perlakuan
warga terhadap Kromo yang semena-mena, yang menganggap Kromo seperti manusia
hina, sehingga dijauhi mereka. Tidak sepantasnya Kromo yang lemah, yang sedang
memiliki musibah, disia-siakan warga. Seharusnya sebagai sesama warga harus
tolong menolong, bahu membahu. Siapa yang sedang butuh pertolongan, dia yang
dibantu. Bukan siapa yang sedang butuh pertolongan, dia harus dijauhi.
Post a Comment for "ANALISIS STRUKTURAL CERPEN “LAKI-LAKI YANG KAWIN DENGAN PERI” KARYA KUNTOWIJOYO "