SARANA SASTRA Novel "Maha Cinta" Karya Aguk Irawan Mizan,
Stanton
(1965:23) menyatakan sarana sastra sebagai cara pengarang untuk menyeleksi dan
menyusun bagian-bagian cerita sehingga tercipta karya yang bermakna. Tujuan
sarana sastra adalah agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita melalui
sudut pandang pengarang, melihat arti fakta cerita sehingga dapat bertukar
pendapat tentang pengalaman yang terlukiskan. Pembahasan mengenai sarana sastra
meliputi pusat pengisahan, gaya bahasa, nada dan ironi. Di bawah ini ketiga
sarana sastra itu dibahas satu persatu.
Dalam
bab ini pembahasan mengenai sarana sastra meliputi pusat pengisahan, gaya
bahasa, nada, dan ironi. Di bawah ini, ketiga sarana sastra itu dibahas satu
persatu.
A.
Pusat
Pengisahan
Didalam sebuah cerita, pengarang memilih
posisi atau hubungan dengan setiap peristiwa atau tokoh yang diceritakannya,
apakah secara emosional pengarang ikut terlibat atau tidak. Posisi yang
merupakan dasar berpijak untuk melihat peristiwa dalam cerita itulah yang
disebut sudut pandang (port of view) (Stanton,
1965:26)
Adapun Abrams (1981:142) menyatakan
bahwa sudut pandang adalah cara yang dipergunakan pengarang, sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Pengarang menggunakan pusat pengisahan
persona ketiga atas Warren da Wellek (1989:296) menyebutnya sebagai metode
naratif yang salah satu cirinya adalah pengarang menggunakan persona ketiga
mahatahu di dalam novel Maha Cinta.
Pengarang menjadi narator, yaitu seseorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau gantinya, ia, dia, dan
mereka (Nurgiyantoro, 1998:256). Di dalam teknik ini nama-nama tokoh sering
disebut, terutama tokoh utamanya.
Pusat pengisahan persona ketiga, oleh
Wellek dan Warren di bagi atas dua jenis, yaitu metode romantic-ironik dan
metode objektif. Metode romantic-ironik memungkinkan pengarang mengetahui
segala macam hal mengenai peristiwa dan tokoh, juga diperbolehkan mengomentari
peristiwa dan menasehati tokoh-tokoh ada dalam cerita.
Adapun metode objektif mempunyai ciri,
tidak hadirnya pengarang yang mahatahu dan berlakunya sudut pandang yang
terkontrol. Pengarang menceritakan ceritanya dengan menjelaskan semua proses
yang dialami tokoh dengan tidak memberitahu apa yagn akan terjadi kemudian.
Dengan batasan bahwa di dalam metode ini tidak diperkenakan hadirnya pengarang
yang mahatahu.
Novel Maha Cinta dianggap menggunakan metode naratif dengan sudut pandang
orang ketiga mahatahu, dengan mengkombinasikan metode dramatic-ironik dengan
metode objektif. Pengombinasian ini mengakibatkan pencerita tahu segala hal
mengenai peristiwa, sikap, pikiran dan perasaan tokoh, tetapi dia tidak
mengomentari hal tersebut sehingga sudut pandang tetap terkontrol dan cerita
tidak diganggu dengan berbagai komentar atau nasihat pengarang.
“Karena
yakin bahwa persoalan Dewi juga amat penting, akhirnya Imran menemui Zaid di
kostnya. Pemuda yang satu ini pun ia ajak untuk pulang ke Sembungan. “Nanti di
rumah, aku ceritakan semuanya, ucap Imran
saat Zaid bertanya tentang kabar penting yang hendak ia sampaikan” (Maha Cinta, 2014:332)
“Apabila
diperhatikan dengan seksama, bola mata Haji Nurcahya berkaca-berkaca. Lenguhnya
tertahan. Dada rasanya menjadi sesak sekali. Entah apa yang tengah terjadi
dengan putrinya itu, hingga seperti sudah tidak dikenalinya lagi” (Maha Cinta, 2014:358)
B.
Gaya
bahasa dan Nada
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian
penulis (pemakai bahassa). (Keraf, 1990;113)
Menurut Nurgiyantoro, (2005:296)
pemajasan merupakan salah satu bentuk retorika. Pemajasan, merupakan teknik
pengungkapan bahasa, penggayaan bahasa, yang maknanya tidak menunjukkan makna
harfiah kata-kata yang mendukungnya melainkan pada yang ditambahkan, makna yang
tersirat.
Penggunaan gaya bahasa di dalam novel Maha Cinta dapat dibagi atas gaya bahasa
umum dan gaya bahasa khusus
1. Gaya
Bahasa Umum
Yang dimaksud gaya bahasa umum adalah
gaya bahasa yang dapat di kategorikan pada gaya bahasa yang sudah sering
digunanakan oleh pengarang lain. Gaya bahasa yang biasa digunakan tersebut
dapat dibagi atas dua macam, yaitu bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
2. Gaya
Bahasa Retoris
Gaya bahasa ini merupakan penyimpangan
dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 1990:129) atau
Altenbernd (1970:22) disebut sebagai kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.
Gaya bahasa ini dibuat pengarang untuk menarik perhatian dan pikiran sehingga
pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan pengarang. Gaya bahasa retoris
yang dipergunakan di dalam Maha Cinta adalah
sebagai berikut:
a. Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang
mengandung pertanyaan yang berlebih-lebihan terhadap suatu hal atau keadaan.
Penggunaan gaya bahasa ini memberikan kesan menyangkatkan intensitas, dan juga
ekspresivitas terhadap hal dan keadaan (Pradopo, 1990:98)
“Kata-kata itu menggetarkan hati imran,
mengingatkannya pada sebuah hadis” (Maha
Cinta, 2014:50)
“Berubahlah seketika wajah Imran. Terang
cahaya lampu minyak di atas dampar itu tak lebih terang dari cahaya wajahnya
saat ini” (Maha Cinta, 2014:52)
“Senyumnya indah. Pipinya yang
kemerah-merah. Lesung pipitnya yang menggemaskan. Bola matanya yang bening itu” (Maha Cinta, 2014:61)
“Marwa berlari. Tak ia kenakan sendal
sebagai alas kakinya. Ia berlari telanjang kaki. Jilbabnya kusut dan dibalutkan
begitu saja di kepalanya, hingga tampak ekor rambutnya keluar dahi. Wajahnya
pucat pasi. Keringat dingin membasahi tengkuknya” (Maha Cinta, 2014:61)
“Malaikat-malaikat nan suci menjadi
saksi pernikahan suci ini. Juga orang-orang. Juga mentari siang. Juga hembusan
angin. Juga rerumputan. Juga kicauan burung. Juga awan putih yang
berarak-arak.” (Maha Cinta, 2014:217)
“Imran tak bisa membuka bibirnya. Di
saat yang sama, api kemarahan yang telah membakar wajah dan jiwa Marwa,
berkobar-kobar menjadi ucapan-ucapan yang menyakitkan dan menusuk hati” (Maha Cinta, 2014:300)
“Wajah yang semula seperti meringkuk
sedih kini menjadi terang seterang cahaya siang itu menyusup ke cela-cela
kantor direktur itu” (Maha Cinta, 2014:441)
Malaikat-malaikat
nan suci menjadi saksi pernikahan suci ini, berlomba-lomba untuk mencari
perhatian, dan hati pun bergemuruh, antara lantunan kalam-kalam suci dan cinta
adalah contoh-contoh hiperbola di dalam novel Maha Cinta. Penggunaan hiperbola di dalam kalimat-kalimat ini
mengandung pengertian keindahan sehingga menimbulkan suasana senang dan
romantis.
b. Personifikasi
Personifikasi adalah jenis gaya bahasa yang
membandingkan benda mati atau yang tidak bergerak seolah-olah bernyawa
sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki manusia.
“Ketika pagi, sebelum mentari
membangunkan daun-daun, awan-awan putih itu muncul sebagai kabut yang turun
dari Puncak Sikunir” (Maha Cinta, 2014:21)
“Di bawah sendunya wajah Bulan dan
kedap-kedip bintang di langit” (Maha
Cinta, 2014:75)
“Dan bulan pun bersembunyi di balik awan
yang hitam” (Maha Cinta, 2014:108)
“Matahari mulai merangkak naik, sinarnya
masih agak sejuk dan belum begitu membakar kulit” (Maha Cinta, 2014:349)
Kata-kata seperti matahari merangkak naik, Bulan bersembunyi, mentari membangunkan
daun-daun adalah contoh-contoh dari majas personifikasi. Penggunaan majas
ini membuat sesuatu memiliki sifat-sifat yang dimiliki manusia.
C.
Bahasa
Kiasan
Menurut Keraf, bahasa kiasan adalah
bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang
telah membentuknya. (Nurgiyantoro, 2008:298).
Menurut (Pradopo, 1990:61-62), bahasa
kiasan dibentuk dengan mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan dengan
yang lain. Berfungsi untuk menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup dan
terutama menimbulkan kejelasan gambar.
1. Simile
Menurut Nurgiyantoro (2005:298). Simile menyarankan
pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan
penanda keeksplisitan seperti: seperti, bagaikann, laksana, mirip dan
sebagainya. Fungsi dari sismile adalah dapat memahami dengan baik lewat konteks
wacana bersangkutan.
“Cinta yang bersih-bersinar, bagai bintang
yang putih di petala langit” (Maha Cinta,
2014:46)
“Tangis sengguknya ia tahan begitu rupa
agar tak membangunkan ayah-ibunya hingga memergoki jiwanya yang tengah
berkedap-kedip bagai kerlap-kerlip bintang-bintang di langit sana” (Maha Cinta, 2014:65)
“Sembungan memang tidak bisa menyimpan
rahasia. Seperti elang yang selalu terbang rendah di langitnya, elang yang
sama, membuat warga waspada terhadap ayam-ayamnya” (Maha Cinta, 2014:71)
“Aku pun tak tahu. Andai saja hartaku
melebihi harta ayahmu” (Maha Cinta, 2014:72)
Di dalam novel Maha Cinta, contoh simile yang digunakan adalah mempersamakan cinta dengan bintang. Sembungan dengan
elang. Tangis dengan kerlap-kerlip bintang. Dari simile tersebut
menimbulkan suasana tenang.
D.
Penggunaan
Kata dan Bahasa Daerah
Ditemui bahasa atau kata-kata daerah
yang sering digunakan oleh Aguk Irawan dalam novel Maha Cinta. Bahasa atau kata-kata daerah yang ditemui tersebut
berasal dari daerah jawa.
“Sirhadi yang terkenal selenge’an itu, pun
berimbuh, Haji Nurcahya memang terlalu” (Maha
Cinta, 2014:129)
“Ketika ia
sampai di hadapan Imran, hampir saja ia limbung” (Maha Cinta, 2014:144)
“Dia seperti oleng, mau limbung” (Maha Cinta, 2014:404)
“Dipanggilah Mbok Inem, satu-satunya
dukun bayi yang berada di kampung Sembungan”
(Maha Cinta, 2014:426)
Pengertian Mbok (Ibu), Selenge’an (seenaknya
saja), limbung (pingsan). Penggunaan
bahasa daerah ini memberikan kesan menarik bagi pembaca novel, disamping
menambah pengetahuan bahasa juga merangsang pembaca untuk mengetahui
keseluruhan cerita. Keinginan mendapatkan pengetahuan bahasa atau kata-kata
daerah ini membuat mereka tidak membaca novel secara sepintas namun dengan
perhatian lebih.
Selain itu, penggunaan bahasa dan
kata-kata Jawa juga mendukung dan memperkuat latar masyarakat Jawa yang
ditonjolkan pengarang dalam novel Maha
Cinta.
E.
Nada
Ironi atau Ironi Verbal
Nada
merupakan kualitas gaya yang memaparkan sikap pengarang terhadap pembaca
karyanya. Suasana dapat berkisar pada suasana yang religius, romantis,
melankolis, menegangkan, mencekam, tragis, mengharukan dan sebagainya.
Menurut
Kenny, nada merupakan ekspresi sikap-sikap pengarang terhadap masalah yang
dikemukakan terhadap pembaca. Stile adalah sarana, sedangkan nada adalah
tujuan. Salah satu kontribusi penting dari stile adalah untuk membangkitkan
nada. (Nurgiyantoro, 2005:284-285)
Ironi
diartikan sebagai suatu pernyataan yang berlawanan dengan apa yang diharapkan.
Menurut Stanton (1965:24), membagi ironi yang ada dalam karya sastra menjadi
dua macam, yaitu ironi dramatik (dramatic
irony) dan nada ironis.
1. Ironi
Dramatis
Menurut Stanton (1965:45), ironi dramatis atau
sering dikenal pula sebagai ironi plot atau ironi situasi secara mendasar tergantung
pada pertentangan yang sangat kontras antara penampilan dan kenyataan, antara
perhatian tokoh dengan apa yang nyata-nyata terjadi. Seringkali unsur-unsur
yang dikontraskan itiu dihubungkan secara logis atau sebagai hubungan sebab
akibat.
Dalam novel Maha
Cinta, ironi jenis ini terdapat pada saat Haji Nurcahya menentang hubungan
Marwa dengan Imran. Tetapi pada saat Haji Nurcahya menyetujui hubungan tersebut
Marwa justru menolak Imran dan lebih memilih Maman.
2. Nada
Ironi atau Verbal
Menurut Stanton (1965:46), nada verbal muncul ketika
seseorang menyampaikan maksudnya dengan mengatakan sebaliknya. Dalam novel Maha Cinta tidak terdapat nada ironi
Post a Comment for "SARANA SASTRA Novel "Maha Cinta" Karya Aguk Irawan Mizan,"