Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Latar/Setting Novel "Maha Cinta" Karya Aguk Irawan Mizan

Latar merupakan tempat terjadinya peristiwa di dalam cerita atau lingkungan yang mengelilinginya pelaku dalam cerita (Stanton, 1965:18). Abrams (1981:175) menyatakan bahwa latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Sejalan dengan Abrams, Nugiyantoro menyatakan bahwa novel sebagai sebuah dunia imajinasi yang tidak hanya membutuhkan tokoh sebagai penghuni beserta permasalahan yang dihadapinya, tetapi juga membutuhkan ruang, tempat, dan waktu bagi tokoh tersebut untuk “hidup”. Ruang, tempat, dan waktu itu dikenal sebagai latar (1998:277).

1.      Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 1998:227). Di dalam Maha Cinta disebutkan secara ekpsplisit nama tempat, kota, Negara, desa tempat peristiwa-peristiwa berlangsung.
Secara garis besar di dalam Maha Cinta, latar berkisar di dua tempat. Latar pertama, pengarang menyatakan adanya kampung Sembungan, secara detilnya Lereng bukit, rumah Kiyai Yazid, Masjid, warung Pak Hamidi, rumah Imran dan rumah Haji Nurcahya. Selain di Jogjakarta, pesantren, Bogor, Jakarta, dan lain sebagainya
“Di tanah Jawa, Sembungan adalah kampung yang letaknya paling tinggi. Berjarak kurang lebih dua puluh tujuh kilometer dari kota Wonosobo (Maha Cinta, 2014:20-21)
“Di lereng bukit sebelah sana, di hamparan ladang tembakau yang sangat luas berjajar-jajar dengan sayuran kul dan kentang” (Maha Cinta, 2014:23)
“Tiap malam, usai sholat maghrib, rumah sang kiyai muda ini didatangi oleh kesepuluh murid-muridnya itu” (Maha Cinta, 2014:44-45)
“Masjid menjadi lebih indah bagi mereka, sebab di sana kaum muda itu telah menunggunya” (Maha Cinta, 2014:46)
 “Jelang adzan mghrib, Imran pergi ke warung Pak Hamidi” (Maha Cinta, 2014:86)
“Seperti orang linglung, Imran keluar dari rumah Haji Nurcahya” (Maha Cinta, 2014:98)
“Sesampainya di rumah, didapatinya sang ayah dan ibu belum tertidur”(Maha Cinta, 2014:108)
“Di Jogja seturut dengan nasihat dan pesan Kiyai Yazid Imran memilih tinggal di sebuah pesantren selama ia menjadi mahasiswa” (Maha Cinta, 2014:159)
 “Beratus-ratus kilometer dari rumah mungil nan sederhana itu, di sebuah pelosok-pedalaman kampung di Kabupaten Bogor, seyum Marwa tampak selalu menghias bibir” (Maha Cinta, 2014:194-195)
“Jakarta sangat asing bagi ketiganya, sebab mereka baru tinggal selama tiga hari di sini dan sebelumnya mereka belum pernah datang ke sini” (Maha Cinta, 2014:289)
2.      Latar Waktu
Nurgiyantoro berpendapat (1998:230) berpendapat bahwa latar wakt berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi.
Latar waktu yang digunakan di dalam novel Maha Cinta berikut ini:
“Ketika pagi, sebelum mentari membangunkan daun-daun, awan-awan putih itu muncul  sebagai kabut yang turun dari Puncak Sikunir” (Maha Cinta, 2014:21)
“Tahun 1980, tepatnya bulan Juli di tahun 1980” (Maha Cinta, 2014:22)
“Seandainya hendak mencari keluarga mana yang tak pernah meninggalkan sembahyang fardlu di kala siang” (Maha Cinta, 2014:22)
“Memasuki Maghrib, detak jantung Imran mengencang-kencang” (Maha Cinta, 2014:45)
“Malam itu, setelah pengajian kitab kuning selesai” (Maha Cinta, 2014:48)
“Padahal  malam belum terlaru larut, sedangkan bulan masih enggan meninggalkan ufuk yang tinggi” (Maha Cinta, 2014:59)
“Malam itu, tiga minggu dari restu Kiyai Yazid” (Maha Cinta, 2014:75)
“Memandang gelap, memandang malam” (Maha Cinta, 2014:99)
“Kira-kira malam telah melewati batas waktunya, Imran pulang ke rumahnya” (Maha Cinta, 2014:108)
“Di akhir malam menjelang pagi ini, ia serahkan nasib cintanya kepada-Nya” (Maha Cinta, 2014:113)
“Waktu yang diperlukan Imran adalah tiga hari, persis satu hari sebelum ia akan meninggalkan kampung Sembungan” (Maha Cinta, 2014:138)
“Ia memilih waktu setelah sholat maghrib” (Maha Cinta, 2014:138)
“Seminggu atau dua minggu ia akan meninggalkan Jogjakarta, dan pulang” (Maha Cinta, 2014:160)
“Telah lebih dari tiga tahun Imran hidup di Jogja” (Maha Cinta, 2014:180)
“Malam di rumah orang tua Rowiyatin” (Maha Cinta, 2014:194)
“Sang surya merambat naik, dan dari puncak ketinggian bukit ini” (Maha Cinta, 2014:214)
“Sekitar pukul sembilan pagi, Marwa dan teman-temannya meninggalkan Sembungan” (Maha Cinta, 2014:244)
“Sebenarnya mereka berangkat sore hari” (Maha Cinta, 2014:250)
“Usai sholat maghrib di penginapan, Imran, Zaid. Dan Dewi keluar dari penginapan” (Maha Cinta, 2014:275)
“Di malam kelima sejak kejadiaan itu” (Maha Cinta, 2014:291)
“Suatu siang menjelang sore, saat Imran dan Dewi tengah berjalan menuju pesantren” (Maha Cinta, 2014:299)
“Setelah menjalankan sholat asar, beristirahat cukup” (Maha Cinta, 2014:334)
“Sepanjang siang itu, Haji Nurcahya tidur” (Maha Cinta, 2014:353)
“Pekatnya malam tak sepekat jiwanya” (Maha Cinta, 2014:384)
“Kira-kira malam telah melewati batas waktunya dan kokok ayam jantan bertalu-talu, Imran pulang kerumahnya” (Maha Cinta, 2014:388)
“Hari minggu yang cerah itu, mobil dan motor telah berjajar rapi di tempat kampus” (Maha Cinta, 2014:396)
“Beberapa hari setelah wisuda itu, orang tua Maman benar-benar datang” (Maha Cinta, 2014:412)
“Hari itu tanggal, tanggal 13, Marwa menikah dengan Maman” (Maha Cinta, 2014:421)

3.      Latar Sosial
Nugiyantoro (1998:233) menyatakan bahwa latar sosial adalah hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat, yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, misalnya berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Nurgiyantoro menyatakan bahwa latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
Latar sosial yang diceritakan di dalam novel Maha Cinta adalah masyarakat Jawa, sebuah kampung tepatnya di kota Wonosobo. Di dalam novel ini di jumpai nama-nama Imran, Sirhadi, Muniri, Rowiyatin, Khotibi, yang dianggap sebagai ciri nama orang Jawa.
Dibandingkan dengan kedua latar sebelumnya, latar sosial lebih menonjol dan fungsional di dalam penggarapan novel ini. Ada-istiadat atau kebiasaan yang dianut dan dipercaya masyarakat Jawa, diolah sedemikian rupa di dalam cerita sehingga pembaca mendapat gambaran yang cukup lengkap tentang kehidupan di kampung Sembungan. Tidak itu saja penggambaran latar sosial ini membuat persoalan-persoalan dan pemecahan yang dilakukan terasa lebih logis.
Latar sosial dalam novel Maha Cinta antara lain:
a.       Seorang Anak petani
Seorang anak petani ada dalam tokoh Imran. Imran adalah anak dari Pak Ali dan Bu Ali, yang pekerjaan mereka adalah berladang di lereng-lereng bukit.
“Laki-laki dan perempuan mengisi pagi dengan bekerja di lereng-lereng bukit itu, juga ladang-ladangnya, hingga petang. Seorang pemuda tampak tengah memikul cangkul di pundak kanannya. Bersama dengan kedua orang tuanya, juga para tetangga. Pemuda itu, Imran namanya, lalu memandang ke kejauhan” (Maha Cinta, 2014:23-24)
b.      Seorang Haji
Seorang Haji ada dalam tokoh Haji Nurcahya. Haji adalah sesorang yang sudah pernah naik Haji dan memiliki kekayaan yang melimpah. Semua orang menghormati Haji Nurcahya karena kekayaan yang dimilkinya.
“Kau mungkin belum mengerti betapa kedudukan dan harta itu penting bagi semua orang. Lihatlah rumah Haji Nurcahya. Dia adalah satu-satunya pemilik rumah yang paling besar megah dikampung kita. Mungkin kejam terdengar ditelingamu: barangsiapa memiliki rumah yang paling megah dan paling besar, maka dialah yang paling layak dan paling pantas untuk dihormati dan dipuji” (Maha Cinta, 2014:28)
c.       Seorang Kiyai
Seorang Kiyai ada dalam tokoh Kiyai Yazid. Kiyai Yazid adalah seorang Kiyai yang juga disegani dan dihormati oleh warga, selain Haji Nurcahya. Pikiran-pikiran sang Kiyai luas, hafal al-Qur’an, fasih membaca kitab kuning, ikut thariqoh Naqsabandiyah, dan calon sarjana agama.
“Karenanya, Kiyai Yazid adalah seorang Kiyai yang juga disegani dan dihormati oleh warga, selain Haji Nurcahya. Pikiran-pikiran sang Kiyai luas, hafal al-Qur’an, fasih membaca kitab kuning, ikut thariqoh Naqsabandiyah, dan calon sarjana agama” (Maha Cinta, 2014:44)
d.      Seorang pemilik perusahaan
Seorang pemilik perusahaan ada dalam tokoh Pak Ahmad Soebrata.
“Ahmad Soebrata, walau dia keturunan Tionghoa, tetapi dia seorang muslim. Ia sudah seringkali berangkat ke tanah suci, menjalankan ibadah haji. Ia seorang pemeluk agama yang taat, menempatkan usaha dan pekerjaan sebagai ibadah, selalu berusaha mensucikan harta kekayaan yang dimilikinya, pecinta dan pelindung anak-anak yatim, suka bersedekah, dan sangat tinggi menghargai dan menjujung tinggi kebajikan jiwa” (Maha Cinta, 2014:268)
e.       Seorang anak Kiyai
Seorang anak Kiayi ada dalam tokoh Dewi.
“Dewi itu seorang Hafidzoh, ucap seorang santri tadi sebelum Marwa meninggalkan pesantren. Dia berasal dari Kendal. Hidupnya dari pesantren ke pesantren. Dia putri kiyai ternama. Dia hafal al-Quran” (Maha Cinta, 2014:253)

Post a Comment for "Latar/Setting Novel "Maha Cinta" Karya Aguk Irawan Mizan"