Latar/Setting Novel "Maha Cinta" Karya Aguk Irawan Mizan
Sejalan dengan Abrams, Nugiyantoro menyatakan bahwa
novel sebagai sebuah dunia imajinasi yang tidak hanya membutuhkan tokoh sebagai
penghuni beserta permasalahan yang dihadapinya, tetapi juga membutuhkan ruang,
tempat, dan waktu bagi tokoh tersebut untuk “hidup”. Ruang, tempat, dan waktu
itu dikenal sebagai latar (1998:277).
1.
Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 1998:227). Di dalam Maha Cinta disebutkan secara ekpsplisit
nama tempat, kota, Negara, desa tempat peristiwa-peristiwa berlangsung.
Secara garis besar di dalam Maha Cinta, latar berkisar di dua tempat. Latar pertama, pengarang
menyatakan adanya kampung Sembungan, secara detilnya Lereng bukit, rumah Kiyai
Yazid, Masjid, warung Pak Hamidi, rumah Imran dan rumah Haji Nurcahya. Selain
di Jogjakarta, pesantren, Bogor, Jakarta, dan lain sebagainya
“Di tanah Jawa, Sembungan adalah kampung
yang letaknya paling tinggi. Berjarak kurang lebih dua puluh tujuh kilometer
dari kota Wonosobo (Maha Cinta,
2014:20-21)
“Di lereng bukit sebelah sana, di
hamparan ladang tembakau yang sangat luas berjajar-jajar dengan sayuran kul dan
kentang” (Maha Cinta, 2014:23)
“Tiap malam, usai sholat maghrib, rumah
sang kiyai muda ini didatangi oleh kesepuluh murid-muridnya itu” (Maha Cinta,
2014:44-45)
“Masjid menjadi lebih indah bagi mereka,
sebab di sana kaum muda itu telah menunggunya” (Maha Cinta, 2014:46)
“Jelang adzan mghrib, Imran pergi ke warung
Pak Hamidi” (Maha Cinta, 2014:86)
“Seperti orang linglung, Imran keluar
dari rumah Haji Nurcahya” (Maha Cinta,
2014:98)
“Sesampainya di rumah, didapatinya sang
ayah dan ibu belum tertidur”(Maha Cinta,
2014:108)
“Di Jogja seturut dengan nasihat dan
pesan Kiyai Yazid Imran memilih tinggal di sebuah pesantren selama ia menjadi
mahasiswa” (Maha Cinta, 2014:159)
“Beratus-ratus kilometer dari rumah mungil nan
sederhana itu, di sebuah pelosok-pedalaman kampung di Kabupaten Bogor, seyum
Marwa tampak selalu menghias bibir” (Maha
Cinta, 2014:194-195)
“Jakarta sangat asing bagi ketiganya,
sebab mereka baru tinggal selama tiga hari di sini dan sebelumnya mereka belum
pernah datang ke sini” (Maha Cinta,
2014:289)
2.
Latar Waktu
Nurgiyantoro berpendapat (1998:230) berpendapat
bahwa latar wakt berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi.
Latar waktu yang
digunakan di dalam novel Maha Cinta
berikut ini:
“Ketika pagi, sebelum mentari
membangunkan daun-daun, awan-awan putih itu muncul sebagai kabut yang turun dari Puncak Sikunir” (Maha Cinta, 2014:21)
“Tahun 1980, tepatnya bulan Juli di
tahun 1980” (Maha Cinta, 2014:22)
“Seandainya hendak mencari keluarga mana
yang tak pernah meninggalkan sembahyang fardlu di kala siang” (Maha Cinta, 2014:22)
“Memasuki Maghrib, detak jantung Imran
mengencang-kencang” (Maha Cinta, 2014:45)
“Malam itu, setelah pengajian kitab
kuning selesai” (Maha Cinta, 2014:48)
“Padahal
malam belum terlaru larut, sedangkan bulan masih enggan meninggalkan
ufuk yang tinggi” (Maha Cinta, 2014:59)
“Malam itu, tiga minggu dari restu Kiyai
Yazid” (Maha Cinta, 2014:75)
“Memandang gelap, memandang malam” (Maha Cinta, 2014:99)
“Kira-kira malam telah melewati batas
waktunya, Imran pulang ke rumahnya” (Maha
Cinta, 2014:108)
“Di akhir malam menjelang pagi ini, ia
serahkan nasib cintanya kepada-Nya” (Maha
Cinta, 2014:113)
“Waktu yang diperlukan Imran adalah tiga
hari, persis satu hari sebelum ia akan meninggalkan kampung Sembungan” (Maha Cinta, 2014:138)
“Ia memilih waktu setelah sholat
maghrib” (Maha Cinta, 2014:138)
“Seminggu atau dua minggu ia akan meninggalkan
Jogjakarta, dan pulang” (Maha Cinta,
2014:160)
“Telah lebih dari tiga tahun Imran hidup
di Jogja” (Maha Cinta, 2014:180)
“Malam di rumah orang tua Rowiyatin” (Maha Cinta, 2014:194)
“Sang surya merambat naik, dan dari
puncak ketinggian bukit ini” (Maha Cinta,
2014:214)
“Sekitar pukul sembilan pagi, Marwa dan
teman-temannya meninggalkan Sembungan” (Maha
Cinta, 2014:244)
“Sebenarnya mereka berangkat sore hari” (Maha Cinta, 2014:250)
“Usai sholat maghrib di penginapan,
Imran, Zaid. Dan Dewi keluar dari penginapan” (Maha Cinta, 2014:275)
“Di malam kelima sejak kejadiaan itu” (Maha Cinta, 2014:291)
“Suatu siang menjelang sore, saat Imran
dan Dewi tengah berjalan menuju pesantren”
(Maha Cinta, 2014:299)
“Setelah menjalankan sholat asar,
beristirahat cukup” (Maha Cinta,
2014:334)
“Sepanjang siang itu, Haji Nurcahya
tidur” (Maha Cinta, 2014:353)
“Pekatnya malam tak sepekat jiwanya” (Maha Cinta, 2014:384)
“Kira-kira malam telah melewati batas
waktunya dan kokok ayam jantan bertalu-talu, Imran pulang kerumahnya” (Maha Cinta, 2014:388)
“Hari minggu yang cerah itu, mobil dan
motor telah berjajar rapi di tempat kampus” (Maha
Cinta, 2014:396)
“Beberapa hari setelah wisuda itu, orang
tua Maman benar-benar datang” (Maha
Cinta, 2014:412)
“Hari itu tanggal, tanggal 13, Marwa
menikah dengan Maman” (Maha Cinta,
2014:421)
3.
Latar Sosial
Nugiyantoro (1998:233) menyatakan bahwa latar sosial
adalah hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat, yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, misalnya berupa kebiasaan
hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan
lain-lain yang tergolong latar spiritual. Nurgiyantoro menyatakan bahwa latar
sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
Latar sosial yang diceritakan di dalam novel Maha Cinta adalah masyarakat Jawa,
sebuah kampung tepatnya di kota Wonosobo. Di dalam novel ini di jumpai
nama-nama Imran, Sirhadi, Muniri, Rowiyatin, Khotibi, yang dianggap sebagai
ciri nama orang Jawa.
Dibandingkan dengan kedua latar sebelumnya, latar
sosial lebih menonjol dan fungsional di dalam penggarapan novel ini.
Ada-istiadat atau kebiasaan yang dianut dan dipercaya masyarakat Jawa, diolah
sedemikian rupa di dalam cerita sehingga pembaca mendapat gambaran yang cukup
lengkap tentang kehidupan di kampung Sembungan. Tidak itu saja penggambaran
latar sosial ini membuat persoalan-persoalan dan pemecahan yang dilakukan
terasa lebih logis.
Latar sosial dalam
novel Maha Cinta antara lain:
a. Seorang
Anak petani
Seorang anak petani ada dalam tokoh Imran. Imran
adalah anak dari Pak Ali dan Bu Ali, yang pekerjaan mereka adalah berladang di
lereng-lereng bukit.
“Laki-laki dan perempuan mengisi pagi
dengan bekerja di lereng-lereng bukit itu, juga ladang-ladangnya, hingga
petang. Seorang pemuda tampak tengah memikul cangkul di pundak kanannya.
Bersama dengan kedua orang tuanya, juga para tetangga. Pemuda itu, Imran
namanya, lalu memandang ke kejauhan” (Maha
Cinta, 2014:23-24)
b. Seorang
Haji
Seorang Haji ada dalam tokoh Haji Nurcahya. Haji
adalah sesorang yang sudah pernah naik Haji dan memiliki kekayaan yang
melimpah. Semua orang menghormati Haji Nurcahya karena kekayaan yang
dimilkinya.
“Kau mungkin
belum mengerti betapa kedudukan dan harta itu penting bagi semua orang.
Lihatlah rumah Haji Nurcahya. Dia adalah satu-satunya pemilik rumah yang paling
besar megah dikampung kita. Mungkin kejam terdengar ditelingamu: barangsiapa
memiliki rumah yang paling megah dan paling besar, maka dialah yang paling
layak dan paling pantas untuk dihormati dan dipuji” (Maha Cinta, 2014:28)
c. Seorang
Kiyai
Seorang Kiyai ada dalam tokoh Kiyai Yazid. Kiyai
Yazid adalah seorang Kiyai yang juga disegani dan dihormati oleh warga, selain
Haji Nurcahya. Pikiran-pikiran sang Kiyai luas, hafal al-Qur’an, fasih membaca
kitab kuning, ikut thariqoh Naqsabandiyah, dan calon sarjana agama.
“Karenanya, Kiyai Yazid adalah seorang
Kiyai yang juga disegani dan dihormati oleh warga, selain Haji Nurcahya.
Pikiran-pikiran sang Kiyai luas, hafal al-Qur’an, fasih membaca kitab kuning,
ikut thariqoh Naqsabandiyah, dan calon sarjana agama” (Maha Cinta, 2014:44)
d. Seorang
pemilik perusahaan
Seorang pemilik
perusahaan ada dalam tokoh Pak Ahmad Soebrata.
“Ahmad Soebrata, walau dia keturunan
Tionghoa, tetapi dia seorang muslim. Ia sudah seringkali berangkat ke tanah
suci, menjalankan ibadah haji. Ia seorang pemeluk agama yang taat, menempatkan
usaha dan pekerjaan sebagai ibadah, selalu berusaha mensucikan harta kekayaan
yang dimilikinya, pecinta dan pelindung anak-anak yatim, suka bersedekah, dan
sangat tinggi menghargai dan menjujung tinggi kebajikan jiwa” (Maha Cinta, 2014:268)
e. Seorang
anak Kiyai
Seorang
anak Kiayi ada dalam tokoh Dewi.
“Dewi itu seorang Hafidzoh, ucap seorang
santri tadi sebelum Marwa meninggalkan pesantren. Dia berasal dari Kendal.
Hidupnya dari pesantren ke pesantren. Dia putri kiyai ternama. Dia hafal
al-Quran” (Maha Cinta, 2014:253)
Post a Comment for "Latar/Setting Novel "Maha Cinta" Karya Aguk Irawan Mizan"