Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENTINGNYA SILATURRAHIM DENGAN KARIB KERABAT

   Istilah silahturrahim (shillatu ar-rahimi) terdiri dari dua kata: Shillah (hubungan, sambungan) dan rahim (peranakan). Istilah ini adalah sebuah simbol dari hubungan baik penuh kasih sayang antara sesama karib kerabat yang asal usulnya berasal dari satu rahim. Dikatakan simbol karena rahim (peranakan) secara materi tidak bisa disambung atau dihubungkan dengan rahim lain. Rahim yang dimaksud disini adalah qarabah atau nasab yang disatukan oleh rahim ibu. Hubungan antara satu sama lain diikat dengan hubungan rahim.

            Dalam bahasa Indonesia sehari-hari juga dikenal dengan istilah silaturrahmi (shillatu ar-rahmi) dengan pengertian yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada hubungan kasih sayang antara sesama karib kerabat, tetapi juga mencakup masyarakat yang lebih luas. Dari segi bahasa, istilah tersebut tidak salah, karena rahmi juga berarti kasih sayang. Jadi silahturrahmi berarti menghubungankan tali kasih sayang antara sesama anggota masyarakat. Tetapi silaturrahim yang kita maksudkan dalam fasal ini adalah hubungan kasih sayang yang terbatas pada hubungan dalam sebuah keluarga besar atau qarabah.
            Keluarga dalam konsep Islam bukanlah keluarga kecil seperti konsep Barat (nuclear family) yang terdiri dari bapak, ibu dan anak, tetapi keluarga besar; melebar ke atas, ke bawah dan ke samping. Disamping anggota inti keluarga (bapak, ibu dan anak) juga mencakup kakek, nenek, cucu, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu dan lain-lain seterusnya. Yang lebih dekat hubungan dengan keluarga inti disebut keluarga dekat dan yang lebih jauh disebut keluarga jauh. Keluarga besar itulah yang disebut oleh Al-Qur’an dengan dzawi al-qurba (QS. Al-Baqarah 2:83), ulu al-qurba (QS. An-Nisa’ 4:8) atau ulu al-arham (QS. Al-Anfal 8:75)
            Hubungan kasih sayang harus dijaga dan dibina sebaik-baiknya dengan seluruh anggota keluarga besar itu. Allah SWT berfirman:


                Memelihara hubungan baik sesama anggota keluarga atau menjaga silaturrahim dimasukkan oleh Allah SWT menjadi salah satu sifat orang-orang yang mempunyai amal mulia. Firma-Nya:
Dalam tiga fasal sebelumnya sudah dibahas hubungan anak dengan orang tua, hubungan suami istri, dan hubungan orang tua dengan anak, maka dalam fasal ini kita hanya membahas hubungan seseorang dengan keluarga yang lain, baik ke atas, ke bawah maupun kesamping.
Secara prinsip seorang Muslim harus bersikap kepada karib kerabatnya yang lain sebagaimana dia bersikap kepada ibu bapak anak dan saudara-saudaranya. Bibi diperlukan seperti ibu, paman seperti bapak. Demikian juga hubungan saudara adik kakak. Yang lebih tua bersikap kepada yang lebih muda seperti orang tua kepada anak, dan yang lebih muda kepada yang lebih tua seperti anak kepada orang tua. Yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua. Begitu seterusnya secara melebar, dengan cucu, sepupu dan keponakan.

Bentuk-Bentuk  Silaturrahim
            Silaturrahim secara kongkrit dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain:
1.    Berbuat baik (ihsan) terutama dengan memberikan bantuan materiil untuk memenuhi kebutuhan hidupanya. Allah SWT meletakkan ihsan kepada dzawi al-qurba nomor dua setelah ihsan kepada ibu bapak. Firman-Nya:


Dzawi al-qurba harus diprioritaskan untuk dibantu, dibanding dengan pihak-pihak lain (yatim, miskin, ibnu sabil dan lain-lain), lebih-lebih lagi bila karib kerabat itu juga miskin atau yatim. Jangan sampai terjadi, seseorang bersikap pemurah kepada orang lain tetapi kikir kepada karib kerabatnya sendiri. Padahal bersedekalah kepada karib kerabatnya bermakna ganda; sedekah dan silaturrahim, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw:



Diriwayatkan oleh Anas ra, bahwa Abu Thalhah, pemilik kebun korma terbanyak di antara sahabat-sahabat Anshar, setalah mendengarkan firman Allah: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai...” (QS. Al ‘Imran 3:92), bermaksud menyedekahkan kebun korma yang paling disayanginya, yang terkenal dengan nama Bairaha. Kebun itu terletak di depan Masjid Nabi. Rasulullah saw sering masuk kebun itu dan minum air sumurnya yang segar. Tatkala niat itu disampaikan kepada Rasulullah saw, beliau menyarankan untuk diserahkan kepada karib kerabatnya.
Diriwayatkan dari Zainab ats-Tsaqafiyah RA, istri ‘Abdullah ibn Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bersedekahlah bahwa kalian wahai para wanita walau dengan perhiasan kalian.” Zainab menyatakan kepada suaminya: “ Engkau laki-laki miskin. Rasulullah saw menyuruh kami bersedekah, tanyakanlah kepada beliau apakah ada pahalanya kalau saya bersedekah kepada engkau. Kalau tidak saya berikan kepada orang lain.” Abdullah menjawab: “ Engkau lha yang menanyakannya sendiri kepada beliau”. Waktu Zainab pergi bertanya kerumah Rasulullah saw, di depan pintu rumah beliau juga ada seorang perempuan Anshar ingin menanyakan hal yang sama. Melalui Bilal, Rasulullah saw menjawab:



2.    Membagi sebagian dari harta warisan kepada karib kerabat yang hadir waktu pembagian, tetpi tidak mendapatkan bagian karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak (makjub). Allah SWT berfirman:



Misalnya, paman tidak mendapatkan warisan karena ada anak laki-laki. Kalau waktu pembagian warisan paman hadir, maka dianjurkan untuk memberikan sekedarnya dari harta warisan itu. Ini tentu dimaksudkan untuk menjaga atau mempererat hubungan persaudaraan antara sesama karib kerabat.
3.    Memelihara dan meningkatkan rasa kasih sayang sesama kerabat dengan sikap saling kenal-mengenal, hormat-menghormati, bertukar salam, kunjung mengunjungi, surat menyurat, bertukar hadiah, jenguk menjenguk, bantu membantu dan bekerja sama menyelenggarakan walimahan dan lain-lain yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan persaudaraan. Rasulullah saw bahkan pernah memerintahkan kepada para sahabat untuk mengetahui selisih (garis keturunan) untuk silaturrahim. Beliau bersabda:




Manfaat Silaturrahim
            Disamping meningkatkan hubungan persaudaraan antara sesama karib kerabat, silaturrahim juga memberikan manfaat lain yang besar baik di dunia mapun di akhirat. Antara lain:
1.    Mendapatkan rahmat, nikmat dan ihsan dari Allah SWT
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw menggambarkan secara metaforis dialog Allah SWT dengan rahim. Sabda beliau:



Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda:



            Menurut para ulama, hakikat dari silaturrahim adalah al-‘athfu wa ar-rahmah (lemah lebut dan kasih sayang). Dan shillatullah dengan hamba-hamba-Nya berarti ‘athfu dan rahmah Allah kepada hamba-hamba-Nya. ‘Athfullah berarti ihsan dan nikmat-Nya. Dengan demikian orang-orang yang melakukan silaturrahim akan mendapatkan rahmat, nikmat dan ihsan dari Allah SWT.
           
2.    Masuk surga dan jauh dari neraka
Secara khusus disebut oleh Rasulullah saw bahwa sesudah beberapa amalan pokok, silahturrahim dapat mengantarkan seseorang ke surga dan menjauhkannya dari neraka:

3.    Lapangan rezeki dan panjang umur
Secara lebih konkret Rasulullah saw menjajikan rezeki yang lapang dan umur yang panjang bagi orang-orang yang melakukan silaturrahim. Beliau bersabda:


Dilapangan rezeki dapat dipahami secara obyektif. Karena salah satu modal untuk mendapatkan rezeki adalah hubungan baik dengan sesama manusia. Peluang-peluang bisnis misalnya akan terbuka dari banyaknya hubungan kita dengan masyarakat luas. Bahkan dalam zaman sekarang kepercayaan rekanan bisnis lebih diutamakan dari modal besar sekalipun. Banyak orang berdagang tanpa modal kecuali kepercayaan. Logikanya, seorang yang tidak mampu membina hubungan baik dengan karib kerabatnya sendiri, bagaimana bisa dipercaya dapat berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas. Dari konteks inilah kita dapat memahami hadits Rasulullah saw di atas.
Sedangkan panjang umur bisa dalam pengertian yang sebenarnya yaitu ditambah umurnya dari yang sudah ditentukan; atau dalam pengertian simbolis, menunjukan umur yang mendapat taufiq dari Allah sehingga berkah dan bermanfaat bagi umat manusia sehingga namanya abadi, dikenang sampai waktu yang lama. Penulis lebih cenderung kepada kemungkinan yang kedua, walau yang pertama bisa saja terjadi kalau Allah menghendaki, sebab sekalipun Allah telah menetapkan bahwa ajal tidak bisa dimajumundurkan, tetapi bisa saja ajal itu ditetapkan oleh Allah tidak secara mutlak, tetapi mengkaitkanya dengan amalan tertentu. Misalkan Allah menetapkan, Kalau si Fulan melakukan ini umurnya sekian, kalau tidak umurnya sekian. Kalaupun mungkin demikian, tapi pengertian yang kedua lebih mudah diterima dan dapat dibuktikan dengan jelas. Apabila seseorang mempunyai hubungan yang baik dengan sanak saudaranya maka sekalipun dia sudah meninggal, namanya akan selalu dikenang. Apalagi kalau dia meninggal shadaqah jariah atau hasil karya yang tidak saja bermanfaat bagi sanak familinya tetapi juga bagi umat manusia secara luas. Imam syafa’i misalnya sudah berapa ratus tahun yang lalu meninggal dunia, tetapi berkat jasa-jasanya, sampai hari ini namanya masih abadi dalam hati kaum Muslimin diseluruh dunia. Begitu juga imam-imam dan para ulama yang lainya. Tetapi kalau seseorang tidak mempunyai hubungan yang baik semasa hidupnya dan tidak pula punya jasa yang patut dikenang, belum lama meninggal dunia sudah dilupakan. Bahkan ada yang dikira sudah meninggal padahal masih hidup.
Demikianlah beberapa manfaat silahturrahim yang akan didapatkan baik didunia maupun di akhirat nanti.
Memutuskan Silahturrahim
            Disamping mendorong untuk melakukan silaturrahim, Islam juga mengingatkan secara tegas bahkan mengancam dengan dosa yang besar orang-orang yang memutuskan silaturrahim (qathi’ah ar-rahim). Berikut ini beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah yang mencela qathiah ar-rahim:


            Di atas sudah dijelaskan bahwa silahturrahim dilaksanakan antara lain dengan berbuat ihsan, seperti membagi sebagian dari harta waris kepada karib kerabat yang tidak mendapat bagian karena haknya terhalang, dan membina hubungan persaudaraan dan kasih sayang dengan saling kenal mengenal, kunjung mengunjungi, tolong menolong dan lain-lain sebagainya. Maka orang-orang yang tidak melakukan hal-hal yang demikian bisa diartikan telah memutuskan hubungan kekeluargaan atau memutuskan silahturrahim. Tentu tingkatan pemutusan itu berbeda-beda, ada yang masih dalam tingkat yang ringan, ada yang sedang dan ada yang sudah sampai ketingkat yang lebih berat. Ringan beratnya tingkat pemutusan silahturrahim tergantung kepada tingkat ketidakpedulian seseorang dengan karib kerabatnya.
            Yang lebih parah lagi, kalau qathiah ar-rahim itu sampai ketingkat tidak saling tegur sapa bahkan permusuhan. Kita kemukakan dua ilustrasi contoh qathiah ar-rahim; yang pertama disengaja dan yang kedua tidak sengaja (hanya karena niat baik semata). Pertama bila seorang janda dendam dengan mantan suaminya yang menceraikannya dan meninggalkan anaknya dengan tidak bertanggung jawab sama sekali, maka setelah anak itu dibesarkan dan didiknya sehingga menjadi orang yang sukses, dia melarang anaknya membantu bapaknya, bahkan melarangnya berhubungan sama sekali. Si Janda tadi telah melakukan tindakan yang fatal didorong oleh dendamnya. Dia harus menyadari antara suami istri boleh berpisah tapi antara anak dan orang tua tidak ada istilah pisah. Kedua, seorang tua angkat merahasiakan siapa orang tua kandung anak angkatnya, tidak hanya pada waktu anak-anak saja, tetapi juga dirahasiakan sampai anak itu sudah dewasa. Tindakan seperti ini menghalangi anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Tindakan yang kedua inipun tetap tercela walaupun dengan maksud baik, yaitu tidak ingin menjadikan anak kecewa setelah dia tahu siapa orang tua kandungnya yang sebenarnya.
            Demikianlah bagaimana akhlak seorang Muslim dengan karib kerabatnya yang dapat kita simpulkan dalam satu kalimat yaitu Silaturrahim.

Post a Comment for "PENTINGNYA SILATURRAHIM DENGAN KARIB KERABAT"