Nilai Religius Landasan Teori
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS
Pada bab ini dikemukakan tinjauan
pustaka dan kajian teoretis. Tinjauan pustaka memuat beberapa kajian buku dan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti oleh penulis, sedangkan kajian teori berisi berbagai
teori yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti oleh penulis.
A. Tinjauan
Pustaka
Banyak buku yang membahas unsur intrinsik novel, unsur
ekstrinsik berupa nilai religius dalam novel, dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Dalam kajian pustaka ini, penulis menyajikan beberapa buku
yang dijadikan acuan penelitian ini. Setiap buku diklasifikasikan berdasarkan
jenis pembahasannya, selanjutnya dikelompokkan dengan buku-buku lainnya yang
sejenis. Selain itu, disajikan pula beberapa hasil penelitian yang ada
kaitannya dengan penelitian ini.
1. Beberapa
Kajian Buku
Buku yang digunakan sebagai acuan unsur intrinsik novel,
yaitu buku yang berjudul Teori Pengkajian
Fiksi (Burhan Nurgiyantoro, 2005). Buku ini membahas: (1) fiksi, (2) kajian
fiksi, (3) tema, (4) cerita, (5) pemplotan, (6) penokohan, (7) pelataran, (8)
penyudutpandangan, (9) bahasa, dan (10) moral. Permasalahan yang sama dapat
dibaca pula pada buku Teori Fiksi
(Robert Stanton, 2012). Buku ini membahas: (1) fiksi, (2) membaca, (3) cerpen,
(4) novel, (5) tipe-tipe fiksi, dan (6) menulis makalah kritik sastra. Selain
itu, dapat dibaca pula pada buku Apresiasi
Prosa Fiksi Indonesia (Nurhayati, 2013). Buku ini membahas: (1) apresiasi
prosa fiksi dan (2) sejarah singkat perkembangan prosa fiksi Indonesia.
Selanjutnya, dapat dibaca pula pada buku Pengantar
Apresiasi Prosa (Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, 2010). Buku ini
membahas: (1) batasan cerpen, (2) langkah-langkah analisis cerpen, (3) perihal
novel, dan (4) menilai cerita rekaan. Acuan lainnya dapat ditemukan dalam buku Pengantar Ringkas Teori Sastra (Nurhayati,
2012). Buku ini membahas: (1) sastra dan ilmu sastra, dan (2) teori sastra.
Selain itu, dapat dibaca pula pada buku Memahami
Cerita Rekaan (Panuti Sudjiman, 1988). Buku ini membahas: (1) pengkajian
cerita rekaan, (2) tokoh dan penokohan dalam cerita rekaan, (3) alur cerita
rekaan, (4) latar dalam cerita rekaan, (5) tema dan amanat cerita rekaan, dan
sebagainya.
Buku yang digunakan sebagai acuan unsur ekstrinsik novel
yang berupa nilai religius, yaitu buku yang berjudul Pendidikan Agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2013). Buku ini
membahas: (1) manusia dan agama, (2) agama Islam, (3) sumber agama dan ajaran
Islam, (4) kerangka dasar agama dan ajaran Islam, (5) akidah, (6) syari’ah/
syari’at, (7) akhlak, (8) takwa, dan (9) Islam dan ilmu pengetahuan.
Permasalahan yang sama dapat dibaca pula pada buku Kuliah Fiqh Ibadah (Syakir Jamaluddin, 2011). Buku ini membahas: (1)
pendahuluan tentang fiqh, (2) pengantar ibadah, (3) thaharah, (4) shalat, (5)
zakat, (6) puasa, dan (7) haji. Kemudian, dapat dibaca pula pada buku Kuliah Aqidah Islam (Yunahar Ilyas,
2010). Buku ini membahas: (1) pendahuluan aqidah, (2) Allah Swt. (3) Malaikat,
dan sebagainya. Selanjutnya, dapat dibaca pula pada buku Sastra dan Religiositas (Y. B. Mangunwijaya, 1988). Buku ini
membahas: (1) pada awal mula sastra; (2) linaksanan; (3) zaman poros, kitab dan
pembebasan sastra; (4) yang kudus, yang profane; (5) mitologi, epos, dan roman;
(6) dari belenggu sampai telegram; dan sebagainya. Selain itu,
dapat dibaca pula pada buku Religiusitas
Perguruan Tinggi (Asmaun Sahlan, 2012). Buku ini membahas: (1)
reaktualisasi peran perguruan tinggi, (2) hakikat pembelajaran di perguruan
tinggi, (3) proses terbentuknya budaya religius, (4) problematika perwujudan
budaya religius di perguruan tinggi, dan sebagainya.
Buku yang digunakan sebagai acuan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yaitu buku Strategi
Belajar Mengajar (Hamdani, 2011). Buku ini membahas: (1) pengertian dan
tujuan strategi belajar mengajar, (2) hakikat sistem pengembangan belajar
mengajar, (3) model pengembangan sistem instruksional, (4) rencana
pengembangan, tujuan, dan bahan pengajaran, dan sebagainya. Permasalahan yang
sama dapat dibaca pula pada buku Sistem
Membaca Pemahaman yang Efektif (Sukirno, 2009). Buku ini membahas: (1)
hakikat membaca, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca, (3)
pembelajaran membaca pemahaman, (4) pemilihan teks bacaan, (5) pelaksanaan
pembelajaran membaca, dan sebagainya. Acuan lainnya dapat pula dibaca pada buku
KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual (Masnur Muslich, 2007). Buku ini membahas: (1) dasar-dasar
pemahaman pembelajaran pembelajaran berbasis kompetensi, (2) dasar-dasar
pemahaman pembelajaran pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, (3)
perencanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual, (4)
penilaian pembelajaran berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual, dan
sebagainya. Selain itu, dapat pula dibaca pada buku Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Rusman,
2014). Buku ini membahas: (1) pendahuluan, (2) standar proses satuan
pendidikan, (3) menjadi guru professional, (4) model-model pembelajaran, dan
sebagainya. Selanjutnya, dapat pula dibaca pada buku Evaluasi Pembelajaran (Sutaryat Trisnamansyah, 2015). Buku ini
membahas: (1) konsep dan peranan evaluasi pembelajaran, (2) kerangka dasar dan
ruang lingkup evaluasi pembelajran, (3) pendekatan model evaluasi pembelajaran,
dan sebagainya. Selain itu, dapat pula dibaca pada buku Didaktik-metodik (Abu Ahmadi, 1978). Buku ini membahas: (1)
mengajar dan belajar, (2) tujuan pengajaran, (3) bahan pengajaran, (4)
didaktik-metodik mengajar, dan sebagainya.
2. Beberapa
Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian ini penulis mencoba menggali dan
memahami beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berhubungan
dengan permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian yang berhubungan dengan nilai
religius sudah banyak dilakukan, misal oleh Rizkyana (2014) dan Jayanti (2015).
Rizkyana (2014) meneliti dengan judul “Nilai Religius Novel Cinta Suci Zahrana Karya Habiburahman El
Shirazy dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”. Dalam penelitiannya
tersebut, Rizkyana menyimpulkan bahwa tema, tokoh dan penokohan, alur, dan
latar tidak ada yang bertentangan dengan nilai religius yang terkandung di
dalam novel tersebut. Nilai religius novel tersebut mencakup 2 aspek, yaitu:
(a) hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi: menutup aurat, membaca Al-Quran,
salat berjamaah, melaksanakan salat, jujur, keikhlasan, sabar, perintah
menuntut ilmu; dan (b) hubungan manusia dengan manusia, meliputi: tolong-menolong
dan memberi salam. Nilai religius tersebut dikemas dalam cerita yang bernilai
estetis dan tidak bersifat menggurui. Skenario pembelajaran nilai religius pada
novel tersebut terdiri dari enam langkah, yaitu: (a) kegiatan awal, (b)
kegiatan inti, (c) eksplorasi, (d) elaborasi, (e) konfirmasi, dan (f) kegiatan
akhir. Evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran novel tersebut secara
tertulis dengan menggunakan tes esai.
Ada persamaan antara penelitian Rizkyana dengan penelitian penulis,
yaitu sama-sama mengkaji novel dari segi nilai religiusnya dan evaluasi yang
digunakan dalam pembelajaran secara tertulis sama-sama menggunakan tes esai.
Namun, ada pula perbedaannya, yaitu terletak pada judul novelnya. Judul novel
dalam penelitian Rizkyana yaitu Cinta
Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy, sedangkan judul novel dalam
penelitian penulis yaitu Bait-bait
Multazam karya Abidah El Khalieqy. Perbedaan lainnya yaitu Rizkyana
membatasi nilai religius, meliputi hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan
manusia dengan manusia, sedangkan penelitian penulis mencakup kedua hubungan
tersebut, ditambahkan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan
manusia dengan alam.
Jayanti (2015) meneliti dengan judul “Nilai Religius Novel Badai Matahari Andalusia Karya Hary El
Parsia dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”. Dalam penelitiannya
tersebut, Jayanti menyimpulkan bahwa unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut antara lain: (a) tema, (b) tokoh, (c)
alur, dan (d) latar. Nilai religius novel tersebut mencakup tiga aspek, yaitu:
(a) hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi: menutup aurat, membaca al-Quran,
melaksanakan salat, bersyukur, dan sabar; (b) hubungan manusia dengan manusia,
meliputi: tolong menolong dan memberi salam; dan (c) hubungan manusia dengan
alam sekitar, meliputi: mengagumi keindahan dan keagungan ciptaan Tuhan. Nilai
religius tersebut dikemas dalam cerita yang bernilai estetis dan tidak bersifat
menggurui. Skenario pembelajaran nilai religius pada novel tersebut terdiri
dari enam langkah, yaitu (a) kegiatan awal, (b) kegiatan inti, (c) eksplorasi,
(d) elaborasi, (e) konfirmasi, dan (f) kegiatan akhir. Evaluasi yang digunakan
dalam pembelajaran novel tersebut secara tertulis dengan menggunakan tes esai.
Ada persamaan antara penelitian Jayanti dengan penelitian penulis
yaitu sama-sama mengkaji novel dari segi nilai religiusnya dan evaluasi yang
digunakan dalam pembelajaran secara tertulis sama-sama menggunakan tes esai.
Namun, ada pula perbedaannya, yaitu terletak pada judul novelnya. Judul novel
dalam penelitian Jayanti yaitu Badai
Matahari Andalusia karya Hary El Parsia, sedangkan judul novel dalam
penelitian penulis yaitu Bait-bait
Multazam karya Abidah El Khalieqy. Perbedaan lainnya yaitu Jayanti
membatasi nilai religius, meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam, sedangkan penelitian penulis
mencakup ketiga hubungan tersebut dan ditambahkan dengan hubungan manusia
dengan diri sendiri.
Beberapa buku dan hasil penelitian tersebut di atas merupakan suatu
sumbangan pemikiran yang sangat berharga. Kebanggaan dan penghargaan yang
tinggi penulis berikan kepadanya. Namun, di sisi lain, penulis belum menemukan
hasil penelitian yang mengkaji nilai religius pada novel Bait-bait Multazam karya Abidah El Khalieqy. Oleh karena itu, penulis
akan melakukan penelitian mengenai nilai religius pada novel Bait-bait Multazam karya Abidah El
Khalieqy untuk
melengkapi penelitian terdahulu.
B. Kajian
Teoretis
Dalam kajian teoretis ini dibahas: (1) hakikat novel
sebagai karya sastra, (2) unsur intrinsik novel, (3) nilai religius dalam karya
sastra, dan (4) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
1. Hakikat
Novel sebagai Karya Sastra
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen
kehidupan manusia. Novel mengandung konflik-konflik yang akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup para pelakunya (Nurhayati, 2013: 7).
Novel atau karya fiksi berisi berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya
dengan dirinya sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Novel bersifat rekaan
atau cerita khayalan. Meskipun berupa khayalan, tidak benar jika novel dianggap
sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara
intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab (Nurgiyantoro, 2005: 3). Selain
pendapat Nurgiyantoro dan Nurhayati, ada juga pendapat Santosa dan
Wahyuningtyas mengenai novel. Santosa dan Wahyuningtyas (2010: 47) mengungkapkan
bahwa novel merupakan cerita rekaan yang menyajikan tentang aspek kehidupan
manusia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel
adalah karya sastra fiksi atau khayal berbentuk naratif yang di dalamnya
menceritakan tentang kehidupan manusia. Novel merupakan hasil penghayatan dan
perenungan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab oleh pengarang terhadap
hakikat hidup dan kehidupan. Novel berisi berbagai masalah kehidupan, seperti manusia
dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan sesama, dengan diri sendiri serta
interaksinya dengan Tuhan.
2. Unsur
Intrinsik Novel
Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur yang
(secara langsung) turut serta membangun novel atau cerita fiksi itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2005: 23). Unsur-unsur intrinsik novel, antara lain: (a) tema,
(b) tokoh dan penokohan, (c) alur, (d) latar, (e) sudut pandang dan (f) amanat.
a. Tema
Stanton (2012: 36) mengungkapkan bahwa tema
merupakan aspek cerita yang sejajar denga sesuatu yang menjadikan suatu
pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah
kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut,
kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, atau bahkan
usia tua.
Selain itu, ada juga pendapat dari Hartoko dan
Rahmanto. Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro (2005: 68) mengungkapkan
bahwa tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis (menyangkut makna) dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Berdasarkan tingkat keutamaannya, tema digolongkan
menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor merupakan makna pokok
cerita yang tersirat dalam sebagian besar cerita, sedangkan tema minor adalah
makna tambahan yang tersirat pada bagian-bagian tertentu cerita. Makna pokok
cerita bersifat merangkum berbagai makna tambahan yang terdapat pada karya itu.
Sebaliknya, makna-makna tambahan bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna
pokok cerita (Nurgiyantoro, 2005: 83).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita atau gagasan pokok yang sejajar dengan
makna dari keseluruhan cerita. Ide cerita tersebut bisa berupa pengalaman
manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan
manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua, tergantung dari
cerita yang disajikan. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra, harus
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian
tertentu cerita.
b. Tokoh
dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur
penting dalam novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada pelaku
cerita, sedangkan istilah “penokohan” digunakan untuk melukiskan gambaran yang
jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurhayati, 2013:
16). Selanjutnya , Abrams menyatakan bahwa tokoh
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu cerita atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan
(Nurgiyantoro, 2012: 165).
Dilihat
dari segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan
terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian cerita,
sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek (Nurgiyantoro, 2012: 176).
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan sangat
erat kaitannya. Tokoh adalah pelaku yang terdapat dalam karya sastra, sedangkan
penokohan adalah karakter atau sifat yang dimiliki oleh pelaku dalam karya
sastra.
c. Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah
cerita yang memiliki hubungan kausal. Di dalam rangkaian peristiwa tersebut
terdapat peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai
peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada
keseluruhan cerita (Stanton, 2012: 26). Begitu pula dengan Santoso dan
Wahyuningtyas (2010: 56) yang berpendapat bahwa alur adalah rentetan peristiwa
yang memiliki hubungan sebab-akibat.
Alur sebuah cerita bagaimana pun tentulah mengandung
unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh
karena itu, dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif tentulah ada awal
kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya. Tasrif
dalam Nurgiyantoro (2005: 149-150) membedakan tahapan alur menjadi lima, yaitu
sebagai berikut.
1) Tahap
Situation (Tahap Penyituasian)
Tahap ini adalah tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama
berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
2) Tahap
Generating Circumstances (Tahap
Pemunculan Konflik)
Tahap ini merupakan tahap awal dari munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang
dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
3) Tahap
Rising Action (Tahap Peningkatan
Konflik)
Pada tahap ini, konflik yang telah dimunculkan pada
tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan
menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun
keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan,
masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
4) Tahap
Climax (Tahap Klimaks)
Pada tahap ini, konflik dan atau
pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui, dan atau ditimpakan kepada
para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan
dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadinya konflik utama.
5) Tahap
Denouement (Tahap Penyelesaian)
Pada tahap ini, konflik yang telah mencapai klimaks
diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,
sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan
keluar, cerita diakhiri.
Selain itu, terdapat pembedaan terhadap alur, salah
satunya yaitu pembedaan alur berdasarkan kriteria urutan waktu. Nurgiyantoro
(2005: 153-155) mengungkapkan bahwa urutan waktu yang dimaksud adalah waktu
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang
bersangkutan. Berdasarkan kriteria urutan waktu ini, alur novel dibedakan
menjadi tiga kategori, yaitu alur maju, alur mundur dan alur campuran. Berikut
ini penjabaran dari kedua kategori alur tersebut.
1) Alur
Maju
Alur novel dikatakan maju jika peristiwa-peristiwa
yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh
peristiwa berikutnya. Dengan kata lain, alur novel dikatakan maju jika cerita diceritakan
secara runtut dari awal hingga akhir (penyituasian, pemunculan konflik,
peningkatan konflik, klimaks, baru kemudian penyelesaian).
2) Alur
Mundur (Sorot Balik atau Regresif)
Alur novel dikatakan mundur jika peristiwa-peristiwa
yang diceritakan tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap
awal. Teknik penyorotbalikan peristiwa-peristiwa ke tahap sebelumnya dapat
dilakukan, misalnya dengan pengarang menyuruh tokoh merenung kembali ke masa
lalunya dan menuturkannya kepada tokoh lain.
3) Alur
Campuran
Alur novel dikatakan campuran jika di dalam novel
tersebut terdapat alur maju dan alur mundur. Misalnya, secara garis besar alur
sebuah novel adalah alur maju, tetapi di dalamnya sering terdapat
peristiwa-peristiwa sorot balik (mundur), dan sebaliknya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang menyatakan hubungan sebab akibat.
Alur dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
d. Latar
(Setting)
Pengertian latar atau setting mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurhayati,
2013: 18). Nurgiyantoro (2005: 227-233) membedakan unsur latar ke dalam tiga
unsur pokok, yaitu: (1) latar tempat, yaitu menyatakan lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi, misalnya:
desa, gunung, kota, hotel, rumah, dan sebagainya; (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah
“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi, misalnya: tahun, siang, malam, dan jam; (3) masalah sosial, yaitu menyaran
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi,
misalnya: kebiasaan hidup, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,
dan bersikap.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa latar berhubungan dengan tig
hal, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyatakan lokasi peristiwa, latar
waktu menyatakan “kapan”
terjadinya peristiwa, sedangkan latar sosial menyatakan hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan.
e. Sudut
Pandang (Point of view)
Nurhayati (2012: 33) mengungkapkan bahwa dalam
penyampaian ceritanya, pengarang selalu mengambil posisi dan cerita menurut
sudut pandang (point of view). Sudut
pandang yaitu strategi, teknik, siasat
yang dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya untuk dapat
sampai kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 248). Stanton (2012: 53-54) membagi
sudut pandang menjadi empat tipe, yaitu sebagai berikut.
1) Orang
Pertama sebagai Tokoh Utama (Aku)
Si “aku” mengisahkan berbagai pengalaman yang
dialaminya, baik pengalaman batin, maupun fisik. Keterbatasan tokoh “aku” untuk
menjangkau tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai kelemahan
teknik ini (Nurgiyantoro, 2005: 264).
2) Orang
Pertama sebagai Tokoh Sampingan (Aku)
Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada
pembaca. Setelah itu, tokoh cerita yang dikisahkan oleh tokoh “aku” itu
“dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya (Nurgiyantoro,
2005: 264).
3) Orang
Ketiga sebagai Pencerita Terbatas (Dia)
Pengarang mengacu pada semua tokoh dan
memosisikannya sebagai orang ketiga (dia atau mereka). Namun, tokoh-tokoh
tersebut tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya
tokoh utama. Pengarang fokus menggambarkan apa yang dialami, dirasakan,
dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh “seorang tokoh” saja, yaitu tokoh utama.
Nurgiyantoro (2005: 257) mengungkapkan bahwa dalam adegan percakapan antartokoh,
banyak terdapat penyebutan “aku”, seperti juga “engkau”, sebab tokoh “dia”
tersebut oleh pengarang sedang dibiarkan untuk mengungkapkan apa yang
dipikirkan ataupun dilihat oleh dirinya sendiri.
4) Orang
Ketiga sebagai Pencerita Tidak Terbatas (Dia)
Pengarang mengacu pada setiap tokoh dan
memosisikannya sebagai orang ketiga (dia atau mereka). Pengarang menceritakan
apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh beberapa tokoh seakan-akan
menceritakan peristiwa tanpa kehadiran tokoh.
Dengan demikian, sudut pandang adalah suatu teknik
yang digunakan seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra. Sudut pandang
terdiri atas sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama, orang pertama
sebagai tokoh sampingan, orang ketiga sebagai pencerita terbatas, dan orang
ketiga sebagai pencerita tidak terbatas.
f. Amanat
Sudjiman (1988: 57-58) mengungkapkan bahwa amanat
adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang dalam karya sastra, baik secara
implisit ataupun secara eksplisit. Implisit, jika pesan itu disiratkan dalam tingkah
laku tokoh menjelang cerita berakhir, sedangkan eksplisit, jika pengarang
menyampaikan pesan yang berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu pada
tengah atau akhir cerita.
Selain Sudjiman, ada Nurgiyantoro yang berpendapat
tentang amanat. Nurgiyantoro (2005: 321) juga mengungkapkan bahwa amanat dalam
karya sastra dapat dipandang sebagai pesan, message.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa amanat dalam karya sastra adalah pesan yang ingin disampaikan
pengarang dalam karya sastra tersebut. Amanat dalam karya sastra dapat
disampaikan secara implisit, ataupun secara eksplisit.
3. Nilai
Religius dalam Karya Sastra
Dalam subbab ini dibahas: (1) hakikat nilai religius
dan (2) ruang lingkup nilai religius.
a. Hakikat
Nilai Religius
Awal mulanya, segala sastra adalah religius atau
religiositas. Religiositas berbeda dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi atau yuridis
melalui peraturan dan hukum, keseluruhan organisasi tafsir alkitab dan
sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan, sedangkan religiositas
lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati atau sikap personal yang
sedikit banyak adalah misteri bagi orang lain. Sikap religius, seperti berdiri
khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan,
mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah dan siap mendengarkan sabda
Ilahi dalam hati (Mangunwijaya, 1988: 11-12).
Nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang terdiri
dari tiga unsur pokok, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak yang menjadi pedoman
perilaku sesuai dengan aturan-aturan Ilahi untuk mencapai kesejahteraan serta
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sahlan, 2012: 42). Hal tersebut
sependapat dengan Ali. Ali (2013: 365) mengungkapkan bahwa komponen-komponen
dasar agama Islam yaitu iman (akidah), takwa (syariat/ ibadah), dan budi
pekerti luhur (akhlakul karimah). Religius adalah suatu keadaan yang ada dalam
diri manusia yang mendorong bertingkah laku baik, sesuai ajaran agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari demi memperoleh rida atau perkenan
Tuhannya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa di setiap karya sastra terdapat nilai religius. Nilai
religius mencakup iman, takwa, dan akhlak. Orang yang religius adalah orang
yang bertingkah laku baik, sesuai ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan
sehari-hari demi memperoleh rida atau perkenan Tuhannya.
b. Ruang
Lingkup Nilai Religius
Komponen-komponen dasar nilai religius dalam agama
Islam yaitu iman (akidah), takwa (syariat), dan budi pekerti luhur (akhlakul
karimah). Ilyas (2010: 1)
mengungkapkan bahwa akidah berarti keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di
dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Dalam Islam, orang
yang berakidah atau beriman meliputi orang yang beriman kepada Allah, kepada
malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada nabi dan rasul, kepada hari akhir,
dan kepada takdir Allah.
Hasan
Langgulung dalam Ali (2013: 365) mengungkapkan bahwa takwa adalah kata kunci
untuk memahami sistem nilai (hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan)
dalam Islam. Takwa merupakan kesimpulan semua nilai yang terdapat dalam al-Quran,
dan nilai-nilai dalam al-Quran tersebut dinyatakan sebagai akhlak (budi
pekerti).
Nilai
religius berupa takwa, mencakup segala nilai yang diperlukan manusia untuk
keselamatan dan kebahagiaannya di dunia ini dan di akhirat kelak (Ali, 2013: 365).
Adapun ruang lingkup nilai religius tersebut yaitu sebagai berikut.
1) Hubungan Manusia dengan
Allah
Hubungan
manusia dengan Allah merupakan ruang lingkup yang pertama pada nilai religius. Perintah
Allah itu bermula dari pelaksanaan tugas manusia untuk mengabdi pada-Nya. Hubungan
manusia dengan Allah antara lain: (1) beriman kepada Allah menurut cara-cara
yang diajarkan-Nya sebagai pedoman hidup, (2) beribadah kepada-Nya dengan
melaksanakan salat lima waktu, zakat, puasa, ibadah haji (bagi yang mampu), (3)
mensyukuri nikmat-Nya dengan cara memelihara yang telah diberikan oleh-Nya, (4)
bersabar ketika mendapat ujian, tabah, dan tidak putus asa, (5) memohon ampun
atas segala dosa dan tobat, sadar untuk tidak melakukan lagi perbuatan tercela (Ali,
2013: 368-369).
Selain
Ali, Jamaluddin juga berpendapat mengenai hubungan manusia dengan Allah. Jamaluddin
(2011: 4) mengungkapkan bahwa perkataan dan perbuatan manusia yang berhubungan
langsung dengan Allah, yaitu taharah, salat, zakat, puasa, dan haji.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan
Allah merupakan ruang lingkup nilai religius yang pertama. Perwujudan
hubungan baik manusia dengan Allah antara lain: beriman, beribadah, bersyukur,
bersabar, dan bertobat kepada Allah.
2) Hubungan Manusia dengan
Diri Sendiri
Hubungan
manusia dengan hati nurani atau diri sendiri merupakan ruang lingkup nilai religius
yang kedua. Perwujudan hubungan manusia dengan hati nurani atau diri sendiri, diantaranya
sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri, dan
mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang
baik. Hubungan manusia dengan diri sendiri banyak dicontohkan
oleh Nabi Muhammad saw. (Ali, 2013: 370).
Selain
Ali, ada Gay Hendricks dan Kate Ludeman yang berpendapat mengenai ruang lingkup
nilai religius yang kedua ini. Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Sahlan (2012:
39-40) mengungkapkan bahwa nilai religius yang menunjukkan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri dalam menjalankan tugasnya, diantaranya: jujur, adil,
rendah hati, bekerja efisien (mampu memusatkan semua perhatian pada pekerjaan
saat itu), visi ke depan, disiplin tinggi, dan menjaga keseimbangan hidupnya
(khususnya keintiman, pekerjaan, komunitas, dan spiritualitas).
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan
dirinya sendiri merupakan ruang lingkup kedua dari nilai religius. Ruang
lingkup kedua ini meliputi: sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang
amanah, mawas diri, rendah hati, bekerja efisien, visi ke depan, disiplin
tinggi, dan menjaga keseimbangan hidupnya.
3) Hubungan Manusia dengan
Sesama Manusia
Ruang lingkup nilai religius yang ketiga adalah memelihara
dan membina hubungan baik dengan sesama manusia. Hubungan antarmanusia ini
dapat dibina dan dipelihara, antara lain dengan mengembangkan gaya hidup yang
selaras dengan nilai dan norma yang disepakati bersama dalam masyarakat dan
negara yang sesuai dengan nilai dan norma agama (Ali,
2013: 370).
Perwujudan hubungan manusia dengan manusia lain
dalam masyarakat, diantaranya: (1) tolong menolong, (2)
suka memaafkan kesalahan orang lain, (3) menepati janji, (4) lapang dada, dan (5)
menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain (Ali,
2013: 370). Hubungan manusia dengan sesama manusia bisa tercapai dengan
baik bila masing-masing
individu mampu melaksanakan peraturan yang dibuat bersama.
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan sesama
manusia adalah ruang lingkup yang ketiga dari nilai religius. Ruang lingkup
yang ketiga ini meliputi: tolong menolong, memaafkan kesalahan orang lain,
menepati janji, lapang dada, berlaku adil, dan menegakkan keadilan terhadap
diri sendiri dan orang lain.
4) Hubungan Manusia dengan
Lingkungan Hidup
Hubungan manusia dengan lingkungan hidup merupakan ruang lingkup nilai
religius yang keempat. Hubungan
ini dimaksudkan agar manusia menjaga
segala sesuatu yang telah Allah ciptakan. Perwujudan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya,
diantaranya: memelihara, menyayangi, mencegah
perusakan, dan memelihara keseimbangan dan pelestarian binatang dan tumbuh-tumbuhan,
tanah, air, dan udara, serta semua alam semesta yang sengaja diciptakan Allah
untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya (Ali,
2013: 371).
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan
merupakan ruang lingkup keempat dari nilai religius. Ruang lingkup keempat ini
dimaksudkan agar manusia menjada segala sesuatu yang telah Allah ciptakan.
4. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru
(baik yang menyusun RPP itu sendiri maupun yang bukan) dalam pembelajaran di
kelas (Muslich, 2007: 53). Dengan adanya RPP ini diharapkan pembelajaran bisa
tercapai secara maksimal.
Di dalam RPP terdapat beberapa komponen. Komponen
tersebut antara lain identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi
dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, alokasi waktu, metode pembelajaran, model pembelajaran, langkah-langkah
kegiatan pembelajaran, alat belajar, sumber belajar, dan evaluasi pembelajaran.
Berikut ini akan diuraikan masing-masing komponen RPP tersebut.
a. Identitas
Mata Pelajaran
Identitas mata pelajaran, meliputi satuan
pendidikan, kelas, semester, dan mata pelajaran. Selain itu, dapat pula
ditambahkan dengan program keahlian dan jumlah pertemuan (Rusman, 2014: 5).
b. Standar
Kompetensi
Standar kompetensi adalah batas dan arah kemampuan
yang harus dimiliki oleh peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran
mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi berguna untuk memandu guru atau
pengembang silabus dalam menjabarkan kompetensi dasar menjadi pengalaman
belajar (Sukirno, 2009: 104).
c. Kompetensi
Dasar
Kompetensi dasar adalah kemampuan hasil belajar yang
harus dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran materi
pokok mata pelajaran tertentu. Cakupan materi pada kompetensi dasar lebih
sempit jika dibandingkan dengan standar kompetensi (Sukirno, 2009: 104).
d. Indikator
Pencapaian Hasil Belajar
Indikator hasil belajar atau indikator kompetensi adalah
perilaku yang dapat diukur untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar
tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian
hasil belajar dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat
diamati dan diukur, mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Rusman,
2014: 6).
e. Tujuan
Pembelajaran
Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil
belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi
dasar (Rusman, 2014: 6). Rumusan tujuan pembelajaran mengacu pada indikator
pencapaian hasil belajar.
f. Materi
Pembelajaran
Materi pembelajaran memuat pengertian konseptual,
gugus isi atau konteks, proses, bidang ajar, pokok bahasan, dan keterampilan (Sukirno,
2009: 106). Materi pembelajaran ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan
rumusan indikator pencapaian hasil belajar.
g. Alokasi
Waktu
Alokasi waktu digunakan untuk menentukan berapa lama
pembelajaran kompetensi dasar itu dapat terselesaikan. Alokasi waktu bergantung
pada panjang/pendek, atau luas/sempit, atau mudah/sukarnya kompetensi dasar
yang ingin dicapai (Sukirno, 2009: 103-104).
h. Metode
Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mencapai
kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan (Rusman,
2014: 6). Metode yang dapat digunakan untuk pembelajaran sastra antara lain: ceramah,
tanya jawab, diskusi, dan pemberian tugas. Keempat metode tersebut akan saling
menunjang dan melengkapi dalam pembelajaran sastra.
1) Ceramah
Metode ceramah dilaksanakan dengan penjelasan
konsep, prinsip, dan fakta oleh guru di hadapan siswa-siswanya yang ditutup
dengan tanya jawab antara guru dan siswa (Hamdani, 2011: 156). Metode ini
digunakan jika pelajaran tersebut banyak mengandung informasi atau bahan-bahan
yang memerlukan penjelasan guru. Melalui ceramah, guru dapat mengawasi atau
melihat sejumlah anak secara menyeluruh dan dapat memberi pelajaran yang sama
kepada siswa di kelas.
2) Tanya
Jawab
Metode tanya jawab merupakan suatu cara penyajian
bahan pelajaran melalui berbagai bentuk pertanyaan yang dijawab oleh siswa.
Tanya jawab ini dapat dilakukan pada awal, tengah-tengah, atau pada akhir
kegiatan belajar mengajar untuk mengetahui sejauh mana bahan pelajaran yang
sedang atau telah dibahas itu dipahami siswa (Hamdani, 2011: 275).
3) Diskusi
Metode diskusi merupakan interaksi antarsiswa atau
interaksi siswa dengan guru dalam rangka menyatukan pendapat dengan cara
mufakat atau musyawarah tentang topik atau permasalahan tertentu (Hamdani,
2011: 159). Dalam metode ini, semua siswa diajak aktif berpikir untuk
membicarakan pemecahan sesuatu soal secara gotong royong. Pemecahan tersebut
nantinya membutuhkan dan meminta persetujuan dari gurunya.
4) Pemberian
Tugas
Pelaksanaan metode pemberian tugas ini yaitu guru
memberi tugas-tugas berupa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh
murid-murid. Tugas yang diberikan hendaknya jelas dan tegas merangsang siswa.
Hasil dari pekerjaan tersebut kemudian dipertanggungjawabkan kepada guru pada
hari-hari berikutnya (Ahmadi, 1978: 100).
i. Model
Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau
pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran
jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing
pembelajaran di kelas agar tujuan yang telah disusun bisa tercapai secara
optimal (Rusman, 2014: 133). Penulis melakukan penelitian menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Investigasi kelompok (Group Investigation). Perencanaan dengan tipe Investigasi kelompok
(Group Investigation) adalah kelompok
yang dibentuk oleh siswa itu sendiri dengan anggota 2-6 orang, tiap kelompok
bebas memilih topik dari keseluruhan materi yang akan diajarkan, dan membuat
laporan kelompok. Selanjutnya, setiap kelompok mempresentasikan hasil laporan
kepada seluruh kelas, untuk saling tukar pendapat dan informasi tentang hasil
laporan masing-masing kelompok (Rusman, 2012: 220).
1)
Langkah-langkah Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Group
Investigation
Rusman
(2012: 223), mengemukakan bahwa model pembelajaran
kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika
siswa mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, langkah-langkah
pembelajarannya adalah:
a.
membagi siswa ke dalam kelompok kecil
yang terdiri dari ± 5 siswa;
b.
memberikan pertanyaan terbuka yang
bersifat analitis;
c.
mengajak setiap siswa untuk
berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan kelompoknya secara bergiliran searah
jarum jam dalam kurun waktu yang disepakati.
2)
Kelebihan dan Kelemahan Model Group Investigation
Model Group
Investigation memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan dari model pembelajaran Group Investigation sebagai berikut.
a) Meningkatkan kemampuan kreativitas siswa yang
ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan
pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas.
b) Meningkatkan peluang keberhasilan dalam
memecahkan suatu masalah.
c) Membangun keterampilan komunikasi
antarkelompok.
Selain memiliki beberapa kelebihan, model
pembelajaran Group Investigation juga
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan dari model pembelajaran Group Investigation sebagai berikut.
a) Tidak cocok untuk siswa yang kurang aktif dalam
komunikasi, karena dalam model pembelajaran ini sangat membutuhkan keterampilan
berkomunikasi.
b)
Mengutamakan emosional dari pada intelektual.
j. Langkah-langkah
Kegiatan Pembelajaran
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran merupakan
tahap-tahap kegiatan yang mencerminkan proses pembelajaran di kelas, meliputi
kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup (Rusman, 2014: 7).
1) Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu
pertemuan pembelajaran. Pendahuluan ini ditujukan untuk membangkitkan motivasi
dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran.
2) Inti
Kegiatan inti dilakukan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik, serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis
dan sistemik, yaitu melalui proses: (a) eksplorasi, yaitu kegiatan memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru, (b) elaborasi, yaitu penggarapan secara tekun
dan cermat, dan (c) konfirmasi, yaitu penegasan dan atau pembenaran.
3) Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mengakhiri aktivitas pembelajaran. Penutup pembelajaran dapat dilakukan dalam
bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, serta
tindak lanjut.
k. Alat
Belajar
Alat
belajar atau disebut juga dengan media belajar merupakan alat yang berfungsi sebagai alat bantu belajar mengajar yang efektif. Alat belajar
yang baik disesuaikan dengan tujuan dan isi materi pelajaran (Sukirno,
2009: 108).
l. Sumber
Belajar
Sumber
belajar
adalah bahan ajar yang memuat teks/ materi ajar yang dijadikan rujukan untuk
mencapai kompetensi dasar. Sumber belajar hendaknya dipilih dan diselaraskan
dengan kompetensi dasar yang akan dicapai (Sukirno, 2009: 108).
m. Evaluasi
Pembelajaran
Evaluasi atau penilaian yang dikembangkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan proses pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman
belajar siswa. Penilaian tersebut diarahkan pada proses mengamati,
menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul pada saat proses pembelajaran
siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran. Penilaian tersebut
dilakukan dengan tes tertulis (paper and
pencil test), kinerja atau penampilan (performance),
penugasan (project), hasil karya (product), dan pengumpulan kerja siswa (portofolio) (Muslich, 2007: 91).
Penelitian
ini menggunakan penilaian
dengan tes tertulis berbentuk soal uraian (esai). Tes tertulis merupakan tes, yang mana soal dan
jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Muslich
(2007: 117-118) mengungkapkan bahwa soal tes tertulis terdiri dari dua bentuk,
yaitu: 1) soal dengan memilih jawaban, yaitu soal untuk menilai kemampuan
mengingat (pengetahuan); dan 2) soal dengan mensuplai-jawaban (soal uraian/
esai), yaitu soal untuk menilai kemampuan mengingat, memahami, dan
mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari dengan cara
mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis
dengan menggunakan kata-katanya sendiri.
Muslich (2007: 91-92) juga mengungkapkan bahwa dalam
praktiknya, penilaian tersebut harus memerhatikan tiga ranah (domain), yaitu
ranah pengetahuan (kognitif), ranah sikap (afektif), dan ranah keterampilan
(psikomotor). Berikut ini contoh skor dari ketiga ranah tersebut.
1)
Penilaian Kognitif
No.
|
Aspek yang
dinilai
|
Skor
|
1.
2.
|
Jelaskan pengertian novel!
Sebutkan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik!
|
Kriteria Skor:
Setiap jawaban lengkap (5 unsur
atau lebih) = 20
Jawaban kurang lengkap = 10
Tidak ada jawaban =
0
2)
Penilaian Psikomotorik
No.
|
Aspek yang dinilai
|
Skor
|
1.
|
Mengidentifikasi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik?
|
Kriteria Skor:
Sangat baik = 4
Baik = 3
Cukup = 2
3)
Penilaian Afektif
No.
|
Nama Siswa
|
Indikator Sikap
|
||||
Tekun
|
Rajin
|
Disiplin
|
Kerjasama
|
Tanggung jawab
|
||
Kriteria Skor:
Sangat baik = 4
Baik =
3
Cukup = 2
Kurang =
1
Post a Comment for "Nilai Religius Landasan Teori"