Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nilai Religius Landasan Teori

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS


Pada bab ini dikemukakan tinjauan pustaka dan kajian teoretis. Tinjauan pustaka memuat beberapa kajian buku dan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis, sedangkan kajian teori berisi berbagai teori yang relevan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.

A.  Tinjauan Pustaka
Banyak buku yang membahas unsur intrinsik novel, unsur ekstrinsik berupa nilai religius dalam novel, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam kajian pustaka ini, penulis menyajikan beberapa buku yang dijadikan acuan penelitian ini. Setiap buku diklasifikasikan berdasarkan jenis pembahasannya, selanjutnya dikelompokkan dengan buku-buku lainnya yang sejenis. Selain itu, disajikan pula beberapa hasil penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

1.    Beberapa Kajian Buku
Buku yang digunakan sebagai acuan unsur intrinsik novel, yaitu buku yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi (Burhan Nurgiyantoro, 2005). Buku ini membahas: (1) fiksi, (2) kajian fiksi, (3) tema, (4) cerita, (5) pemplotan, (6) penokohan, (7) pelataran, (8) penyudutpandangan, (9) bahasa, dan (10) moral. Permasalahan yang sama dapat dibaca pula pada buku Teori Fiksi (Robert Stanton, 2012). Buku ini membahas: (1) fiksi, (2) membaca, (3) cerpen, (4) novel, (5) tipe-tipe fiksi, dan (6) menulis makalah kritik sastra. Selain itu, dapat dibaca pula pada buku Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia (Nurhayati, 2013). Buku ini membahas: (1) apresiasi prosa fiksi dan (2) sejarah singkat perkembangan prosa fiksi Indonesia. Selanjutnya, dapat dibaca pula pada buku Pengantar Apresiasi Prosa (Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, 2010). Buku ini membahas: (1) batasan cerpen, (2) langkah-langkah analisis cerpen, (3) perihal novel, dan (4) menilai cerita rekaan. Acuan lainnya dapat ditemukan dalam buku Pengantar Ringkas Teori Sastra (Nurhayati, 2012). Buku ini membahas: (1) sastra dan ilmu sastra, dan (2) teori sastra. Selain itu, dapat dibaca pula pada buku Memahami Cerita Rekaan (Panuti Sudjiman, 1988). Buku ini membahas: (1) pengkajian cerita rekaan, (2) tokoh dan penokohan dalam cerita rekaan, (3) alur cerita rekaan, (4) latar dalam cerita rekaan, (5) tema dan amanat cerita rekaan, dan sebagainya.
Buku yang digunakan sebagai acuan unsur ekstrinsik novel yang berupa nilai religius, yaitu buku yang berjudul Pendidikan Agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2013). Buku ini membahas: (1) manusia dan agama, (2) agama Islam, (3) sumber agama dan ajaran Islam, (4) kerangka dasar agama dan ajaran Islam, (5) akidah, (6) syari’ah/ syari’at, (7) akhlak, (8) takwa, dan (9) Islam dan ilmu pengetahuan. Permasalahan yang sama dapat dibaca pula pada buku Kuliah Fiqh Ibadah (Syakir Jamaluddin, 2011). Buku ini membahas: (1) pendahuluan tentang fiqh, (2) pengantar ibadah, (3) thaharah, (4) shalat, (5) zakat, (6) puasa, dan (7) haji. Kemudian, dapat dibaca pula pada buku Kuliah Aqidah Islam (Yunahar Ilyas, 2010). Buku ini membahas: (1) pendahuluan aqidah, (2) Allah Swt. (3) Malaikat, dan sebagainya. Selanjutnya, dapat dibaca pula pada buku Sastra dan Religiositas (Y. B. Mangunwijaya, 1988). Buku ini membahas: (1) pada awal mula sastra; (2) linaksanan; (3) zaman poros, kitab dan pembebasan sastra; (4) yang kudus, yang profane; (5) mitologi, epos, dan roman; (6) dari belenggu sampai telegram; dan sebagainya. Selain itu, dapat dibaca pula pada buku Religiusitas Perguruan Tinggi (Asmaun Sahlan, 2012). Buku ini membahas: (1) reaktualisasi peran perguruan tinggi, (2) hakikat pembelajaran di perguruan tinggi, (3) proses terbentuknya budaya religius, (4) problematika perwujudan budaya religius di perguruan tinggi, dan sebagainya.
Buku yang digunakan sebagai acuan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yaitu buku Strategi Belajar Mengajar (Hamdani, 2011). Buku ini membahas: (1) pengertian dan tujuan strategi belajar mengajar, (2) hakikat sistem pengembangan belajar mengajar, (3) model pengembangan sistem instruksional, (4) rencana pengembangan, tujuan, dan bahan pengajaran, dan sebagainya. Permasalahan yang sama dapat dibaca pula pada buku Sistem Membaca Pemahaman yang Efektif (Sukirno, 2009). Buku ini membahas: (1) hakikat membaca, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca, (3) pembelajaran membaca pemahaman, (4) pemilihan teks bacaan, (5) pelaksanaan pembelajaran membaca, dan sebagainya. Acuan lainnya dapat pula dibaca pada buku KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual (Masnur Muslich, 2007). Buku ini membahas: (1) dasar-dasar pemahaman pembelajaran pembelajaran berbasis kompetensi, (2) dasar-dasar pemahaman pembelajaran pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, (3) perencanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual, (4) penilaian pembelajaran berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual, dan sebagainya. Selain itu, dapat pula dibaca pada buku Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Rusman, 2014). Buku ini membahas: (1) pendahuluan, (2) standar proses satuan pendidikan, (3) menjadi guru professional, (4) model-model pembelajaran, dan sebagainya. Selanjutnya, dapat pula dibaca pada buku Evaluasi Pembelajaran (Sutaryat Trisnamansyah, 2015). Buku ini membahas: (1) konsep dan peranan evaluasi pembelajaran, (2) kerangka dasar dan ruang lingkup evaluasi pembelajran, (3) pendekatan model evaluasi pembelajaran, dan sebagainya. Selain itu, dapat pula dibaca pada buku Didaktik-metodik (Abu Ahmadi, 1978). Buku ini membahas: (1) mengajar dan belajar, (2) tujuan pengajaran, (3) bahan pengajaran, (4) didaktik-metodik mengajar, dan sebagainya.

2.    Beberapa Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian ini penulis mencoba menggali dan memahami beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian yang berhubungan dengan nilai religius sudah banyak dilakukan, misal oleh Rizkyana (2014) dan Jayanti (2015).
Rizkyana (2014) meneliti dengan judul “Nilai Religius Novel Cinta Suci Zahrana Karya Habiburahman El Shirazy dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”. Dalam penelitiannya tersebut, Rizkyana menyimpulkan bahwa tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar tidak ada yang bertentangan dengan nilai religius yang terkandung di dalam novel tersebut. Nilai religius novel tersebut mencakup 2 aspek, yaitu: (a) hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi: menutup aurat, membaca Al-Quran, salat berjamaah, melaksanakan salat, jujur, keikhlasan, sabar, perintah menuntut ilmu; dan (b) hubungan manusia dengan manusia, meliputi: tolong-menolong dan memberi salam. Nilai religius tersebut dikemas dalam cerita yang bernilai estetis dan tidak bersifat menggurui. Skenario pembelajaran nilai religius pada novel tersebut terdiri dari enam langkah, yaitu: (a) kegiatan awal, (b) kegiatan inti, (c) eksplorasi, (d) elaborasi, (e) konfirmasi, dan (f) kegiatan akhir. Evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran novel tersebut secara tertulis dengan menggunakan tes esai.
Ada persamaan antara penelitian Rizkyana dengan penelitian penulis, yaitu sama-sama mengkaji novel dari segi nilai religiusnya dan evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran secara tertulis sama-sama menggunakan tes esai. Namun, ada pula perbedaannya, yaitu terletak pada judul novelnya. Judul novel dalam penelitian Rizkyana yaitu Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy, sedangkan judul novel dalam penelitian penulis yaitu Bait-bait Multazam karya Abidah El Khalieqy. Perbedaan lainnya yaitu Rizkyana membatasi nilai religius, meliputi hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia, sedangkan penelitian penulis mencakup kedua hubungan tersebut, ditambahkan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan alam.
Jayanti (2015) meneliti dengan judul “Nilai Religius Novel Badai Matahari Andalusia Karya Hary El Parsia dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”. Dalam penelitiannya tersebut, Jayanti menyimpulkan bahwa unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut antara lain: (a) tema, (b) tokoh, (c) alur, dan (d) latar. Nilai religius novel tersebut mencakup tiga aspek, yaitu: (a) hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi: menutup aurat, membaca al-Quran, melaksanakan salat, bersyukur, dan sabar; (b) hubungan manusia dengan manusia, meliputi: tolong menolong dan memberi salam; dan (c) hubungan manusia dengan alam sekitar, meliputi: mengagumi keindahan dan keagungan ciptaan Tuhan. Nilai religius tersebut dikemas dalam cerita yang bernilai estetis dan tidak bersifat menggurui. Skenario pembelajaran nilai religius pada novel tersebut terdiri dari enam langkah, yaitu (a) kegiatan awal, (b) kegiatan inti, (c) eksplorasi, (d) elaborasi, (e) konfirmasi, dan (f) kegiatan akhir. Evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran novel tersebut secara tertulis dengan menggunakan tes esai.
Ada persamaan antara penelitian Jayanti dengan penelitian penulis yaitu sama-sama mengkaji novel dari segi nilai religiusnya dan evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran secara tertulis sama-sama menggunakan tes esai. Namun, ada pula perbedaannya, yaitu terletak pada judul novelnya. Judul novel dalam penelitian Jayanti yaitu Badai Matahari Andalusia karya Hary El Parsia, sedangkan judul novel dalam penelitian penulis yaitu Bait-bait Multazam karya Abidah El Khalieqy. Perbedaan lainnya yaitu Jayanti membatasi nilai religius, meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam, sedangkan penelitian penulis mencakup ketiga hubungan tersebut dan ditambahkan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri.
Beberapa buku dan hasil penelitian tersebut di atas merupakan suatu sumbangan pemikiran yang sangat berharga. Kebanggaan dan penghargaan yang tinggi penulis berikan kepadanya. Namun, di sisi lain, penulis belum menemukan hasil penelitian yang mengkaji nilai religius pada novel Bait-bait Multazam karya Abidah El Khalieqy. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian mengenai nilai religius pada novel Bait-bait Multazam karya Abidah El Khalieqy untuk melengkapi penelitian terdahulu.

B.  Kajian Teoretis
Dalam kajian teoretis ini dibahas: (1) hakikat novel sebagai karya sastra, (2) unsur intrinsik novel, (3) nilai religius dalam karya sastra, dan (4) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).





1.    Hakikat Novel sebagai Karya Sastra
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia. Novel mengandung konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup para pelakunya (Nurhayati, 2013: 7).
Novel atau karya fiksi berisi berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan dirinya sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Novel bersifat rekaan atau cerita khayalan. Meskipun berupa khayalan, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab (Nurgiyantoro, 2005: 3). Selain pendapat Nurgiyantoro dan Nurhayati, ada juga pendapat Santosa dan Wahyuningtyas mengenai novel. Santosa dan Wahyuningtyas (2010: 47) mengungkapkan bahwa novel merupakan cerita rekaan yang menyajikan tentang aspek kehidupan manusia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya sastra fiksi atau khayal berbentuk naratif yang di dalamnya menceritakan tentang kehidupan manusia. Novel merupakan hasil penghayatan dan perenungan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab oleh pengarang terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Novel berisi berbagai masalah kehidupan, seperti manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan sesama, dengan diri sendiri serta interaksinya dengan Tuhan.



2.    Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun novel atau cerita fiksi itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 23). Unsur-unsur intrinsik novel, antara lain: (a) tema, (b) tokoh dan penokohan, (c) alur, (d) latar, (e) sudut pandang dan (f) amanat.

a.    Tema
Stanton (2012: 36) mengungkapkan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar denga sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, atau bahkan usia tua.
Selain itu, ada juga pendapat dari Hartoko dan Rahmanto. Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro (2005: 68) mengungkapkan bahwa tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis (menyangkut makna) dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Berdasarkan tingkat keutamaannya, tema digolongkan menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor merupakan makna pokok cerita yang tersirat dalam sebagian besar cerita, sedangkan tema minor adalah makna tambahan yang tersirat pada bagian-bagian tertentu cerita. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Sebaliknya, makna-makna tambahan bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna pokok cerita (Nurgiyantoro, 2005: 83).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita atau gagasan pokok yang sejajar dengan makna dari keseluruhan cerita. Ide cerita tersebut bisa berupa pengalaman manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua, tergantung dari cerita yang disajikan. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra, harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.

b.   Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada pelaku cerita, sedangkan istilah “penokohan” digunakan untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurhayati, 2013: 16). Selanjutnya , Abrams menyatakan bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu cerita atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2012: 165).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian cerita, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 2012: 176).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan sangat erat kaitannya. Tokoh adalah pelaku yang terdapat dalam karya sastra, sedangkan penokohan adalah karakter atau sifat yang dimiliki oleh pelaku dalam karya sastra.

c.    Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita yang memiliki hubungan kausal. Di dalam rangkaian peristiwa tersebut terdapat peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan cerita (Stanton, 2012: 26). Begitu pula dengan Santoso dan Wahyuningtyas (2010: 56) yang berpendapat bahwa alur adalah rentetan peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat.
Alur sebuah cerita bagaimana pun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya. Tasrif dalam Nurgiyantoro (2005: 149-150) membedakan tahapan alur menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
1)   Tahap Situation (Tahap Penyituasian)
Tahap ini adalah tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

2)   Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik)
Tahap ini merupakan tahap awal dari munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

3)   Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik)
Pada tahap ini, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.

4)   Tahap Climax (Tahap Klimaks)
Pada tahap ini, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui, dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

5)   Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian)
Pada tahap ini, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
Selain itu, terdapat pembedaan terhadap alur, salah satunya yaitu pembedaan alur berdasarkan kriteria urutan waktu. Nurgiyantoro (2005: 153-155) mengungkapkan bahwa urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan. Berdasarkan kriteria urutan waktu ini, alur novel dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu alur maju, alur mundur dan alur campuran. Berikut ini penjabaran dari kedua kategori alur tersebut.

1)   Alur Maju
Alur novel dikatakan maju jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Dengan kata lain, alur novel dikatakan maju jika cerita diceritakan secara runtut dari awal hingga akhir (penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks, baru kemudian penyelesaian).


2)   Alur Mundur (Sorot Balik atau Regresif)
Alur novel dikatakan mundur jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal. Teknik penyorotbalikan peristiwa-peristiwa ke tahap sebelumnya dapat dilakukan, misalnya dengan pengarang menyuruh tokoh merenung kembali ke masa lalunya dan menuturkannya kepada tokoh lain.

3)   Alur Campuran
Alur novel dikatakan campuran jika di dalam novel tersebut terdapat alur maju dan alur mundur. Misalnya, secara garis besar alur sebuah novel adalah alur maju, tetapi di dalamnya sering terdapat peristiwa-peristiwa sorot balik (mundur), dan sebaliknya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang menyatakan hubungan sebab akibat. Alur dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita. Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran.

d.   Latar (Setting)
Pengertian latar atau setting mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurhayati, 2013: 18). Nurgiyantoro (2005: 227-233) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1) latar tempat, yaitu menyatakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi, misalnya: desa, gunung, kota, hotel, rumah, dan sebagainya; (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, misalnya: tahun, siang, malam, dan jam; (3) masalah sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, misalnya: kebiasaan hidup, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latar berhubungan dengan tig hal, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyatakan lokasi peristiwa, latar waktu menyatakan “kapan” terjadinya peristiwa, sedangkan latar sosial menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan.

e.    Sudut Pandang (Point of view)
Nurhayati (2012: 33) mengungkapkan bahwa dalam penyampaian ceritanya, pengarang selalu mengambil posisi dan cerita menurut sudut pandang (point of view). Sudut pandang yaitu  strategi, teknik, siasat yang dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya untuk dapat sampai kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 248). Stanton (2012: 53-54) membagi sudut pandang menjadi empat tipe, yaitu sebagai berikut.
1)   Orang Pertama sebagai Tokoh Utama (Aku)
Si “aku” mengisahkan berbagai pengalaman yang dialaminya, baik pengalaman batin, maupun fisik. Keterbatasan tokoh “aku” untuk menjangkau tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai kelemahan teknik ini (Nurgiyantoro, 2005: 264).

2)   Orang Pertama sebagai Tokoh Sampingan (Aku)
Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca. Setelah itu, tokoh cerita yang dikisahkan oleh tokoh “aku” itu “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya (Nurgiyantoro, 2005: 264).

3)   Orang Ketiga sebagai Pencerita Terbatas (Dia)
Pengarang mengacu pada semua tokoh dan memosisikannya sebagai orang ketiga (dia atau mereka). Namun, tokoh-tokoh tersebut tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh utama. Pengarang fokus menggambarkan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh “seorang tokoh” saja, yaitu tokoh utama. Nurgiyantoro (2005: 257) mengungkapkan bahwa dalam adegan percakapan antartokoh, banyak terdapat penyebutan “aku”, seperti juga “engkau”, sebab tokoh “dia” tersebut oleh pengarang sedang dibiarkan untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan ataupun dilihat oleh dirinya sendiri.


4)   Orang Ketiga sebagai Pencerita Tidak Terbatas (Dia)
Pengarang mengacu pada setiap tokoh dan memosisikannya sebagai orang ketiga (dia atau mereka). Pengarang menceritakan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh beberapa tokoh seakan-akan menceritakan peristiwa tanpa kehadiran tokoh.
Dengan demikian, sudut pandang adalah suatu teknik yang digunakan seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra. Sudut pandang terdiri atas sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama, orang pertama sebagai tokoh sampingan, orang ketiga sebagai pencerita terbatas, dan orang ketiga sebagai pencerita tidak terbatas.

f.     Amanat
Sudjiman (1988: 57-58) mengungkapkan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang dalam karya sastra, baik secara implisit ataupun secara eksplisit. Implisit, jika pesan itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, sedangkan eksplisit, jika pengarang menyampaikan pesan yang berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu pada tengah atau akhir cerita.
Selain Sudjiman, ada Nurgiyantoro yang berpendapat tentang amanat. Nurgiyantoro (2005: 321) juga mengungkapkan bahwa amanat dalam karya sastra dapat dipandang sebagai pesan, message.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa amanat dalam karya sastra adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam karya sastra tersebut. Amanat dalam karya sastra dapat disampaikan secara implisit, ataupun secara eksplisit.

3.    Nilai Religius dalam Karya Sastra
Dalam subbab ini dibahas: (1) hakikat nilai religius dan (2) ruang lingkup nilai religius.

a.    Hakikat Nilai Religius
Awal mulanya, segala sastra adalah religius atau religiositas. Religiositas berbeda dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi atau yuridis melalui peraturan dan hukum, keseluruhan organisasi tafsir alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan, sedangkan religiositas lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati atau sikap personal yang sedikit banyak adalah misteri bagi orang lain. Sikap religius, seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati (Mangunwijaya, 1988: 11-12).
Nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Ilahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sahlan, 2012: 42). Hal tersebut sependapat dengan Ali. Ali (2013: 365) mengungkapkan bahwa komponen-komponen dasar agama Islam yaitu iman (akidah), takwa (syariat/ ibadah), dan budi pekerti luhur (akhlakul karimah). Religius adalah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia yang mendorong bertingkah laku baik, sesuai ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari demi memperoleh rida atau perkenan Tuhannya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa di setiap karya sastra terdapat nilai religius. Nilai religius mencakup iman, takwa, dan akhlak. Orang yang religius adalah orang yang bertingkah laku baik, sesuai ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari demi memperoleh rida atau perkenan Tuhannya.

b.   Ruang Lingkup Nilai Religius
Komponen-komponen dasar nilai religius dalam agama Islam yaitu iman (akidah), takwa (syariat), dan budi pekerti luhur (akhlakul karimah). Ilyas (2010: 1) mengungkapkan bahwa akidah berarti keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Dalam Islam, orang yang berakidah atau beriman meliputi orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada nabi dan rasul, kepada hari akhir, dan kepada takdir Allah.
Hasan Langgulung dalam Ali (2013: 365) mengungkapkan bahwa takwa adalah kata kunci untuk memahami sistem nilai (hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan) dalam Islam. Takwa merupakan kesimpulan semua nilai yang terdapat dalam al-Quran, dan nilai-nilai dalam al-Quran tersebut dinyatakan sebagai akhlak (budi pekerti).
Nilai religius berupa takwa, mencakup segala nilai yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaannya di dunia ini dan di akhirat kelak (Ali, 2013: 365). Adapun ruang lingkup nilai religius tersebut yaitu sebagai berikut.

1)   Hubungan Manusia dengan Allah
Hubungan manusia dengan Allah merupakan ruang lingkup yang pertama pada nilai religius. Perintah Allah itu bermula dari pelaksanaan tugas manusia untuk mengabdi pada-Nya. Hubungan manusia dengan Allah antara lain: (1) beriman kepada Allah menurut cara-cara yang diajarkan-Nya sebagai pedoman hidup, (2) beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan salat lima waktu, zakat, puasa, ibadah haji (bagi yang mampu), (3) mensyukuri nikmat-Nya dengan cara memelihara yang telah diberikan oleh-Nya, (4) bersabar ketika mendapat ujian, tabah, dan tidak putus asa, (5) memohon ampun atas segala dosa dan tobat, sadar untuk tidak melakukan lagi perbuatan tercela (Ali, 2013: 368-369).
Selain Ali, Jamaluddin juga berpendapat mengenai hubungan manusia dengan Allah. Jamaluddin (2011: 4) mengungkapkan bahwa perkataan dan perbuatan manusia yang berhubungan langsung dengan Allah, yaitu taharah, salat, zakat, puasa, dan haji.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan Allah merupakan ruang lingkup nilai religius yang pertama. Perwujudan hubungan baik manusia dengan Allah antara lain: beriman, beribadah, bersyukur, bersabar, dan bertobat kepada Allah.

2)   Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Hubungan manusia dengan hati nurani atau diri sendiri merupakan ruang lingkup nilai religius yang kedua. Perwujudan hubungan manusia dengan hati nurani atau diri sendiri, diantaranya sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri, dan mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang baik. Hubungan manusia dengan diri sendiri banyak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. (Ali, 2013: 370).
Selain Ali, ada Gay Hendricks dan Kate Ludeman yang berpendapat mengenai ruang lingkup nilai religius yang kedua ini. Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Sahlan (2012: 39-40) mengungkapkan bahwa nilai religius yang menunjukkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam menjalankan tugasnya, diantaranya: jujur, adil, rendah hati, bekerja efisien (mampu memusatkan semua perhatian pada pekerjaan saat itu), visi ke depan, disiplin tinggi, dan menjaga keseimbangan hidupnya (khususnya keintiman, pekerjaan, komunitas, dan spiritualitas).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan dirinya sendiri merupakan ruang lingkup kedua dari nilai religius. Ruang lingkup kedua ini meliputi: sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri, rendah hati, bekerja efisien, visi ke depan, disiplin tinggi, dan menjaga keseimbangan hidupnya.

3)   Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia
Ruang lingkup nilai religius yang ketiga adalah memelihara dan membina hubungan baik dengan sesama manusia. Hubungan antarmanusia ini dapat dibina dan dipelihara, antara lain dengan mengembangkan gaya hidup yang selaras dengan nilai dan norma yang disepakati bersama dalam masyarakat dan negara yang sesuai dengan nilai dan norma agama (Ali, 2013: 370).
Perwujudan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, diantaranya: (1) tolong menolong, (2) suka memaafkan kesalahan orang lain, (3) menepati janji, (4) lapang dada, dan (5) menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain (Ali, 2013: 370). Hubungan manusia dengan sesama manusia bisa tercapai dengan baik bila masing-masing individu mampu melaksanakan peraturan yang dibuat bersama.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan sesama manusia adalah ruang lingkup yang ketiga dari nilai religius. Ruang lingkup yang ketiga ini meliputi: tolong menolong, memaafkan kesalahan orang lain, menepati janji, lapang dada, berlaku adil, dan menegakkan keadilan terhadap diri sendiri dan orang lain.

4)   Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup
Hubungan manusia dengan lingkungan hidup merupakan ruang lingkup nilai religius yang keempat. Hubungan ini dimaksudkan agar manusia menjaga segala sesuatu yang telah Allah ciptakan. Perwujudan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya, diantaranya: memelihara,  menyayangi, mencegah perusakan, dan memelihara keseimbangan dan pelestarian binatang dan tumbuh-tumbuhan, tanah, air, dan udara, serta semua alam semesta yang sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya (Ali, 2013: 371).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan merupakan ruang lingkup keempat dari nilai religius. Ruang lingkup keempat ini dimaksudkan agar manusia menjada segala sesuatu yang telah Allah ciptakan.

4.    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru (baik yang menyusun RPP itu sendiri maupun yang bukan) dalam pembelajaran di kelas (Muslich, 2007: 53). Dengan adanya RPP ini diharapkan pembelajaran bisa tercapai secara maksimal.
Di dalam RPP terdapat beberapa komponen. Komponen tersebut antara lain identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, alokasi waktu, metode pembelajaran, model pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, alat belajar, sumber belajar, dan evaluasi pembelajaran. Berikut ini akan diuraikan masing-masing komponen RPP tersebut.

a.    Identitas Mata Pelajaran
Identitas mata pelajaran, meliputi satuan pendidikan, kelas, semester, dan mata pelajaran. Selain itu, dapat pula ditambahkan dengan program keahlian dan jumlah pertemuan (Rusman, 2014: 5).

b.   Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah batas dan arah kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi berguna untuk memandu guru atau pengembang silabus dalam menjabarkan kompetensi dasar menjadi pengalaman belajar (Sukirno, 2009: 104).

c.    Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar adalah kemampuan hasil belajar yang harus dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran materi pokok mata pelajaran tertentu. Cakupan materi pada kompetensi dasar lebih sempit jika dibandingkan dengan standar kompetensi (Sukirno, 2009: 104).

d.   Indikator Pencapaian Hasil Belajar
Indikator hasil belajar atau indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian hasil belajar dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Rusman, 2014: 6).

e.    Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar (Rusman, 2014: 6). Rumusan tujuan pembelajaran mengacu pada indikator pencapaian hasil belajar.

f.     Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran memuat pengertian konseptual, gugus isi atau konteks, proses, bidang ajar, pokok bahasan, dan keterampilan (Sukirno, 2009: 106). Materi pembelajaran ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian hasil belajar.



g.    Alokasi Waktu
Alokasi waktu digunakan untuk menentukan berapa lama pembelajaran kompetensi dasar itu dapat terselesaikan. Alokasi waktu bergantung pada panjang/pendek, atau luas/sempit, atau mudah/sukarnya kompetensi dasar yang ingin dicapai (Sukirno, 2009: 103-104).

h.   Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan (Rusman, 2014: 6). Metode yang dapat digunakan untuk pembelajaran sastra antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemberian tugas. Keempat metode tersebut akan saling menunjang dan melengkapi dalam pembelajaran sastra.

1)   Ceramah
Metode ceramah dilaksanakan dengan penjelasan konsep, prinsip, dan fakta oleh guru di hadapan siswa-siswanya yang ditutup dengan tanya jawab antara guru dan siswa (Hamdani, 2011: 156). Metode ini digunakan jika pelajaran tersebut banyak mengandung informasi atau bahan-bahan yang memerlukan penjelasan guru. Melalui ceramah, guru dapat mengawasi atau melihat sejumlah anak secara menyeluruh dan dapat memberi pelajaran yang sama kepada siswa di kelas.
2)   Tanya Jawab
Metode tanya jawab merupakan suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai bentuk pertanyaan yang dijawab oleh siswa. Tanya jawab ini dapat dilakukan pada awal, tengah-tengah, atau pada akhir kegiatan belajar mengajar untuk mengetahui sejauh mana bahan pelajaran yang sedang atau telah dibahas itu dipahami siswa (Hamdani, 2011: 275).

3)   Diskusi
Metode diskusi merupakan interaksi antarsiswa atau interaksi siswa dengan guru dalam rangka menyatukan pendapat dengan cara mufakat atau musyawarah tentang topik atau permasalahan tertentu (Hamdani, 2011: 159). Dalam metode ini, semua siswa diajak aktif berpikir untuk membicarakan pemecahan sesuatu soal secara gotong royong. Pemecahan tersebut nantinya membutuhkan dan meminta persetujuan dari gurunya.

4)   Pemberian Tugas
Pelaksanaan metode pemberian tugas ini yaitu guru memberi tugas-tugas berupa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh murid-murid. Tugas yang diberikan hendaknya jelas dan tegas merangsang siswa. Hasil dari pekerjaan tersebut kemudian dipertanggungjawabkan kepada guru pada hari-hari berikutnya (Ahmadi, 1978: 100).
i.      Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas agar tujuan yang telah disusun bisa tercapai secara optimal (Rusman, 2014: 133). Penulis melakukan penelitian menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Investigasi kelompok (Group Investigation). Perencanaan dengan tipe Investigasi kelompok (Group Investigation) adalah kelompok yang dibentuk oleh siswa itu sendiri dengan anggota 2-6 orang, tiap kelompok bebas memilih topik dari keseluruhan materi yang akan diajarkan, dan membuat laporan kelompok. Selanjutnya, setiap kelompok mempresentasikan hasil laporan kepada seluruh kelas, untuk saling tukar pendapat dan informasi tentang hasil laporan masing-masing kelompok (Rusman, 2012: 220).

1)   Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation
Rusman (2012: 223), mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, langkah-langkah pembelajarannya adalah:
a.    membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari ± 5 siswa;
b.    memberikan pertanyaan terbuka yang bersifat analitis;
c.    mengajak setiap siswa untuk berpartisipasi dalam menjawab pertanyaan kelompoknya secara bergiliran searah jarum jam dalam kurun waktu yang disepakati.

2)   Kelebihan dan Kelemahan Model Group Investigation
Model Group Investigation memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan dari model pembelajaran Group Investigation sebagai berikut.
a)    Meningkatkan kemampuan kreativitas siswa yang ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas.
b)   Meningkatkan peluang keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah.
c)    Membangun keterampilan komunikasi antarkelompok.
Selain memiliki beberapa kelebihan, model pembelajaran Group Investigation juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan dari model pembelajaran Group Investigation sebagai berikut.
a)    Tidak cocok untuk siswa yang kurang aktif dalam komunikasi, karena dalam model pembelajaran ini sangat membutuhkan keterampilan berkomunikasi.
b)   Mengutamakan emosional dari pada intelektual.



j.     Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran merupakan tahap-tahap kegiatan yang mencerminkan proses pembelajaran di kelas, meliputi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup (Rusman, 2014: 7).

1)   Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran. Pendahuluan ini ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

2)   Inti
Kegiatan inti dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik, yaitu melalui proses: (a) eksplorasi, yaitu kegiatan memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (b) elaborasi, yaitu penggarapan secara tekun dan cermat, dan (c) konfirmasi, yaitu penegasan dan atau pembenaran.

3)   Penutup
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran. Penutup pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, serta tindak lanjut.

k.   Alat Belajar
Alat belajar atau disebut juga dengan media belajar merupakan alat yang berfungsi sebagai alat bantu belajar mengajar yang efektif. Alat belajar yang baik disesuaikan dengan tujuan dan isi materi pelajaran (Sukirno, 2009: 108).

l.      Sumber Belajar
Sumber belajar adalah bahan ajar yang memuat teks/ materi ajar yang dijadikan rujukan untuk mencapai kompetensi dasar. Sumber belajar hendaknya dipilih dan diselaraskan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai (Sukirno, 2009: 108).

m. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi atau penilaian yang dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Penilaian tersebut diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul pada saat proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran. Penilaian tersebut dilakukan dengan tes tertulis (paper and pencil test), kinerja atau penampilan (performance), penugasan (project), hasil karya (product), dan pengumpulan kerja siswa (portofolio) (Muslich, 2007: 91).
Penelitian ini menggunakan penilaian dengan tes tertulis berbentuk soal uraian (esai). Tes tertulis merupakan tes, yang mana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Muslich (2007: 117-118) mengungkapkan bahwa soal tes tertulis terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1) soal dengan memilih jawaban, yaitu soal untuk menilai kemampuan mengingat (pengetahuan); dan 2) soal dengan mensuplai-jawaban (soal uraian/ esai), yaitu soal untuk menilai kemampuan mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri.
Muslich (2007: 91-92) juga mengungkapkan bahwa dalam praktiknya, penilaian tersebut harus memerhatikan tiga ranah (domain), yaitu ranah pengetahuan (kognitif), ranah sikap (afektif), dan ranah keterampilan (psikomotor). Berikut ini contoh skor dari ketiga ranah tersebut.

1)   Penilaian Kognitif
No.
Aspek yang dinilai
Skor
1.
2.
Jelaskan pengertian novel!
Sebutkan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik!


Kriteria Skor:
Setiap jawaban lengkap (5 unsur atau lebih)        = 20
Jawaban kurang lengkap                                      = 10
Tidak ada jawaban                                               = 0

2)   Penilaian Psikomotorik
No.
Aspek yang dinilai
Skor
1.
Mengidentifikasi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik?

Kriteria Skor:
Sangat baik                      = 4
Baik                                  = 3
Cukup                              = 2
Kurang                             = 1

3)   Penilaian Afektif
No.
Nama Siswa
Indikator Sikap
Tekun
Rajin
Disiplin
Kerjasama
Tanggung jawab












Kriteria Skor:
Sangat baik                      = 4
Baik                                  = 3
Cukup                              = 2

Kurang                             = 1

Post a Comment for "Nilai Religius Landasan Teori"