Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

REPRESENTASI PEREMPUAN DAN KAPITALISME DALAM DRAMA NYONYA-NYONYA KARYA WISRAN HADI


REPRESENTASI PEREMPUAN DAN KAPITALISME
DALAM DRAMA NYONYA-NYONYA
KARYA WISRAN HADI
Oleh:
S.E. Peni Adji

1.         Pendahuluan
 Masalah kapitalisme seperti uang, tawar-menawar, dan untung-rugi banyak direpresentasikan dalam dialog drama Nyonya-Nyonya  karangan Wisran Hadi . Dipicu oleh motif harga diri, menjaga nama baik, serta mempertahankan nilai-nilai  adat budaya; permasalahan kapitalisme ini menjadi pemicu konflik  dalam naskah drama yang diramu secara unik.

Melihat dari judulnya, yaitu Nyonya-nyonya, jelaslah bahwa konflik dalam karya drama tersebut pasti melibatkan tokoh perempuan untuk mengeksekusi gagasan-gagasan penting. Tokoh utama drama ini adalah Nyonya cantik pemilik rumah mewah yang suaminya sedang dirawat di rumah sakit. Nyonya berkonflik dengan Tuan yang adalah pedagang barang antik. Melalui dua tokoh inilah gagasan tawar-menawar, untung-rugi, dan uang ditampilkan. Masalah siapa mengeksploitasi siapa, secara tersirat tampak pada drama ini. Dalam drama ini juga dihadirkan tokoh nyonya-nyoya lain yang bernama Kemenakan A, B, dan C yang merupakan kemenakan dari Datuk,  suami Nyonya. Kemenakan A, B, dan C juga berkonflik dengan tokoh Nyonya karena masalah uang, yang notabene adalah ikon dari kapitalisme.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik meneliti gagasan perempuan dan kapitalisme dalam naskah drama Nyonya-nyonya karya Wisran Hadi; terlebih karena latar budaya yang tergambar adalah budaya Minangkabau yang garis kekerabatannya adalah matrilineal. Adapun pisau analisis yang dipandang tepat untuk dipakai adalah teori feminis sosialis.

2.         Perempuan dalam Feminis Sosialis

Problematika perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan, sebagian besar berkaitan dengan permasalahan gender. Adapun gender merupakan gagasan yang berkaitan  dengan perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang diwujudkan dalam perbedaan peran dan sifat antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, perbedaan peran dan sifat ini membentuk suatu budaya yang dianggap bersifat "alamiah" oleh tatanan masyarakat (Warren  dalam Kramarae dan Treichler, 1985: 173-174). Gender juga dijelaskan sebagai perbedaan tingkah laku antarjenis kelamin yang merupakan hasil konstruksi masyarakat. Sifatnya bukan biologis dan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial budaya yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antara kelas yang satu dengan kelas yang lainnya (Analisis Sosial, November 1996).
            Masalah gender  muncul, bermula dari pandangan yang seolah universal, yaitu bahwa kebudayaan berusaha menguasai dan mengelola alam untuk keperluan manusia. Dalam hal ini, laki-laki diidentifikasikan dengan kebudayaan dan perempuan diidentifikasikan dengan alam yang dikuasai dan dikelola oleh alam karena kehidupannya dianggap dekat dengan proses biologisnya, yaitu fungsi reproduksinya (Other via Moore, 1988:13). Bermula dari padangan tersebut perempuan secara stereotip dinilai mewarisis sifat-sifat feminine, yaitu emosional, pasif, inferior, bergantung, lembut, dan perannya dibatasi pada bidang keluarga; sedangkan laki-laki dinilai mewarisis sifat-sifat masculine, yaitu rasional, aktif, superior, berkuasa, keras, dan menguasai peran dalam masyarakat (Moore, 1988:14 dan Budiman, 1985:1). Pandangan ini merupakan cikal bakal tekanan atau opresi terhadap perempuan.
Dari berbagai macam gagasan mengenai opresi terhadap perempuan, feminis sosialis menyorotinya secara spesifik. Feminis sosialis menegaskan bahwa penyebab opresi terhadap perempuan berkaitan dengan kapitalisme dan patriarki. Pandangan ini juga percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, ekonomi tempat individu itu hidup (Tong, 2005: 139).
Feminis Marxis (yang merupakan awal dari feminis sosialis) meyakini bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran, sehingga untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki tidak, kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan (Tong, 2005:141)
Jika kapitalisme dipandang sebagai suatu hubungan kekuasaan, maka kapitalisme digambarkan sebagai suatu masyarakat yang di dalamnya setiap hubungan traksaksional, pada dasarnya bersifat eksploitatif. Hal ini disebabkan majikan membayar pekerja hanya untuk kekuatan bekerjanya, tanpa untuk membayar  pengeluaran yang sesungguhnya atas energi dan intelegensi manusia yang diambil dan ditransfer menjadi komiditi yang dihasilkan mereka. Majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi dan pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali (Tong, 2005:142-143).
Ada alasan yang tidak terlalu banyak dibahas untuk menjawab mengapa majikan sangat mengeksploitasi pekerja di dalam kapitalisme. Menurut Marx, ideologi kapitalis menuntun pekerja dan majikan untuk terfokus pada struktur kapitalisme yang dibangun di atas hubungan pertukaran. Sebagai akibat dari beroperasinya ideologi ini, yang disebut Marx sebagai fetisisme ideologi,   pekerja perlahan meyakinkan diri mereka bahwa meskipun sangat sulit bagi mereka untuk memperoleh uang, tidak ada yang salah secara inheren dalam hubungan pertukaran spesifik yang telah dimasukinya karena hidup – dalam semua dimensinya – adalah semata-mata satu sistem kolosal dari hubungan pertukaran (Tong, 2005:143).
Heilbroner  berpendapat bahwa  kapitalisme telah menyebabkan perempuan teralienasi  dan tersegmentasi. Salah satu penyebabnya adalah pekerja teralienasi dari manusia lain karena struktur ekonomi kapitalis mendorong, dan bahkan memaksa, pekerja untuk memandang satu sama lain sebagai pesaing untuk memperoleh pekerjaan dan promosi. Ketika sumber potensial komunitas pekerja menjadi sumber nyata atas isolasinya (pekerja lain menjadi pesaing musuh, seseorang yang harus dihindari), pekerja akan kehilangan identifikasi dengan segala sesuatu yang  -- paling tidak – membangun identitasnya (Tong, 2005: 146).
Menurut Clara Zetkin feminis sosialis berusaha menjelaskan cara kapitalisme berinteraksi dengan patriarki. Feminis sosialis dan feminis Marxis setuju bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme. Mereka mengklaim bahwa kapitalisme tidak dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan, serta bahwa hubungan material dan ekonomi manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi mereka berubah. Perempuan harus menjalani dua perang, yaitu kapitalisme dan patriarki, untuk terbebas dari kekuatan opresi.
Iris Young berpendapat bahwa penyebab opresi terhadap perempuan bukan sekedar  pembagian kelas, melainkan pembagian kerja.  Hal ini menuntut diskusi yang lebih rinci mengenai siapa yang memberi perintah, dan siapa yang melaksanakannya, siapa yang melakukan pekerjaan menstimulasi, dan siapa yang harus melakukan pekerjaan kotornya, siapa yang mengambil jam yang disukai, siapa yang bekerja pada jam yang tidak disukai, dan siapa yang mendapat pekerjaan lebih besar, dan siapa yang dibayar lebih rendah. Pembagian ini dapat menjelaskan dengan lebih baik mengapa perempuan biasa menerima perintah, melakukan pekerjaan kasar, bekerja pada shif yang tidak ia sukai, dan dibayar lebih kecil. Sementara laki-laki biasa memberi perintah, melakukan pekerjaan menstimulasi, bekerja pada shif yang disukai, dan dibayar lebih tinggi (Tong, 2005:179).
Kapitalisme mengidentifikasi laki-laki sebagai material tenaga kerja “primer”, dan perempuan sebagai material tenaga kerja ‘sekunder”. Karena perempuan diperlukan di rumah dengan cara yang sama dengan laki-laki tidak dibutuhkan – atau paling tidak seperti diyakini patriarki – laki-laki lebih bebas bekerja di luar rumah (Tong, 2005:180).
Dalam tulisan ini gagasan mengenai perempuan dan kapitalisme akan difokuskan pada opresi dan eksploitasi dalam transaksi serta citra diri dan segmentasi perempuan -- yang dihadirkan dalam drama Nyonya-nyonya karya Wisran Hadi. Untuk membahasnya, terlebih dahulu alur drama dideskripsikan untuk menjadi dasar pijakan bagi kajian perempuan dan patriarki.

3.         ALUR DRAMA NYONYA-NYONYA
Alur dalam drama menduduki unsur yang paling penting dalam strukur drama. Hal inilah yang membedakannya dengan prosa. Melalui alur, konflik tokoh diramu menjadi rangkaian peristiwa. Alur inilah yang mengikat latar sehingga peristiwa-peristiwa di dalam alur memiliki titik berpijak dan menjadi realistik. Dalam banyak hal latar dari drama sangat berguna untuk menunjang perkembangan konflik itu sendiri.
Alur dalam drama Nyonya-nyonya dibagi menjadi empat babak (babak merupakan kesatuan tempat dan waktu secara fundamental). Babak I terjadi di teras rumah, Babak II terjadi di ruang tamu, Babak III terjadi di ruang makan, Babak IV terjadi di dalam kamar (tidur).
Pada babak I diawali dengan adegan Tuan berdiri di teras rumah Nyonya. Sikap Tuan ini menimbulkan konflik dengan Nyonya. Nyonya  marah karena ia  takut dengan gunjingan orang, jika ada lelaki tak dikenal  berdiri lama di teras rumahnya, sementara suaminya (Datuk) sedang dirawat di rumah sakit.  Kemarahan Nyonya ini  sebenarnya akumulasi dari peristiwa sehari yang lalu; Tuan telah berdiri lama di halaman rumahnya. Ketika diusir dia justru membeli satu meter persegi tanah di halaman dengan alasan agar dia dapat berdiri di tanah miliknya sendiri.   Dalam kemarahannya Nyonya selalu mengatakan bahwa dia dirugikan dengan sikap dan tindakan Tuan. Terjadi perbedaan padangan antara Tuan dan Nyonya dalam memandang kerugian. Bagi Tuan kerugian harusnya diganti dengan uang. Namun, bagi Nyonya kerugian  tersebut tidak dapat diukur dengan uang. Oleh karena itu,  Nyonya kembali mengusir Tuan untuk pergi dari teras rumahnya. Namun, adegan ini  dimenangkan oleh Tuan. Dia berhasil memprovokasi konsep bahwa kerugian dapat dibayar dengan uang melalui proses tawar-menawar yang akhirnya menemukan harga yang disepakati bersama. Tuan berhasil membeli areal empat petak marmer di teras Nyonya seharga lima ratus ribu rupiah. Babak I diakhiri dengan masuknya nyonya Kemenakan A yang meminta uang hasil penjualan tanah pusaka Datuk (suami Nyonya). Terjadi perdebatan serius antara Nyonya dan Kemenakan A. Nyonya beralasan jika ia tidak pernah mengetahui uang penjualan tanah pusaka. Sementara Kemenakan A menuduh Nyonya pasti mengetahuinya bahkan telah menggunakannya. Karena tekanan Kemenakan A dengan menggunakan kekerasan (pisau), Nyonya menyerahkan uang lima ratus ribu rupiah,  hasil penjualan empat petak marmer  di teras rumah, kepada Kemenakan A.
Pada babak 2 latar terjadi di Ruang Tamu. Tuan yang kemarin berdiri dan berhasil membeli empat petak marmer di teras rumah, datang lagi dan langsung duduk di kursi ruang tamu. Dialog Nyonya dan Tuan diwarnai keberatan Nyonya menjual kursi hingga tawar-menawar kursi yang diduduki Tuan.

Tuan                : Nyonya tidak mau menjualnya karena fungsinya atau karena empuknya?
Nyonya            : Karena namanya. Mungkin saja ada kursi taman sejenis kursi tamuku, tapi kursi
taman bukan kursi tamu bukan?
Tuan                : Apa Nyonya mau melepaskannya bila kubayar enam ratus ribu?
Nyonya            : Belum kulepaskan. Naik.
Tuan                : Enam ratus dua puluh lima?
Nyonya            : Naik lagi
……………
Nyonya            : (Menerima uang itu dengan penuh nafsu, tapi pura-pura gugup) Jadi, Tuan
membeli sebuah kursi seharga tujuh ratus ribu? Tuan. Tuan. (Pura-pura menangis) Aku tidak akan menjualnya, Tuan. (Menangis)
Tuan                : Hati-hati kalau menghitung uang, Nyonya. Ramalan cuaca boleh keliru. Tapi
keliru menghitung uang, cuaca bisa berubah.
Nyonya            : (Terus menghitung uang, menangis). Tidak. Tidak. Aku tidak akan menjualnya.
Nanti suamiku akan kehilangan kursi. Ibuku akan jatuh pingsan karena tidak punya kursi lagi.
Tuang              : Ingat, Nyonya. Pembatalan secara sepihak dalam perdagangan bisa dituntut di
pengadilan.
Nyonya            : Jadi, Tuan akan menuntutku ke pengadilan? Jangan, Tuan. Ekornya, Tuan.
Ekornya kurang enak.
Tuan                : Bila Nyonya berusaha membatalkan, saya pasti akan menuntut. Sewaktu-waktu
saya bisa saja nekat, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.
 Nyonya           : (Terus menghitung uang, lambat-lambat mundur). Ekornya Tuan, ekornya. Aku
tidak akan menjualnya. Ekornya, Tuan……
Tuan                : (Menarik napas) Rugi! Tapi, tidak jadi persoalan. Anggap saja menanam modal.
(Duduk lagi)

Adegan tersebut menggambarkan bahwa Tuan berhasil membeli kursi di ruang tamu seharga tujuh ratus ribu rupiah. Terjadi keraguan pada diri Nyonya antara keinginan  tidak menjualnya kursi dan ketergiuran menerima tawaran harga tujuh ratus ribu untuk sebuah kursi.        Babak II diakhiri dengan hadirnya nyonya-nyonya lain, yaitu kemenakan suami, Kemenakan B, dan C.  Mereka datang menekan Nyonya untuk memberikan uang penjualan tanah pusaka keluarga mereka yang telah dijual oleh Datuk. Nyonya mengemukakan jika dia tidak tahu sama sekali dengan uang tanah pusaka. Rumah mewah yang ditempati saat ini, sama sekali tidak dibuat dari uang pusaka, tetapi dari honor penangis pesanan pada saat acara kematian. Kemenakan menekan Nyonya dengan mengatakan bahwa mereka punya bukti secara tertulis dari Datuk yang menyatakan bahwa uang telah diserahkan kepada istrinya (walaupun dari teks samping jelaslah bahwa ini hanyalah tipuan agar dapat menekan Nyonya). Tekanan itu membuahkan hasil. Nyonya menyerahkan uang tujuh ratus ribu hasil penjualan kursi kepada para kemenakan. Kemudian dua kemenakan itu saling bertengkar dengan saling mengklaim bahwa keberhasilan mendapatkan uang adalah kejernihan ide masing-masing. Kemenakan A masuk. Terjadilah pertengkaran pembagian uang tujuh ratus ribu tersebut.  Akhirnya pertengkaran tersebut diselesaikan oleh mereka sendiri dengan keputusan bahwa uang tersebut akan dipakai untuk membayar pengobatan  Datuk di rumah sakit. Dengan demikian,  nama mereka sebagai ponakan tetaplah baik di mata adat, karena mereka telap bertanggung jawab kepada Datuk mereka.
            Pada babak III latar terjadi di ruang makan. Adegan diawali dengan kedatangan Tuan yang langsung duduk di kursi makan. Kembali tingkah laku Tuan ini menimbulkan amarah Nyonya. Permasalahan sopan santun  kembali diungkapkan Nyonya, lebih-lebih ketika Tuan minta disediakan makanan di meja makan. Hal itu langsung direspon Nyonya:
Nyonya            : Tuan benar-benar seorang penjajah.
Tuan                : Saya bukan penjajah, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya. Kursi ini masih
kepunyaan Nyonya, bukan?
Nyonya            : Ya, mau apa?
Tuan                : Barang Nyonya memang enak diduduki.
Tuan                : Tuan, haruskah aku menjual kursi yang Tuan duduki agar Tuan tidak duduk lagi
di kursi itu?
 Adegan ini dilanjutkan dengan tawar-menawar kursi makan yang berakhir pada harga seratus ribu rupiah. Namun, Tuan hanya mampu membayar lima puluh lima ribu rupiah. Dia berhutang dan berjanji akan melunasinya besok pagi.
Pada babak IV latar terjadi di dalam kamar tidur. Ketika pagi hari Nyonya berdandan, tiba-tiba Tuan masuk. Hal ini kontan menyebabkan Nyonya marah. Tuan membela  diri dengan alasan ia akan segera membayar utang kursi makan yang ia beli kemarin. Tuan berdalih “Saya tergesa, Nyonya. Lagi pula jumlah uang tetap sama nilainya, walau dibayar di mana pun juga.”  Meskipun berkali-kali diusir Nyonya, Tuan tetap tidak pergi. Ia justru dengan santai duduk di tempat tidur.  Kondisi ini menyebabkan Nyonya semakin marah dan Tuan tetap tidak pergi. Di puncak ketakberdayaannya mengusir Tuan, Nyonya mengatakan apakah ia harus menjual tempat tidur agar Tuan mau pergi. Kesempatan itu dipakai Tuan untuk masuk pada transaksi jual-beli, dan tawar-menawar. Dalam dialog tawar-menawar inilah,  terjadi ungkapan dan tindakan seksis yang cenderung mengandung pelecehan. Drama berakhir dengan teriakan tiga kemenakan di luar rumah. Kondisi ini menyebabkan Nyonya dan Tuan merasa tidak nyaman karena mereka berada di dalam kamar berdua. Dalam kekalutan itu justru Tuan dan Nyonya berpelukan. Masuklah istri Tuan, dia tergeletak pingsan menyaksikan adegan tersebut.

4.         Perempuan dan Kapitalisme
4.1 Opresi dan Eksploitasi dalam Transaksi
Konflik dalam drama ini diawali dengan kemarahan Nyonya karena dia teropresi oleh sikap dan tindakan Tuan. Ia teropresi karena hak miliknya – yang dalam bagian awal drama ini dihadirkan dalam bentuk pekarangan rumah dan teras – dieksploitasi oleh Tuan (berjenis kelamin laki-laki). Dalam kaca mata kritik sastra feminis tindakan Tuan mewakili tradisi patriarki. Dengan menggunakan strategi kapitalisme, Tuan berhasil melakukan tawar-menawar dan transaksi pembelian untuk satu meter tanah pekarangan dan empat petak marmer tempat ia berdiri.
Dalam transaksi tersebut Nyonya merasa teropresi, yang disebabkan oleh kompleks alasan: yaitu desakan  Tuan, citra diri untuk menjaga nama baik, dan ketergiuran mendapatkan uang. Ketika Nyonya ragu dan menyadari kekeliruanya dalam trasaksi tersebut, Tuan  mengancam akan mengadukan ke pengadilan – suatu lembaga yang sangat ditakuti oleh Nyonya – yang sekaligus mewakili lembaga patriarki.
Eksploitasi Tuan akan hak milik Nyonya berlanjut pada babak berikutnya. Ia menguasai kursi ruang tamu, yang dalam konteks adegan tersebut dapat dimaknai dengan harga diri dan kenyamanan hidup.
Tuan                : Memenuhi fungsi sebuah kursi tidak boleh. Mengubah namanya tidak boleh.
 Apa kursi ini begitu keramat sehingga Nyonya mati-matian mempertahan-
kannya?
Nyonya            : Harganya mahal, Tuan!
Tuan                : Benar. Pantas enak sekali diduduki. (Duduk).
Nyonya            : Tentu saja enak, Tuan! Di mana-mana kursi empuk selalu enak diduduki.
Apalagi pada saat sekarang. (Hadi, 2005: 142-143)
 Kursi ini semakin dimaknai kenyamanan hidup bahkan jabatan ketika istri Tuan masuk dan mengatakan bahwa  dia akan  membawa kursi itu pulang karena di rumah tidak ada kursi. Suaminya menjawab justru kondisi itu baik dan aman bagi keluarga. Anak-anak tidak akan berebutan kursi. Dialog Tuan “… Terus terang aku tidak suka anak-anak kita mempergunakan kursi untuk mendapatkan mobil, rumah, kapal, dan sebagainya itu!” (Hadi, 2003: 149)
Dalam transaksi tersebut, Tuan mengeksploitasi  Nyonya dengan menawarkan harga yang tinggi yaitu tujuh ratus ribu rupiah, sehinga Nyonya berada pada kebimbangan besar antara mempertahankan hak milik dan memperoleh uang. Penekanan itu terus berlanjut ketika Nyonya menyadari bahwa ia telah kehilangan kursi.  Tuan  kembali mengancam bahwa ia akan mengadukan  ke pengadilan jika Nyonya membatalkannya. Eksploitasi dalam transaksi itu terus berlanjut ke pembelian kursi makan bahkan tempat tidur.
Hal yang penting dalam penawaran tersebut, Tuan telah melakukan opresi terhadap Nyonya dengan penuntutan ke pengadilan apabila Nyonya membatalkan pembelian. Meskipun secara sekilas ditunjukkan melalui dialog Tuan jika dia rugi karena telah menawar dengan harga tinggi, namun dia yakin bahwa sebagai pedagang barang antik dia akan mendapatkan keuntungan tinggi pada penjualan berikutnya. Dengan demikian, tindakan Tuan untuk membeli ini merupakan investasi, penanaman modal. Suatu tindakan yang dari kacamata feminis sosialis merupakan kekuasaan kapitalis dan patriarki untuk mengopresi perempuan. Dalam naskah drama ini pemilik modal dan patriarki direpresentasikan dalam diri Tuan, sementara kelas pekerja direpresentasikan dalam diri Nyonya, yang tidak memiliki kuasa untuk memper-tahankan hak miliknya karena harus dibeli dalam kendali Tuan.
Dalam kondisi inilah fetisisme ideologi itu beroperasi. Nyonya (kelas pekerja, tereks-ploitasi) dan Tuan (pemilik modal, majikan, mengeksploitasi)  terfokus pada struktur kapitalisme yang dibangun di atas hubungan pertukaran. Sebagai akibat dari beroperasinya ideologi ini, Nyonya  perlahan meyakinkan diri  bahwa meskipun sangat sulit baginya untuk memperoleh uang, tidak ada yang salah secara inheren dalam hubungan pertukaran spesifik yang telah dimasukinya karena hidup – dalam semua dimensinya – adalah semata-mata satu sistem kolosal dari hubungan pertukaran.
Opresi dan eksploitasi kapitalisme/patriarki yang direpresentasi dalam drama tersebut tergambar melalui menggunaan latar yang berkembang dari babak I hingga babak IV; yaitu secara berturut-turut: teras rumah, ruang tamu, ruang makan,  di dalam kamar (tidur). Dari segi hak kepemilikan maupun eksistensi, latar itu menggambarkan demensi yang paling luar, yaitu teras rumah, kemudian masuk ke ruang tamu; lalu masuk ke wilayah yang mulai privasi yaitu rang makan; dan yang terakhir wilayah yang paling privasi yaitu kamar tidur. Penggunaan latar ini dapatlah dimaknai bahwa opresi dan eksploitasi dalam transaski patriarki terhadap perempuan hingga masuk ke wilayah yang paling privasi. Bahkan adegan-adegan akhir babak IV, eksploitasi ini sampai ke wilayah tubuh, suatu wilayah yang seharusnya perempuan mempunyai otonomi atasnya, berikut kutipannya.

Nyonya            : Tuan, bagaimana caranya agar Tuan tidak memegang kakiku lagi?
Tuan                : Sebagaimana siasat Nyonya selama ini.
Nyonya            : Jadi, Tuan juga akan membeli tumitku.
Tuan                : Daripada darah Nyonya naik ke kepala?
Nyonya            : Baik. Bila Tuan telah menyerahkan uangnya, segera lepaskan kakiku.
Tuan                : Ya, Nyonya.
Nyonya            : Bayarlah.
Tuan                :Berapa? Seratus?
Nyonya            : Naik.
Tuan                : (Pegangan Tuan naik sedikit). Dua ratus.
Nyonya            : Naik lagi.
Tuan                : (Pegangan Tuan naik sedikit lagi). Tiga ratus?
Nyonya            : Naik  lagi…..


4.2 Citra Diri dan  dan Segmentasi Perempuan
Feminis Marxis menyarankan bahwa untuk memahami opresi perempuan dalam masyarakat, perlulah dilihat hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. Dengan demikian pembahasan mengenai citra diri perempuan semata-mata dalam kaitannya dengan opresi perempuan.
Dalam drama Nyonya-nyonya status pekerjaan perempuan beraneka ragam. Saat drama itu berlangsung Nyonya adalah ibu rumah tangga, istri dari seorang Datuk  yang tengah sakit kanker lidah dan dirawat di rumah sakit. Digambarkan bahwa dulu ia bekerja sebagai penangis bayaran pada upacara kematian – untuk memperoleh uang. Suatu pekerjaan yang memanfaat-kan strereotipe perempuan yang lemah, mengandalkan perasaan, dan wajar untuk menangis. Yang menarik, mengapa profesi ada, sangatlah dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Dengan kata lain, untuk melanggengkan tradisi budaya Minangkabau, profesi ini dibutuhkan.
Kondisi ini menyebabkan adanya citra diri perempuan bahwa mereka bertanggung jawab untuk melestarikan budaya dengan stereotipe mereka. Selain itu, status kerja dia sebagai ibu rumah tangga yang suaminya sakit -- membentuk citra diri “menjaga nama baik”.  Dalam keseluruhan drama ini motif tindakan tokoh untuk menjaga nama baik sangatlah dominan. Karena ingin menjaga nama baik itulah Nyonya tidak menginginkan kasus pembatalan jual belinya dibawa ke pengadilan. Oleh karena itulah, Tuan menjadikan hal ini ancaman untuk mengopresi Nyonya.
Citra diri  “menjaga nama baik” juga terjadi pada diri Kemenakan A,B,C; mereka mengopresi  Nyonya yntuk menyerahkan uang hasil penjualan tanah pusaka mereka. Dengan melakukan “tipuan” yang mengatakan mereka punya bukti dari Datuk, mereka meminta uang itu. Hal ini menyebabkan Nyonya memberikan uang hasil penjualan empat petak marmer dan kursi tamu. Ternyata uang yang diminta kemenakan ini akan dipakai untuk membiayai pe-rawatan datuk di rumah sakit. Dengan demikian nama mereka sebagai kemekanan tetaplah baik secara adat karena mereka bertanggung jawab terhadap paman mereka.
Dalam kekerabatan  Mingangkabau yang bergaris matrilineal, hubungan antara paman dengan kemenakan dari garis ibu sangatlah kuat. Paman lebih bertanggung jawab kepada kemenakan (anak dari sudara perempuannya) dibanding dengan anaknya sendiri. Seorang kemenakan juga mempunyai hubungan yang erat dengan paman dibanding dengan ayahnya sendiri. Dalam hubungan anak, ibu, dan paman (saudara laki-laki ibu) inilah pola pewarisan terjadi (cf. Junus, 1999 dan http://bundokanduang.wordpress.com/2008/05/15/pengaturan-harta-pusaka/). Dalam konteks inilah, motif meminta bagian penjualan harta pusaka dilakukan oleh tokoh Kemenakan A,B,C, terhadap Nyonya.
Citra diri “menjaga nama baik” yang dimiliki Nyonya dan Kemenakan adalah berbeda. Perbedaan ini disebabkan segmentasi mereka yang berbeda dalam masyarakat dan budaya. Meskipun Nyonya adalah istri Datuk, namun dia berada di luar garis kekerabatan Datuk dan Kemenakan. Dengan demikian, meskipun sama-sama perempuan,  pola hubungan antara Kemenakan dan Nyonya lebih diwarnai pola mengopresi dan diopresi. Kemenakan mengopresi Nyonya, dan Nyonya diopresi Kemenakan karena segmentasi mereka yang berbeda.
Hal yang berkaitan dengan citra diri perempuan ini adalah usaha memperoleh uang. Betapa pentingnya uang bagi Kemenakan untuk menjaga citra diri mereka. Hal ini menyebabkan mereka bersaing dan mengopresi Nyonya, yang  secara budaya berada di kelas yang lebih rendah.
Dan ternyata di antara Kemenakan A, B, dan C sendiri terjadi persaingan untuk memperoleh besarnya uang yang didapat dari memeras Nyonya. Persaingan itu didasarkan dari pencitraan diri mereka yang dipengaruhi oleh status golongan kepegawaian suami. Dengan demikian di antara para kemenakan itu sendiri, berdasarkan status golongan kepegawaian suami mereka, mereka telah mensegmentasikan diri. Karena segmentasi yang berbeda inilah, terjadi opresi. Kutipan berikut berfungsi untuk menutup pembahanan mengenai citra diri dan segmentasi perempuan.

Ponakan C       : Kita memang mempunyai hak yang sama. Tapi, dalam hal tertentu selalu
  berbeda.
Ponakan B       : Jadi perbedaannya berdasarkan apa?
Ponakan C       : Berdasarkan keperluan. Keperluanku lima ratus ribu.
Ponakan B       : Dan, keperluanku hanya dua ratus hanya dua ratus ribu?
Ponakan C       : Kau istri pegawai rendah, perbelanjaanmu tentu rendah pula.
Ponakan B       : Apa hubungan pembagian ini dengan status kepegawaian suami?
Ponakan C       : Istri pegawai rendah dan istri pegawai tinggi punya keperluan yang berbeda. Di
  mana-mana begitu, kan. Masa kau lupa pangkat suamimu?
Ponakan B       : Wah, bagaimana ini? Tidak adil.
Ponakan C       : kalau mau dapat bagian yang sama, suamimu harus naik pangkat dulu empat
 kali lipat. Dan, itu tidak bakal terjadi dalam dunia kepegawaian.

5.         Penutup
Masalah kapitalisme seperti uang, tawar-menawar, dan untung-rugi banyak direpresentasikan dalam dialog drama Nyonya-Nyonya karangan Wisran Hadi. Berdasarkan pisau analisis  teori feminis sosialis,  tulisan ini difokuskan pada opresi dan eksploitasi dalam transaksi serta citra diri dan segmentasi perempuan.
Pembicaraan dalam transaksi yang mencakup tawar-menawar, uang, dan untung rugi – diwarnai oleh opresi dan eksploitasi. Tindakan Tuan untuk membeli ini merupakan investasi, penanaman modal. Suatu tindakan yang dari kacamata feminis sosialis merupakan kekuasaan kapitalis dan patriarki untuk mengopresi dan mengeksploitasi perempuan. Dalam naskah drama ini pemilik modal dan patriarki direpresentasikan dalam diri Tuan, sementara kelas pekerja direpresentasikan dalam diri Nyonya, yang tidak memiliki kuasa untuk mempertahankan hak miliknya karena harus dibeli dalam kendali Tuan. Dalam kondisi inilah fetisisme ideologi itu beroperasi. Nyonya (kelas pekerja, tereksploitasi) dan Tuan (pemilik modal, majikan, mengeksploitasi)  terfokus pada struktur kapitalisme yang dibangun di atas hubungan pertukaran. Sebagai akibat dari beroperasinya ideologi ini, Nyonya  perlahan meyakinkan diri  bahwa meskipun sangat sulit baginya untuk memperoleh uang, tidak ada yang salah secara inheren dalam hubungan pertukaran spesifik yang telah dimasukinya karena hidup – dalam semua dimensinya – adalah semata-mata satu sistem kolosal dari hubungan pertukaran.
Citra diri “menjaga nama baik” yang dimiliki Nyonya dan Kemenakan adalah berbeda. Perbedaan ini disebabkan segmentasi mereka yang berbeda dalam masyarakat dan budaya. Meskipun Nyonya adalah istri Datuk, namun dia berada di luar garis kekerabatan Datuk dan Kemenakan. Dengan demikian, meskipun sama-sama perempuan,  pola hubungan antara Kemenakan dan Nyonya lebih diwarnai pola mengopresi dan diopresi. Kemenakan mengopresi Nyonya, dan Nyonya diopresi Kemenakan karena segmentasi mereka yang berbeda.Hal yang berkaitan dengan citra diri perempuan ini adalah usaha memperoleh uang. Betapa pentingnya uang bagi Kemenakan untuk menjaga citra diri mereka. Hal ini menyebabkan mereka bersaing dan mengopresi Nyonya, yang  secara budaya berada di kelas yang lebih rendah.
Dengan demikian, meski latar budaya drama ini adalah budaya Minangkabau yang hubungan kekerabatannya matrilineal; permasalahan di luar kekerabatan tetaplah patrilineal. Dalam struktur ekonomi di Minangkabau, kekuatan kapitalisme menyebabkan laki-laki mengopresi dan mengekslpoitasi perempuan.

Post a Comment for "REPRESENTASI PEREMPUAN DAN KAPITALISME DALAM DRAMA NYONYA-NYONYA KARYA WISRAN HADI"