Contoh Drama BUNGA RUMAH MAKAN Karya Utuy Tatang Sontani
BUNGA
RUMAH MAKAN
Karya : UTUY T. SONTANI
Pertunjukan Watak Dalam Satu babak
Diketik ulang dari Naskah Terbitan
Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P.
DAN K.
- Ani, gadis pelayan
rumah makan “Sambara”
- Iskandar, pemuda
pelancong
- Sudarma, yang punya
rumah makan “Sambara”
- Karnaen, pemuda anak
Sudarma
- Usman, kyai kawan
Sudarma
- Polisi
- Suherman, pemuda
kapten tentara
- Rukayah, kawan Ani
- Perempuan yang
belanja
- Pengemis
- Dua pemuda pegawai
kantoran
Panggung merupakan ruangan
rumah makan, dialati oleh tiga stel kursi untuk tamu, lemari tempat minuman,
rak kaca tempat kue-kue, meja tulis beserta telepon, radio dan lemari es. Pintu
kedalam ada di belakang dan pintu keluar ada di depan sebelah kiri.
ADEGAN 1
KARNAEN : (duduk menghadap meja tulis, asyik menulis).
ISKANDAR : (masuk dengan rambut kusut dan langkah
gontai, memandang ke arah pintu ke belakang).
KARNAEN : (berhenti menulis). Ada keperluan apa, saudara?
ISKANDAR : Tidak!
(pergi keluar).
KARNAEN : (heran memandang, kemudian melanjutkan
menulis).
ADEGAN 2
KARNAEN : (berdiri). An! Ani!
ANI : (dari dalam). Ya, mas!
KARNAEN : Sudah
selesai berpakaian?
ANI : (tampil). Sudah lama selesai, mas.
KARNAEN : Tapi
mengapa diam saja di belakang?
ANI : Saya
membantu pekerjaan koki.
KARNAEN : Who,
engkau turut masak?
ANI : Tidak
mas, hanya memasak air. Timbangan diam tidak ada kerja, supaya tidak merasa
kesal.
KARNAEN : Tapi
akupun suka melihat engkau masak, An. Apalagi karena dengan begitu, engkau akan
kian jelas kelihatan sebagai wanita yang akan jadi ratu rumah tangga.
ANI : (pergi mengambil lap di atas gantungan).
Ah, mas, bila mendengar perkataan ..rumah tangga” saya suka gemetar. Saya masih
suka bekerja seperti sekarang ini. (mengelap
radio).
KARNAEN : Sampai
kapan engkau berpendirian demikian, An?
ANI : (tetap mengelap radio, membelakangi Karnaen).
Saya bukan Tuhan mas, tak dapat menetapkan waktu. (melihat kearah Karnaen). Kita setel radionya, ya mas?
KARNAEN : Ah,
di pagi hari begini tidak ada yang aneh. (melangkah
mendekati Ani). Dan daripada mendengar radio aku lebih suka mendengar
engkau menceritakan pendirianmu. Engkau lebih senang jadi pelayan daripada
mengurus rumah tangga, An?
ANI : (berdiam perlahan-lahan menjauhi Karnaen).
Saya tidak mengatakan, bahwa saya lebih senang jadi pelayan daripada mengurus
rumah tangga, mas. Tapi saya belum hendak memikirkan berumah tangga, sebab
sayamasih senang bekerja.
KARNAEN : Tapi,
An, ketika engkau dulu kubawa kesini keinginanku bukan hanya melihat engkau
jadi pelayan di sini saja. Aku ingin melihat engkau menjadi wanita yang
sungguh-sungguh wanita. Dan wanita yang kumaksudkan itu, ialah wanita yang
cakapmengurus rumah tangga.
ANI : (terkulai menundukkan kepala). Mas, saya
tiada mempunyai perkataan untuk menyatakan terima kasih atas kebaikan budi mas,
sudah membawa saya kesini. Tapi, ketika saya datang disini dulu, saya tiada
ingin lebih dari jadi pelayan, jadi pegawai sebagaimana kesanggupannya orang
miskin didalam mencari sesuap nasi.
KARNAEN : (terdiam memalingkan muka).
TELPON (berbunyi)
ANI : (memandang kearah telpon).
KARNAEN : Tentu
dari kapten Suherman, untukmu, An.
ANI : (melangkah menuju meja tulis, tapi baru dua
langkah berhenti lagi). Barangkali untukmu, mas.
KARNAEN : (memandang Ani, kemudian segan menuju meja
tulis, mengangkat telpon). Ya, di sini rumah makan Sambara. Tuan Sudarma
belum datang. Saya anaknya. Ya. (telepon
diletakkan, terus bermenung lalai).
ANI : (membelakangi Karnaen, mengelap rak)
ADEGAN 3
PEREMPUAN
YANG BELANJA (masuk membawa kantong besar
diisi barang belanjaan).
ANI : O,
nyonya! Silakan masuk. (menghampiri, lalu
meraba-raba kantong). Rupanya baru pulang dari pasar, ya? Oh! Nyonya
membeli sandal juga. Berapa harga sandal begitu, nyonya?
PEREMPUAN : Tiga
rupiah. Mahal , nona. Saya beli karena saya butuh saja. (mengeluarkan sandal dari kantong, memperlihatkan sandal kepada Ani).
ANI : Tapi
kuat dan bagus nyonya. Berani saya membeli tiga rupiah. (memberikan lagi sandal).
PEREMPUAN : Saya
pilih yang begini, sebab saya sudah tua. Untuk kaki nona tentu saj mesti lebih
bagus dari ini. Dan saya lihat tadi di sana
memang ada yang cocok sekali dengan kecantikan nona.
ANI : (setelah terdiam sejenak). Eh, kopi susu
atau susu coklat yang mesti saya sajikan untuk nyonya?
PEREMPUAN : Saya
hendak membeli manisan belimbing. Masih ada?
ANI : O,
ada, nyonya. Berapa puluh?
PEREMPUAN : Dua
puluh saja, lebih dari dua puluh, uangnya tidak cukup.
ANI : (pergi ke tempat kue-kue, mengambil,
menghitung dan membungkus manisan belimbing).
KARNAEN : (berjalan kea rah pintu keluar).
ANI : Hendak
kemana, mas?
KARNAEN : Ada perlu dulu sebentar.
(terus keluar).
ANI : (memberikan bungkusan kepada perempuan).
Hanya ini saja nyonya?
PEREMPUAN : (memberikan uang). Ya, ini saja. Betul satu
rupiah?
ANI : Betul
nyonya. (menerima uang). Terima
kasih.
PEREMPUAN : Terima
kasih kembali.
ANI : Mau
terus pulang saja nyonya?
PEREMPUAN : Betul.
Maklum di rumah banyak kerja. (tiba-tiba
memandang Ani, terus menghela nafas). Ah, sayang anak saya yang laki-laki
sudah meninggal dunia.
ANI : Mengapa
nyonya?
PEREMPUAN : Kalau
dia masih hidup,… ya kalau dia masih hidup, mau saja memungut nona sebagai
menantu.
ANI : Ah!
PEREMPUAN : Sudah,
ya. Permisi. (berjalan keluar).
ANI : Selamat
bekerja di rumah, nyonya.(mengantar
sampai ke pintu).
ADEGAN 4
ANI : (pergi ke belakang sambil bernyanyi-nyanyi).
PENGEMIS : (masuk perlahan-lahan dengan kaki pincang,
melihat kekiri kekanan, ke rak tempat kue-kue, kemudian menuju rak itu dengan
langkah biasa, tangannya membuka tutup toples hendak mengambil kue).
ANI : (tampil dari belakang). Hei! Engkau mau
mencuri ya!
PENGEMIS : (cepat menarik tangan, menundukkan kepala)
ANI : Hampir,
tiap engkau datang disini, engkau kuberi uang. Tak nyana, kalau sekarang engkau
berani berani datang di sini dengan maksud mencuri.
PENGEMIS : Ampun,
nona, ampun.
ANI : Ya,
kalau sudah ketahuan, minta ampun.
PENGEMIS : Saya
tak akan mencuri, kalau saya punya uang.
ANI : Bohong!
PENGEMIS : Betul,
nona, sejak kemarin saya belum makan.
ANI : Mau
bersumpah, bahwa engkau tak hendak mencuri lagi?
PENGEMIS : Demi
Allah, saya tak akan mencuri lagi, nona. Asal…
ANI : Tidak.
Aku tidak akan memberi lagi uang padamu.
PENGEMIS : (sedih). Ah, nona, kasihanilah saya..
ANI : Tapi,
mengapa tadi kau mau mencuri?
PENGEMIS : Tidak,
nona, saya tidak akan sekali lagi. Kan
saya sudah bersumpah. Ya, saya sudah bersumpah.
ANI : (mengambil uang dari laci meja). Awas,
kalau sekali lagi kamu mencuri!
ADEGAN 5
SUDARMA : (masuk menjinjing tas, melihat kepada
pengemis). Mengapa kau ada di sini? Ayo keluar!(kepada Ani). Mengapa dia dibiarkan masuk, An?
ANI : Hendak
saya beri uang.
SUDARMA : Tak
perlu. Pemalas biar mati kelaparan. Toh dia datang hanya mengotorkan tempat
saja.
ANI : (melempar uang kepada pengemis). Nih!
Lekas pergi.
PENGEMIS : Terima
kasih nona, moga-moga nona panjang umur.
SUDARMA : Ayo
pergi. Jangan kau mendongeng pula. Lekas dan jangan datang lagi disini!
PENGEMIS : (pergi keluar dengan kaki pincang).
SUDARMA : Lain
kali orang begitu usir saja, An. Jangan rumah makan kita dikotorinya (dengan suara lain). Tak ada yang
menanyakan aku?
ANI : Ada , tapi entah dai mana.
Karnaenlah yang menerima telponnya tadi.
SUDARMA : Anakku
sudah biasa lalai. Barusan dia ketemu di jalan, tapi tidak mengatakan apa-apa.
(mengangkat telpon). Sembilan delapan
tiga.
ANI : (mengelap kursi).
SUDARMA : (kepada Ani). Meja ini masih kotor, An.
ANI : (mengelap meja).
SUDARMA : (dengan telpon). Tuan kepala ada?-Baik-baik,
(menunggu). Waaah, kalau sudah banyak
uangnya lama tidak kedengaran suaranya, ya? -Ini Sudarma, bung. -Ha ha ha,
betul! Biasa saja, menghilang sebentar untuk kembali berganti bulu. (tertawa). -Tapi bung, bagaimana dengan
benang kanteh yang dijanjikan itu? -Ya, ya, benang kanteh. -Ah, ya! -Bagus, bagus.
Lebih cepat, lebih nikmat.-Ya, ya, sebentar ini juga saya datang. Baik, baik. (telpon diletakkan, kepada Ani). Aku
hendak pergi ke kantor pertemuan. Kalau ada yang menanyakan, baik perantaraan
telpon atau datang, tanyakan keperluannya lalu kau catat, ya An? (melangkah).
ANI : Ya.
SUDARMA : Eh,
jika nanti Usman datang disini, suruh dia menyusul aku ke kantor pertemuan. Dan
engkau jangan bepergian.
ANI : Baik.
SUDARMA : (pergi keluar).
ADEGAN 6
ANI : (menyetel radio, membuka majalah
melihat-lihat isinya).
USMAN : (masuk). Mana tuan Sudarma,
An?
ANI : (mengendurkan radio). Barusan pergi ke
kantor pertemuan, paman.
USMAN : Who, katanya dia akan menunggu aku disini.
ANI : Ada juga pesannya kepada
saya, supaya paman menyusulnyake kantor pertemuan.
USMAN : Dia itu, lepas sebentar saja dari mata, sudah sukar dikejar.
ANI : Sejak
dari mana paman mengejar dia?
USMAN : Mulai dari rumahnya kami bejalan bersam-sama. Tapi ditengah jalan,
dia meninggalkan. Katanya mau menunggu aku di sini. Begitulah mertuamu, An!
ANI : (berdiri). Mertua saya?
USMAN : Akan jadi mertuamu maksudku.
ANI : Tapi,
paman, dari mana datangnya anggapan itu?
USMAN : Tidak dari mana-mana, hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan
dalam pergaulan hidup. Menurut kepantasan, siapa berani berani mengatakan tidak
pantas engkau jadi istri Karnaen. Menurut kebiasaan, engkau dan Karnaen itu
sudah bergaul rapat sekali, bukan?
ANI : (menutup siaran radio). Tapi, paman…
USMAN : Ah, pendapat orang tua tak usah kau bantah. Tapi betul tadi tuan
Sudarma menyuruh aku menyusul?
ANI : Ya.
USMAN : Ke kantor pertemuan katamu?
ANI : Betul.
USMAN : Biar hendak kususul kesana. (berjalan keluar).
ADEGAN 7
ANI : (menghela nafas, melangkah menuju pintu
keluar seraya meninju-ninjukan kepalan tangan kanan kepada tangan kiri, di
pintu, berdiri, melihat keluar; setelah menghela nafas, berjalan lagi menuju
meja tulis;duduk di atas kursi, sebentar kemudian sudah berdiri lagi, terus
merenung; cepat memandang ke arah telpon, tangannya diulurkan kesana, tapi
cepat ditarik lagi, terus merenung menggigit-gigit bibir; lama dulu baru
mengulurkan lagi tangan ke arah telpon dan
sekali ini terus mengangkatnya). -Minta disambung dengan tiga tiga lima sembilan. (menunggu). Asrama Batalyon Lima disini?
Minta bicara dengan tuan kapten Suherman.- sudah pergi? – o, tidak, tidak
penting. Katakan saja dari Ani, dari rumah makan Sambara.- ya.- terima kasih. (telpon diletakkan).
ADEGAN 8
ANI : (merenung bersandar kepada meja tulis)
PEMUDA PEGAWAI KANTORAN (masuk berdua)
PEMUDA 1 : Selamat
pagi!
ANI : Selamat
pagi.
PEMUDA 1 : (kepada kawannya). Kau mau minum apa?
PEMUDA 2 : Kita
mau minum? Apa tidak akan terlambat ke kantor nanti?
PEMUDA 1 : Ah,
masih pagi. (duduk di kursi). Susu
saja ya?
PEMUDA 2 : Terserah.
PEMUDA 1 : (kepada Ani). Minta susu dua gelas nona.
ANI : (pergi ke belakang).
PEMUDA 2 : Kau
bilang dia menggembirakan. Mana menggembirakannya?
PEMUDA 1 : Aku
juga tidak mengerti, mengapa dia sekarang sedingin itu. Kemarin dia lain lagi
kelihatannya.
PEMUDA 2 : Rupanya
harus kita yang memulai.
PEMUDA 1 : Tapi
sedingin itu aku tak sanggup.
PEMUDA 2 : Dia
malu, masih kanak-kanak.
PEMUDA 1 : Ah,
masa sebesar itu kanak-kanak.
ADEGAN 9
ISKANDAR : (masuk, melihat kepada tamu-tamu, lalu duduk
di kursi).
ANI : (tampil membawa baki diisi dua gelas susu;
melihat kepada Iskandar, lantas mempercepat langkah menuju meja yang dihadapi
pemuda-pemuda). Kuenya apa, saudara? Tartyes atau lapis legit?
PEMUDA 1 : Mana
yang lebih enak?
ANI : Yang
lebih enak tentu yang lebih mahal harganya.
PEMUDA 1 : Tapi
anehnya saya ini tidak suka kepada yang enak.
ANI : Mengapa?
PEMUDA 2 : Sebab
dia bukan manusia biasa, nona. Keluarbiasaannya ialah, kalau nona sudah satu
kali kenal dengan dia, maka dia….
PEMUDA 1 : Ya,
nanti saya akan menelpon kesini. Asal saya sudah diberi tahu nama nona dan
nomor telpon di sini.
ANI : Tapi
saya hanya mau menerima, bila yang dibicarakan dalam telpon itu sungguh-sungguh
penting.
PEMUDA 2 : Itulah
pula keanehan nona! (kepada kawannya).
Tinggal kau tanyakan saja apa yang ditafsirkan “penting” oleh nona itu.
ISKANDAR : (pergi keluar).
ANI : (memperhatikan Iskandar).
PEMUDA 1 : Ya,
apa gerangan, nona, yang penting untuk nona itu?
ANI : Ah,
saya tidak tahu. (mengundurkan diri,
pergi ke belakang).
PEMUDA 2 : Jinak-jinak
merpati!
PEMUDA 1 : Dan
itulah yang menggembirakan hatiku.
PEMUDA 2 : Hendak
kau telpon kesini nanti?
PEMUDA 1 : Ah,
jangan dulu. Jangan tergesa-gesa.
PEMUDA 2 : Engkau
masih takut.
PEMUDA 1 : (minum gembira).
ADEGAN 10
SUHERMAN : (masuk). An!
PEMUDA-PEMUDA (memandang
kepada yang datang).
ANI : (tampil). Oh, mas Herman. (gembira mendapatkan). Barusan tadi saya
telpon mas ke asrama.
SUHERMAN : O,
ya?
ANI : Saya
tak sabar menunggu, mas, padahal susu untukmu sudah lama kusediakan. Saya takut
kalau-kalau mas tidak akan datang.
SUHERMAN : Kapan
aku dusta padamu, bungaku?
ANI : Sampai
sekarang belum pernah.
SUHERMAN : Tapi
setelah aku datang disini, tak hendak aku kau beri minum, agar jasmaniku segar
menghadapi engkau?
ANI : Ah,
maaf, mas. Hampir saja lupa karena kesangatan gembira. Tapi karena sudah sejak
tadi disediakan, mas tak akan lama menunggu. (pergi kebelakang).
PEMUDA 1 : (berisyarat kepada kawannya menyuruh lekas
menghabiskan susu).
PEMUDA 2 : (minum menghabiskan susu).
SUHERMAN : (duduk di kursi).
ANI : (tampil membawa baki diisi gelas susu).
PEMUDA 1 : (mencegat). Berapa nona?
ANI : Oh!
Apa yang telah dimakan, saudara?
PEMUDA 1 : Hanya
minum susu dua gelas.
ANI : Satu
rupiah.
PEMUDA 1 : (memberikan uang).
ANI : (menerima uang). Terima kasih.
PEMUDA 1 : Terima
kasih kembali (kepada kawannya).
Mari!
PEMUDA 2 : (berjalan mengiringkan kawannya keluar).
ADEGAN 11
ANI : (mendapatkan Suherman). Ini saya sendiri
yang bikin, mas, bukan koki.
SUHERMAN : (hendak menyalakan api untuk rokok).
Bagus!
ANI : Bolehkah
saya menyalakan api, mas?
SUHERMAN : Tentu,
saja, bungaku.
ANI : (menyalakan api, membakar rokok di bibir
Suherman).
SUHERMAN : Tak
bosan aku memandang wajahmu.
ANI : Tapi
kapan mas akan menepati janji mengajak saya jalan-jalan?
SUHERMAN : (minum dulu). Janji seorang tentara
adalah janji yang tidak kosong. Tapi waktunya belum mengijinkan.
ANI : Banyak
pekerjaan, mas?
SUHERMAN : Ya,
dan pekerjaan tentara diikat oleh disiplin.
ANI : Tapi,
mas gembira saja ya? Barangkali karena sudah banyak yang dilihat. (duduk didepan Suherman). Jika mas belum
sempat membawa saya jalan-jalan, dapatkah mas sekarang bercerita kepada saya
sebagai gantinya jalan-jalan?
SUHERMAN : Bercerita?
Tapi cerita tentang apa?
ANI : Tentang…..
ya, misalnya tentang tempat-tempat yang sudah mas datangi, yang menggembirakan
mas. Biar saya turut gembira karena mendengarkan.
SUHERMAN : Tempat
yang menggembirakan? Hm, ya, aku sudah pergi ke utara sampai ke pantai, ke
selatan memasuki rimba, ke barat, ke timur, dan mendapat tempat yang paling
menggembirakan di….. coba terka! Di mana?
ANI : Di
mana, mas?
SUHERMAN : Di
sini, sebab disini ada engkau!
ANI : Jika
begitu, tidak usah saja pergi dari sini?
SUHERMAN : Pergi
dari sini bagaimana?
ANI : Ah,
mas, seringkali saya ingin pergi, sebab seringkali saya merasa kesal. (menundukkan kepala). Bagaimana, mas, supaya
saya tidak kesal?
SUHERMAN : (memegang dagu Ani, menegakkan mukanya).
Sekarang kesal juga berhadapan dengan aku?
ANI : Ti..
tidak.
SUHERMAN : Tersenyumlah,
supaya akupun tidak kesal memandanginya.
ANI : (tersenyum).
SUHERMAN : Hm,
siapa bilangengkau tidak indah? Segar rohaniku menghadapi engkau.
ANI : Tapi…….
Akan sering mas menengok saya?
SUHERMAN : Sudah
pasti, bungaku!
ANI : Dan
janji tentara adalah….
SUHERMAN : (berdiri) janji yang tidak kosong.
ANI : Saya
percaya.
SUHERMAN : Tapi
pula tentara mesti selalu berdisiplin. Sekarang juga aku tak akan lama diam
disini. (minum menghabiskan susu).
ANI : Nanti
datang lagi disini?
SUHERMAN : (memberikan uang). Tentu.
ANI : Jam
berapa?
SUHERMAN : Takkan
sampai menjelang satu jam. Asal kewajibanku sekarang selesai dilakukan, aku
datang lagi dan ada lagi dihadapanmu.
ANI : Dan
janji tentara adalah….
SUHERMN : (memegang dagu Ani). Janji yang tidak
kosong. (berjalan, di pintu berdiri
memandang Ani). Kutinggalkan dikau bungaku. Segarlah, jangan layu sebelum
dipetik! (keluar).
ANI : (mengikut sampai pintu).
ADEGAN 12
ANI : (menyimpan gelas bekas susu kebelakang, masuk
lagi membersihkan meja dan kursi sambil tidak berhenti-henti menyanyi).
RUKAYAH : (masuk). Gembira sekali pagi ini, An!
ANI : Apa
tidak boleh manusia bergembira lantaran ada harapan?
RUKAYAH : Oh,
engkau rupanya hendak mengajak aku berfilsafat. Tapi harapan dari mana, An?
ANI : Dari
orang, Ruk. Dari orang yang mengerti kepada keinginanku.
RUKAYAH : O,
ya? Siapa gerangan orangnya?
ANI : Tak
usah kau tahu.
RUKAYAH : Oi,
agak degil pula engkau ini, ya?
ANI : Degil
atau tidak degil, tapi aku tak akan mengatakannya. Walaupun begitu, namun
keteranganmu sebagai kawanku sangat kubutuhkan.
RUKAYAH : Keterangan
apa?
ANI : Apa
artinya, Ruk, bila perempuan ingin menyerahkan segenap raga dan jiwanya kepada
laki-laki?
RUKAYAH : Oh, engkau sudah sampai kesana? Itu sama saja
dengan dua kali dua yaitu empat, perempuan ingin menyerahkan raga dan jiwanya
kepada laki-laki, yaitu …cinta..! patut mkemerah-merahan.
ANI : Betul
kemerah-merahan?
RUKAYAH : Sangkamu
engkau dapat menyembunyikan isi hati?
ANI : Ah,
kukira kebahagiaanku hanya impian, takkan sampai kelihatan orang lain.
RUKAYAH : Siapa
laki- lakinya, An?
ANI : Tidak
akan kusebutkan. Belum waktunya.
RUKAYAH : Cantik?
Jantan?
ANI : Itu
bukan soal untukku. Yang membahagiakan aku ialah lantaran dia mengerti kepada
keinginanku.
RUKAYAH : Aku
mengiri juga padamu. Tapi…
ANI : Tapi
apa?
RUKAYAH : Ah,
tidak.
ANI : Katakan,
Ruk. Katakan!
RUKAYAH : Ingin
aku bertanya, apa kehendak menyerahkan raga dan jiwa kepada laki-laki
itumenurut perasaan saja, atau juga menurut pikiran. Sebaba menurut pendapatku
cinta itu baru benar, jika pikiran turut menghitungnya.tapi ini hanya
pendapatku saja. An, pendapat seorang perempuan yang tak mau dipandang lebih
rendah oleh laki-laki, oleh umat yang umumnyamemandang hidup dengan pikiran.
Kalau aku menghadapi laki-laki dengan perasaan saja, alamat akan celakalah aku
sebagai perempuan.
ANI : Jadi
menurut engkau, laki-laki itu dianggap….
RUKAYAH : Musuh
tapi kawan!
ANI : Aku
belum kesana,Ruk
RUKAYAH : Tak
usah, nanti seperti aku, sukar mendapat tunangan, sehingga sekarang juga….. ya
sekarang aku mengiri padamu. Sungguh, aku mengiri. An, aku takut, kalau-kalau
engkau sejak sekarang takkan lagi jadi kawanku.
ANI : Ah,
masa, Ruk. Aku sekarang masih juga aku yang kemarin.
RUKAYAH : Bohong!
Engkau sekarang sudah jadi kepunyaan laki-laki itu. (berjalan). Sudahlah! Nanti kita bersua lagi.
ANI : Nanti
dulu! Engkau mau kemana? Tergesa-gesa benar.
RUKAYAH : Hendak
menegok dulu tempat untuk rapat nanti.
ANI : Nanti
kesini lagi?
RUKAYAH : Selama
engkau disini, belum dibawa laki-laki itu, tentu aku kesini.(terus berjalan keluar).
ADEGAN 13
ANI : (merenung).
ISKANDAR : (masuk, berdiri memandang Ani).
ANI : (terkejut, tegak memandang Iskandar). O,
engkau yang…… selalu datang disini bukan untuk belanja?
ISKANDAR : (duduk di atas meja). Ya, aku datang
disini bukan untuk belanja, tapi untuk……. Menengok, melihat engkau.
ANI : Untuk
menakutkan aku!
ISKANDAR : (tersenyum pahit). Terima kasih.
ANI : Apa
terima kasih?
ISKANDAR : Karena
aku kau takut. Aku tahu bagimu aku memang bukan seperti laki-laki yang banyak.
ANI : Ya,
tidak seperti yang banyak, tidak tahu adat kesopanan, duduk bukan ditempatnya
duduk.
ISKANDAR : (merokok).Aku manusia merdeka.
ANI : Tapi
disini rumah makan, bukan kebun tempat pelancong berbuat semaunya.
ISKANDAR : Pelancongan?
Hm, orang boleh berkata sesuka hatinya. Tapi bagiku, lebih baik aku disebut
pelancongan daripada seperti engkau diam disini untuk bermain sandiwara,
mendagangkan kecantikan, menipu laki-laki, supaya mau belanja kesini.
ANI : Berani
pula engkau menghina aku!
ISKANDAR : Maunya
engkau hanya dipuji saja.
ANI : Perduli
apa untukmu?
ISKANDAR : Sangkamu
aku seperti mereka, datang disini untuk minum karena ditipu oleh kecantikanmu?
ANI : Tutup
mulutmu!
ISKANDAR : Tidak!
Selama bibirku melekat pada badanku, aku berhak berkata kepadamu.
ANI : Hak?
Hak apa? Memangnya aku ini kerabatmu yang boleh kau hina? Memangnya rumah makan
ini rumahmu, tempat engkau berkata dan berbuat semaunya terhadap orang lain?
Ya, aku tahu, engkau menaruh dendam kepadaku, sebab kau cinta kepadaku, tapi
tak sanggup mengatasi laki-laki lain, lantaran engkau tidak bekerja, kecuali
mondar-mandir mengukur jalan.
ISKANDAR : (bangkit berdiri). Apa? Aku cinta padamu?
Hh, memangnya aku ini buta? Sangkamu aku suka melihat kecantikanmu? Bah! Apa
arti wajahmu.
ANI : Lekas
pergi! Tak sudi aku melihat mukamu. Dasar lancongan. Tak tahu adat. Gampang
saja membuka mulut.
ISKANDAR : Engkau
yang gampang membuka mulut memainkan bibir. Kau sangka bibirmu itu dipandang
bagus oleh semua orang?
ANI : Pergi!
Pergi!
ISKANDAR : Tidak!
TELPON (berbunyi).
ANI : (cepat mengangkat telpon). Ya, disin
rumah makan Sambara. –Tidak ada tuan, belum datang (telpon diletakkan, terus kepada Iskandar). Ayo pergi! Aku benci
melihat kau.
ISKANDAR : (diam memandang).
ANI : Engkau
tak akan pergi?
ISKANDAR : Tidak,
sebelum aku sendiri yang mau.
ANI : Engkau
rupanya bukan pelancongan saja, tapi setengah matang. Kau kira siapa yang lebih
berkuasa disini, engkau atau aku?
ISKANDAR : Hh,
mentang-mentang jadi pelayan, hendak mengaku berkuasa. Engkau tidak berkuasa
disini, tapi engkau disini dibelenggu, diperbudak. Cis! Katanya saja manusia
itu merdeka, tak tahunya kecantikannya sendiri jadi kedok yang membelenggu,
menyuruh dia disini mendustai diri sendiri dan menipu orang lain…
ADEGAN 14
KARNAEN : (masuk). Ada apa, An? Kedengarannya ribut.
ANI : Dia
orang setengah malang ,
mas. Datang disini untuk menghina mengejek saja.
KARNAEN : Suruhlah
dia pergi dari sini.
ANI : Sudah,
tapi dia tak mau pergi.
KARNAEN : (kepada Iskandar). Saya minta dengan
sangat, supaya saudara pergi meninggalkan tempat ini.
ISKANDAR : Perlu
apa saudara turut campur?
KARNAEN : Saya
orang disini.
ISKANDAR : Tapi
saya tidak berurusan dengan saudara. Saya berurusan dengan dia.
KARNAEN : Dari
itu, kalau saudara berurusan dengan dia, berarti saudara berurusan pula dengan
saya, sebab saya pelindung dia.
ISKANDAR : Patut!
KARNAEN : Apa?
ISKANDAR : Patut
jadi pelindung dia, sedap muka saudara tak sedap di mata.
KARNAEN : Engkau
di sini rupanya mencari perselisihan ya? Kalau begitu, atas nama ketertiban
rumah makan ini, engkau kuusir, mesti pergi sekarang juga. Jika tidak, nanti
kupanggil polisi.
ISKANDAR : Panggilah
polisi, supaya kian jelas, bahwa orang-orang disini dibelenggu, menggantungkan
diri kepada orang lain.
KARNAEN : Sekali
lagi aku bertanya, mau pergidari sini, tidak?
ISKANDAR : Tidak!
KARNAEN : (cepat mengangkat telpon). Minta kantor
polisi! –ya, ini kantor polisi? –di sini rumah makan Sambara. –saya minta
bantuan polisi , supaya lekas mendatangi kamidisini.-ada yang mengganggu
ketertiban, datangdisini mencari perselisihan. –dia mengejek, menghina kepada
kami. –boleh jadi dia gila. –sudah, tapi dia tak mau pergi. –ya, sekarang masih
ada di sini. –terima kasih! (telpon
diletakkan).
ISKANDAR : Itukah
keberanianmu, keberanian pelindung?
KARNAEN : Aku
manusia beradab, tahu aturan, bukan karena takut menghadapi engkau.
ISKANDAR : Hh,
manusia itu pakainnya saja yang bagus, tak tahu ia, bahwa itu hatinya lebih
kotor dari kakus. (berjalan hendak
keluar).
KARNAEN : (menghampiri seraya mengepalkan tangan).
Jangan lari pengecut!
ISKANDAR : Aku
manusia merdeka, tiada seorang juga yang berhak menyuruh dan menahan aku. (terus berjalan).
KARNAEN : (menjangkau bahu Iskandar). Diam!
ISKANDAR : (cepat memutar badan, meninju Karnaen).
KARNAEN : (jatuh terlentang).
ISKANDAR : (menjunjung kursi hendak membanting Karnaen).
ANI : (menjerit).
ISKANDAR : (melepaskan kursi dari pegangan, pergi keluar).
ADEGAN 15
ANI : (cepat mendapatkan Karnaen, menolong
membangunkan). Sakit, mas?
KARNAEN : (bangkit memijit-mijit tangan kiri). Ya.
ANI : Oh,
apa yang mesti kulakukan?
KARNAEN : Tariklah
oleh kedua belah tanganmu. (mengulurkan
tangan kiri).
ANI : (memegang tangan Karnaen dan menariknya).
KARNAEN : (menyeringai). Aduh! Sudah, An sudah
dulu!
ANI : (melepaskan tangan Karnaen).
KARNAEN : (memalingkan muka Ani dan memijit-mijit
tangan). Dapatkah selamanya engkau mengulurkan tangan kepadaku,
mengindahkan suara hatiku, An?
ANI : Saya
tidak mengerti, mas.
KARNAEN : (terkulai). Ya, engkau tak tahu menaruh
kasihan kepadaku. (berjalan
perlahan-lahan). Hanya jika aku memakai baju tentara, baru engkau mau
mengindahkan cintaku.
ANI : Ah,
mas, saya kian tidak mengerti.
KARNAEN : (duduk di kursi, membelakangi Ani).
Bukankah orang seperti Suherman yang kau indahkan dan kau anggap laki-laki yang
patut kau serahi baktimu?
ANI : (tertunduk). Mengapa mas sampai kesana
pula?engkau kusayangi, mas, kusayangi sebagai adik terhadap abang. Tak nyana
bila Suherman mas anggap sebagai saingan.
KARNAEN : (diam merengut memijit-mijit tangan).
ANI : (mengulaikan kepala).
ADEGAN 16
POLISI : (masuk). Tadi ada telpon
dari sini ke kantor polisi.
KARNAEN : (bangkit). Benar, saya yang telpon.
POLISI : Mana orangnya yang mengadakan keonaran itu?
KARNAEN : Sudah
pergi setelah meninju saya pula. Tapi kalu dicari, dia belum jauh larinya. Dia
mesti tertangkap, tuan. Mesti, sebab tangan saya sampai sakit begini.
POLISI : Sebelum dia meninju tuan, apa yang dilakukannya disini, sampai tuan
tadi menelpon kami?
KARNAEN : Menghina
nona itu. Saya tidak tahu bagaimana menghinanya, Cuma ketika saya datang
disini, kedapatan mereka sedang bertengkaran kata. Sebagai orang disini, saya
lalu menyuruh orang itu pergi meninggalkan tempat ini. Tapi membatu, sampai
terpaksa saya menelpon polisi.
POLISI : (kepada Ani). Nona dihina
bagaimana oleh orang itu?
ANI : Sebenarnya
orang itu sudah sering datang disini, tapi tidak selalu datang untuk belanja.
Begitu pula tadi, datangnya hanya untuk duduk di atas meja. Ketika saya cela
perbuatannya, dia malah terus mencela pekerjaan saya, caranya seperti di rumah sendiri
terhadap bujangnya, dengan mengeluarkan kata-kata yang tak patut dikatakan.
POLISI : Apa katanya kepada nona?
ANI : Bahwa
saya disini menjual kecantikan, bahwa saya disini jadi pendusta, penipu.
Lagipula ia berkata dengan marah-marah.
POLISI : Nona tidak bersikap apa-apa terhadap dia?
ANI : Saya
usir, tapi dia membatu.
POLISI : Tidak ada sangkaan, kalau-kalau orang itu gila?
KARNAEN : Boleh
jadi dia setengah matang, sebab pakaiannya juga sudah tak keruan, rambutnya
kusut, mukanya seram.
POLISI : Tidakkah orang itu memakai celana hitam, bajunya putih sudah kotor
disebelah punggungnya?
KARNAEN : Ya,
betul dia.
POLISI : Badannya tinggi kurus?
KARNAEN : Ya.
POLISI : Pelancongan! Tapi dia mudah dicari.
ADEGAN 17
SUDARMA : (masuk diiringkan Usman). Who, ada apa?
KARNAEN : Pelancongan
membikin keonaran disini.
SUDARMA : Lantas?
KARNAEN : Ya,
polisi ini hendak menguruskannya.
SUDARMA : Mana
orangnya sekarang? Kok, berani benar membikin keonaran di rumah makanku. Apa
yang dilakukannya disini?
KARNAEN : Dia
menghina Ani, meninju saya dan terus lari, karena itu (kepada polisi) akan tuan cari bukan?. Sebab saya tidak merasa puas.
POLISI : Kalau betul orang itu sebagaimana yang saya lukiskan tadi, niscaya
saya dapat mencarinya. Kami dari pihak polisi sudah tahu dimana dia sering ada.
KARNAEN : Saya
rasa, betul, tak salah lagi dialah orangnya.
POLISI : Baik, tuan, saya akan menjalankan kewajiban. Jika ia sudah
diketemukan, nanti tentu dibawa kemari. Dalam satu jam ini, jangan tuan dan
nona pergi dulu dari sini, sebab bagaimanapun juga, dalam satu jam ini saya
akan datang lagi kesini memberi kabar.( melangkah
hendak keluar).
SUDARMA : Nanti
dulu! Sebagai yang punya rumah makan , saya memberatkan pengaduan anak saya
itu, sebabbagaimanapun juga, orang yang membikin keonaran disini berarti hendak
merugikan perusahaan saya, bukan?
POLISI : Betul.
SUDARMA : Nah,
dari itu saya sangat mengharap, supaya dia lekas tertangkap, inign segera
kulihat batang hidungnya.
POLISI : (terus pergi keluar).
SUDARMA : (berjalan menuju meja tulis). Ada-ada
saja, rumah makanku mau dijadikan tempat adu tinju. (kepada Karnaen). Tapi tidak engkau yang salah?
KARNAEN : Kalau
saya yang salah, saya tidak akan berani menelpon polisi.
USMAN : Bagaimana sih, asalnya?
KARNAEN : Dia
orang setengah matang, paman. Mulanya datang disini mendapatkan Ani, waktu saya
tidak ada. Ketika saya datang disini, kedapatan Ani dan dia sedang bertengkaran
kata.
USMAN : O, begitu? (kepada Ani).
Apa yang ditengkarkannya, An?
ANI : Dia
mnghina saya, mengganggu saya.
USMAN : Tapi begitulah selama engkau tidak kawin. Engkau akan selalu
diganggu orang, akan selalu merasa tidak aman. Karena itu kunasihatkan, supaya
lekas saja kawin. Orang kawin nyata mendekati keselamatan, menjauhi kecelakaan.
Tidak sia-sia Tuhan mengadakan aturan mesti kawin kepada umatnya.
ANI : Tetapi
itu bukan lantaran saya tidak kawin, paman. Orang itu tidak sopan saja , boleh
jadi setengah matang.
USMAN : Kalau engkau punya suami, kan
tidak akan ada lagi laki-laki yang mau mengganggu engkau.
SUDARMA : (menghitung uang di atas meja tulis).
Tapi kalau dia sudah kawin, berarti akan meninggalkan pekerjaan disini. Itu tak
hendak kuijinkan.
USMAN : Apa alangannya setelah kawin dia tetap bekerja disini? Dengan
begitu malah memberi kesucian kepada rumah makan ini, sebab nanti tidak akan
ada lagi laki-laki yang datang disini dengan maksud hanya main-main dengan Ani.
Betul tidak, An?
ANI : Betul
juga, paman.
USMAN : Nah, kawinlah! Jangan jauh mencari suami, kawinlah dengan Karnaen.
KARNAEN : Tidak,
paman. Dia sudah ada mempunyai pemuda yang diidam-idamkannya.
USMAN : Lho, siapa?
KARNAEN : Suherman,
kapten tentara.
USMAN : Ah, kukira dia akan kawin dengan kamu.
SUDARMA : Mentang-mentang
engkau kyai, engkau dimana-mana terus saja menganjurkan kawin kepada orang yang
belum kawin. Seperti engkau saja yang nanti hendak membelanjai ongkos rumah
tangga suami isteri itu.
USMAN : Aku bicara atas nama pagar keselamatan.
SUDARMA : Nanti
dulu, jangan membicarakan kawin. Kawin perkara gampang, asal si laki-laki sudah
ada uang, tinggal jadi (kepada Ani).
Tapi, An, tadi tidak ada telpon untukku?
ANI : Ada .
SUDARMA : Dari
siapa?
ANI : Saya
lupa menanyakan dari siapa-siapanya.
SUDARMA : Kok
lupa! Kan
tadi aku berat berpesan supaya yang menanyakan aku, mesti kau catat dan ditanya
apa keperluannya. Jika begitu, sia-sia saja aku menggaji orang disini.
ANI : (menundukkan kepala).
SUDARMA : Itu
berarti melalukan keuntungan. Sebab orang yang menelpon itu sudah pasti
berurusan dagang.
ANI : Saya
tadi…… sedang kacau ingatan+.
SUDARMA : Ah,
kacau ingatan! Hanya yang sakit rohani, kacau ingatan.
USMAN : Memang sudah biasa, kacau ingatan itu jadi penyakit orang yang
belum kawin.
ANI : (menyapu-nyapu mata).
USMAN : Mengapa engkau menangis, An? (menghampiri).
ANI : Saya………
saya ingat kepada nasib, paman.
USMAN : Tapi mengapa mendadak sekali?
ANI : Saya
ini sendiri di dunia, tak ibu, tak bapa. (sedih).
Dan orang yang saya anggap tempat menumpangkan diri, ternyata tidak sayang. (mengisak).
USMAN : (menyapu-nyapu rambut Ani).
Sabar, nak, sabar. Orang sabar dikasihani Tuhan…….
KARNAEN : (pergi kearah pintu keluar).
SUDARMA : (tercengang memandang Ani).
ADEGAN 18
SUHERMAN : (masuk heran memandang).
KARNAEN : (melihat kepada Ani, melihat kepada Suherman).
Dia menunggu saudara, kapten Suherman.
SUHERMAN : Menuggu
saya bagaimana? Ada
apa sih yang terjadi di sini? Ada
apa yang terjadi, An?
ANI : (menyapu mata). Tidak… tidak ada apa-apa.
SUHERMAN : Saya
tidak mengerti. (kepada Karnaen). Apa
maksud saudara dengan dia menunggu saya itu?
KARNAEN : Bukankah
saudara cinta kepadanya?
SUHERMAN : Tapi
apa salahnya saya mencintai dia?
KARNAEN : Cinta
saudara tentu tidak hanya cinta saja.
SUHERMAN : Ya,
lantas?
KARNAEN : (memandang kepada Usman).
USMAN : Begini, anak muda. Menurut kebiasaan, cinta itu adalah bunga dari
perkawinan. Jadi……
ANI : (menyembunyikan muka dibelakang kedua belah
tangan). Sudah! Sudah! Jangan aku terus diombang-ambingkan. (mengisak).
SUHERMAN : Rupanya
saya datang disini sangat tidak kebetulan. Lebih tidak kebetulan lagi, karena
baru sekali ini saya mendengar orang hendak turut campur dengan cinta saya.
Dalam cita-cita saya, saya datang disini akan menemui kebahagiaan, tapi tenyata
malah disambut dengan hendak didikte, bahkan rupanya hendak disuruh kawin. Saya
bantah perkataan yang menyatakan, bahwa cinta itu bunga dari perkawinan, saya
tentang anggapan saudara-saudara yang memandang saya rendah, menyamakan saya
kepada anak kecil yang dimestikan menelan segala yang disuapkan kedalam
mulutnya.
USMAN : Ah, kamipun tidak memandang rendah kepada tuan.
SUHERMAN : Orang
menyuruh saya kawin itu tidak memandang rendah, tidak menganggap saya ini orang
tolol yang tidak tahu arti cinta kepada perempuan? Tidak, saya tidak merasa
senang dengan perkataan saudara. Saya malah merasa dihina.
USMAN : Saya juga tidak hendak menyuruh kawin.
SUHERMAN : Habis?
Sangka saudara, saya mencintai perempuan itu untuk kawin?
USMAN : Maksud kami tidak begitu, tapi……
ANI : Sudah!
Sudah! Saya tahu bahwa orang hanya suka kepada senyumanku, tidak suka kepada
air mataku. (menangis pergi ke belakang).
SUHERMAN : Betul-betul
datang saya disini sial! (melangkah).
SUDARMA : Nanti
dulu, tuan. Duduk-duduklah dulu. Minum kopi susu atau susu coklat? Nanti Ani
melayani tuan.
SUHERMAN : Tidak,
saya tak mau minum apa-apa dan tak akan datang lagi di sini. Selamat tinggal! (terus berjalan keluar).
SUDARMA : (kepada Usman). Engkau juga yang mengacaukan.
Engkau menghendaki keselamatan, tapi sikapmu mengacaukan, merugikan rumah
makanku. (mengeluarkan surat-surat dari
dalam tas, duduk menghadap meja tulis). Rumah makanku mau dijadikan tempat
tukang gado-gado. Seperti tiada lagi soal yang lebih penting dari perkara
kawin! (menyusun surat-surat). Hh,
kawin! Kawin!
USMAN : (mengambil botol limun dari
lemari, menuangkan isinya kedalam gelas, lalu duduk, minum).
ADEGAN 19
POLISI : (masuk mengiringkan Iskandar).
KARNAEN : (berdiri menyambut).
POLISI : (kepada Karnaen). Betul
ini, orang yang tuan maksudkan itu?
KARNAEN : Ya,
betul.
POLISI : Tapi, mana nona yang tadi?
KARNAEN : Ada di dalam (kepada Usman). Coba panggil dia, paman.
USMAN : An! Ini polisi datang! Kesini kau sebentar.
ANI : (tampil dengan perangai kusut).
POLISI : (kepada Ani). Inikah
orang yang tadi menghina nona itu?
ANI : (hampir tak kedengaran). Ya.
POLISI : (kepada Iskandar). Tadi
engkau sudah datang di sini dan mengadakan keonaran di sini. Engkau sudah
menghina nona itu dan meninju tuan ini. Betul tidak?
ISKANDAR : Saya
meninju dia, sebab dia hendak menahan saya di sini.
POLISI : Menahan bagaimana?
ISKANDAR : Saya
mau pergi dari sini, tapi mengapa dia memegang bahu saya?
KARNAEN : Sebab
dia hendak lari meninggalkan dosa, mencela mengejek perbuatan saya menelpon
polisi. Dikatakannya bahwa hati saya lebih kotor daripada kakus.
POLISI : (kepada Iskandar). Betul
engkau pernah berkata begitu?
ISKANDAR : Ya,
sebab saya merasa sebal, mengapa setelah dia turut campur dengan urusan saya
dan perempuan itu, lalu membawa-bawa polisi pula.
KARNAEN : Tapi
saya menelpon polisi, setelah dia takmau diusir, setelah saya peringatkan pula,
bahwa bila dia tidak mau pergi, saya akan minta bantuan polisi. Saya menelpon
polisi sebagai orang yang tak mau berselisih, sekalipun dia sudah seakan-akan
menantang berkelahi dengan mengejek menyebut tak sedap melihat muka saya.
ISKANDAR : (tajam menatap mata polisi). Saya akan
ditahan?
POLISI : Ya.
ISKANDAR : (dalam mulut). Akibat perempuan……
pendusta, penipu.
POLISI : Jangan ngomel lagi. Ayo, kita pergi!
ANI : (bangkit dari duduk). Nanti dulu!
POLISI : Ada
apa lagi, nona?
ANI : Mengapa
dia disalahkan?
POLISI : Who, kan kata nona tadi dia menghina nona. Itulah
salah satu dari kesalahannya.
ANI : Tidak!
(maju ke depan). Dia tidak salah.
Sayalah yang salah. Kalau harus ditahan, sayalah yang mesti ditahan. Jangan
dia, sebab dia tidak bersalah.
POLISI : Salah bagaimana?
ANI : Saya
tadi tidak terus terang, bahwa saya sesungguhnya….. sesungguhnya dia tidak
menghina saya. Sebaliknya, saya yang menghina dia.
POLISI : (memandang orang lain).
Jadi…. Jadi perkataan nona tadi, bahwa dia menghina nona itu tidak benar?
ANI : Ya.
POLISI : Tidak benar dia sudah melahirkan ejekan, menyebut penipu dan
sebagainya kepada nona?
ANI : Betul
dia berkata begitu, tapi tadi saya dungu, tidak mau terus terang, bahwa
sebenarnya…… sebenarnya apa yang dikatakannya itu mengandung kebenaran, bahwa
sebenarnya saya sudah dusta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
POLISI : Jadi nona sekarang merasa puas, sehingga urusan ini tidak perlu
dilanjutkan?
ANI : Ya.
KARNAEN : Tapi
saya belum puas dan minta supaya perkara ini dilanjutkan.
ANI : Boleh
dilanjutkan juga, dan saya sedia masuk bui.
POLISI : (kepada Karnaen). Soal
ini jadi soal remeh yang tidak perlu dibawa keatas, tuan. Asal antara tuan dan
dia tidak ada lagi perasaan apa-apa (kepada
Iskandar). Engkau masih dendam kepada tuan ini?
ISKANDAR : Buat
apa dendam kepadanya, terikat oleh lolongan anjing di tepi jalan hidupku?
POLISI : Maksudku, mau engkau dantuan ini maaf-memaafkan?
ISKANDAR : Sejak
saya meninggalkan dia tadi, dia sudah kumaafkan.
POLISI : (kepada Karnaen). Dia
sudah mengatakan begitu, tuan. Tinggal pihak tuan.
KARNAEN : (melihat kepada orang lain).
POLISI : Tuan mau memaafkan dia atau tidak?
KARNAEN : (perlahan-lahan). Ya, saya maafkan.
RUKAYAH : (masuk, heran memandang).
POLISI : Perkara ini sudah beres, (kepada
Iskandar). Engkau boleh pergi, tapi perhatian polisi kepadamu lebih
daripada waktu yang lalu, terutama sebelum engkau mengubah laku sebagai
pemalas, engkau akan terus diperhatikan polisi.
SUDARMA : Awas!
Sejak sekarang, engkau tak boleh datang lagi disini. Sekali lagi engkau berani
melancong kesini mendekati nona itu, akan kau tahu rasanya nanti.
ISKANDAR : (melangkah hendak keluar).
ANI : Nanti
dulu!
ISKANDAR : (berhenti berjalan memandang Ani).
ANI : Tunggu
dulu! (pergi ke belakang).
KARNAEN : (berdiri memandang Ani).
POLISI : Dia mau apa lagi?
SUDARMA : (tercengang). Entahlah!
RUKAYAH : (menghampiri Usman). Ada kejadian apa, paman?
USMAN : Walahualam. Kita lihat saja.
ADEGAN 20
ANI : (tampil membawa koper).
USMAN : Mau kemana, An?
ANI : Saya
mau keluar dari sini.
SUDARMA : Nanti
dulu! Nanti dulu! Jangan tergesa-gesa begitu, An. Siapa yang menyuruh engkau
keluar dari sini? Aku sayang kepadamu dan berjanji akan menaikkan gajimu, asal
jangan pergi dari sini.
ANI : Tidak!
Saya tak hendak diikat lagi. Saya mau hidup merdeka.
SUDARMA : Ah,
merdeka, merdeka bagaimana? Nanti engkau sukar mencari lagi pekerjaan, mencari
kesenangan seperti di sini.
ANI : Saya
tidak senang di sini, karena itu saya mau pergi. Saya harus jauhi segala
kepalsuan dalam rumah makan ini, dan akan pergi bersama orang jujur.
SUDARMA : Orang
jujur? Siapa?
ANI : (menunjuk Iskandar). Dialah yang jujur.
ISKANDAR : (tegak memandang Ani).
SUDARMA : Dia
jujur katamu? Dia pelancongan, An! Jangan matamu melek, tapi tidak melihat.
ANI : Mata
saya melek dan melihat, bahwa kebenaran ada padanya. Dia betul tidak bekerja,
tapi (kepada Iskandar). Jika engkau sudah tidak merasa sendiri lagi di dunia, akan
mau engkau bekerja?
ISKANDAR : Ya,
tentu.
ANI : Mau
engkau hidup bersama aku?
ISKANDAR : Mengapa
tidak?
ANI : (kepada Sudarma). Gaji saya yang belum
dibayar, saya minta supaya dihadiahkan kepada fakir miskin. (kepada Karnaen). Mas, saya doakan,
mudah-mudahan mas segera mendapatkan istri yang cakap mengurus rumah tangga. (pada Rukayah). Ruk, aku akan pergi!
RUKAYAH : (memegang tangan Ani). Tak salah kiranya
kataku tadi, An.
ANI : Bukan,
Ruk, aku yang sekarang bukan lagi aku yang tadi kau sindir. Aku akan berhenti
main sandiwara dan akan pergi bersama musuh-tapi-kawanku, mengawani dia sebagai
perempuan yang akan berjuang berdampingan.
RUKAYAH : Engkau
berkata lain dari tadi. Jika tadi aku mengatakan iri padamu untuk menyindir
belaka, sekarang aku mengiri padamu dengan sesungguh-sungguhnya.
ANI : Tapi,
Ruk, apa yang mesti kau irikan, kalau aku sekarang masih juga aku yang tadi?
Marilah kita pergi bersama.(melangkah).
ISKANDAR : Kopermu,
tidak berat?
ANI : Mau
kau bawa?
ISKANDAR : Ya,
sebagai laki-laki.
ANI : (menyerahkan koper).
POLISI : Nah, jika begitu engkau tidak malas, tidak lagi dicurigai polisi.
USMAN : Nanti dulu! Kamu berdua akan kawin?
ANI : Bisa
jadi, paman.
USMAN : Jika demikian, kusampaikan doa, moga-moga kamu berdua dilindungi
dan dikaruniai Tuhan selalu.
ANI : Mari,
Ruk, kita pergi! (berjalan keluar
disampingi Rukayah, diiringkan Iskandar).
ADEGAN 21
POLISI : (menepuk dahi). Bingung
juga kepalaku memikirkan mereka! (pergi
keluar).
SUDARMA : (kepada Usman). Engkau juga yang jadi
gara-gara semuanya ini. Engkau dengan anjuranmu : kawin! Kawin!
USMAN : Tapi aku menganjurkan kawin, tadinya aku mau menolong anakmu.
SUDARMA : Bah!
Menolong apa?
USMAN : Anakmu sudah lama ada cita-cita mau memperistrikan Ani. Dia minta
tolong kepadaku supaya Ani mau kawin dengan dia.
SUDARMA : (kepada Karnaen). Betul, Karnaen?
KARNAEN : Ya,
saya yang sial……
LAYAR
Priangan, Januari 1947
Post a Comment for "Contoh Drama BUNGA RUMAH MAKAN Karya Utuy Tatang Sontani"