PERBANDINGAN TEORI-TEORI PENDIDIKAN
TEORI-TEORI PENDIDIKAN
A. Teori Nativisme
1. Pengertian Nativisme
Nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan)
yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa
sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Nativisme adalah doktrin filosofis
yang berpengaruh besar terhadap pemikiran psikologi.
Teori nativisme muncul dari filsafat nativisma (terlahir) yaitu suatu
bentuk filsafat yang menyatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor
pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Nativisme dipelopori
oleh Arthur Schopenhauer, seorang filosof Jerman yang lahir antara tahun
1788-1860. Arthur berpendapat bahwa manusia dilahirkan telah membawa bakat
tersendiri yang cepat lambat bakat tersebut akan terwujud suatu saat nanti.
Inti ajarannya adalah bahwa perkembangan seseorang merupakan produk dari
faktor pembawaan yang berupa bakat. Aliran ini dikenal juga dengan aliran
pesimistik karena pandangannya yang menyatakan, bahwa orang yang “berbakat
tidak baik” akan tetap tidak baik, sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi
baik, begitu pula sebaliknya. Namun demikian aliran ini berpendapat bahwa
pendidikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan seseorang,
sehingga bila pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan pembawaan seseorang
maka tidak akan ada gunanya.
2. Faktor-Faktor perkembangan manusia dalam teori nativisme:
a. Faktor genetic, yaitu faktor gen
dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri
manusia. Contohnya adalah jika kedua orang tua anak itu seorang yang pandai,
maka anaknya memiliki pembawaan sebagai seorang yang pandai pula.
b. Faktor kemampuan anak, adalah faktor
yang menjadikan seorang anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam
dirinya.
c. Faktor pertumbuhan anak, adalah
faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan
dan perkembangan secara alami sehingga, jika pertumbuhan anak itu normal maka
dia akan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang
dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut
tidak bisa mengenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
3. Tujuan-tujuan Teori Nativisme
Didalam teori ini menurut G. Leibnitz Monad, “Didalam diri individu manusia
terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Arthur Schopenhauer
(1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak
lahir/ bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia
diharapkan:
a. Mampu memunculkan bakat yang
dimiliki
Seorang anak bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah
mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya.
b. Mendorong manusia mewujudkan diri
yang berkompetensi
Tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin berkembang, dibutuhkan
manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain. Sehingga
diharapkan setiap manusia bisa lebih kreatif dan inovatif dalam pengembangan
bakat dan minat menjadi manusia yang berkompeten yang bisa bersaing dalam
menghadapi tantangan zaman.
c. Mendorong manusia dalam menentukan
pilihan
Hidup adalah pilihan, dalam hal ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana
terhadap menentukan pilihannya, sehingga akan memunculkan sebuah komitmen dan
berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut karena meyakini bahwa sesuatu yang
dipilihnya adalah yang terbaik untuk dirinya.
d. Mendorong manusia untuk
mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam
pengembangan potensi diri yang dimiliki agar manusia itu memiliki ciri khas
atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.
e. Mendorong manusia mengenali bakat
minat yang dimiliki
Manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki. Semakin dini manusia
mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih
memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
B. Teori
Behaviorisme
Behaviorisme atau Teori Perilaku (juga disebut Perspektif
Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa
semua yang dilakukan organisme, termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan,
dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Behaviorisme beranggapan bahwa semua
teori harus memiliki dasar yang bisa diamati, tapi tidak ada perbedaan antara
proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang
diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Ciri dari teori
ini adalah menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh yaitu munculnya perilaku
yang diinginkan. Pada teori pendidikan ini, tingkah laku manusia dikendalikan
oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan.
Guru yang
menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi
terhadap lingkungan dan tingkah laku, adalah hasil belajar. Teori kaum
behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku
manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan yang dialami siswa
dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respons. Misalnya,
seorang siswa belum bisa membaca, maka betapapun gurunya berusaha sebaik
mungkin mengajar atau bahkan sudah hafal huruf A sampai Z di luar kepala, namun
bila siswa itu gagal mendemonstrasikan kemampuannya dalam membaca, maka siswa
itu belum bisa dikatakan belajar. Ia dikatakan telah belajar apabila ia menunjukkan
suatu perubahan dalam tingkah laku (dari tidak bisa menjadi bisa membaca).
Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yaitu berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi diantara
stimulus dan respons itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa
diamati. Yang bisa diamati adalah stimulus dan respons, misalnya stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa tersebut dalam rangka membantu
siswa untuk belajar. Stimulus ini berupa rangkaian alfabet, beberapa kalimat
atau bacaan, sedangkan respons adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang
diberikan gurunya. Menurut teori behaviorisme apa saja yang diberikan guru
(stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons) semua harus bisa diamati, diukur, dan tidak boleh hanya
implisit (tersirat). Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat adalah apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambah (positive reinforcement) maka respons
akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responspun akan tetap dikuatkan. Misalnya
bila seorang anak bertambah giat belajar apabila uang sakunya ditambah, maka
penambahan uang saku ini disebut sebagai positive
reinforcement. Sebaliknya jika uang saku anak itu dikurangi dan pengurangan
ini membuat ia makin giat belajar, maka pengurangan ini disebut negative reinforcement.
Prinsip-prinsip
teori behaviorisme yaitu:
1. Obyek psikologi adalah tingkah
laku
2. Semua bentuk tingkah laku
dikembalikan pada reflek
3. Mementingkan pembentukan
kebiasaan
Aristoteles
berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti
sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke (1632-1704),
salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna
mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya
jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk dari
pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan
tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience).
Asumsi bahwa
pengalaman adalah paling berpengaruh dalam pembentukan perilaku, menyiratkan
betapa elastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan
lingkungan yang relevan.
Thorndike dan
Watson, kaum behaviorisme berpendirian: organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat
sosial atau psikologis. Perilaku adalah hasil pengalaman dan perilaku digerakkan
atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan. Aliran behavioristik yang lebih bersifat elementaristik memandang
manusia sebagai organisme yang pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus yang
ada di lingkungannya. Pada dasarnya, manusia dapat dimanipulasi, tingkah
lakunya dapat dikontrol dengan jalan mengontrol stimulus-stimulus yang ada
dalam lingkungannya (Mukminan, 1997: 7).
C. Aliran Konvergensi
Konvergensi
berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik
pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar
(bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting.
Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu,
yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk
perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan.
Konvergensi
dipelopori oleh William Louis Stern yang hidup diantara tahun 1871-1939,
seorang ahli pendidikan bangsa Jerman. William berpendapat bahwa seorang anak
dilahirkan di dunia disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk dan
bakat tersebut mampu berkembang dengan adanya faktor lingkungan.
Aliran ini
berpendapat bahwa kepribadian seseorang dibentuk dan dikembangkan oleh faktor
dasar (bakat) dan faktor ajar (pendidikan). Bakat yang
dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya
dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak
yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang
mengarahkannya, maka kecerdasan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti
bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang
pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Dalam teori
ini, perkembangan individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu;
1.
Faktor Endogen
Faktor Endogen adalah faktor/ sifat yang dibawa individu sejak dalam
kandungan hingga saat dilahirkan. Faktor ini disebut juga faktor bawaan atau
keturunan, antara lain yaitu:
a. Faktor kejasmanian, seperti: warna kulit, jenis rambut, golongan darah,
dan lainnya.
b. Faktor pembawaan psikologis (temperamen), yaitu sifat-sifat pembawaan
yang erat kaitannya dengan kejasmanian seseorang yang berhubungan dengan fungsi
psikolog. Seperti darah, kelenjar-kelenjar, cairan-cairan yang berada dalam
diri manusia.
c. Faktor bakat, yaitu potensi-potensi yang memungkinkan individu
berkembang kesuatu arah.
2.
Faktor Eksogen
Faktor eksogen adalah faktor yang datang dari luar individu, seperti
pengalaman, alam sekitar, dan pendidikan. Lingkungan dalam peranan individu
terbagi menjadi lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik
seperti alam, keadaan tanah, dan musim. Sedangkan lingkungan sosial adalah
lingkungan tempat individu beraksi. Seperti lingkungan primer (lingkungan yang
anggotanya saling kenal), dan lingkungan sekunder (lingkungan yang hubungan
antara anggotanya bersifat longgar/ terbuka).
C. Fitrah
1. Pengertian fitrah
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa
dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan
ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta
sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue
print) yang perlu penyempurnaan.
1.
Fitrah
manusia
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia
dapat dijelaskan dengan meninjau:
a. Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat
disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1) Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti
adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya
dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2) Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya,
terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3) Adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam
pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
b. Tujuan Penciptaan
1) Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada
Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
2) Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (Q.S.
Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
3) Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling
kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang
lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan
perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang
damai.
c. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada
makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah
Allah”.
d. Citra manusia dalam Islam
1) Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan menolak sama sekali
anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap
manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus
bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
2) Perjuangan hidup manusia mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan
yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manusia
telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
3) Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai
seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir
berkehendak, dan berbuat.
2.
Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
a. Pemberian
stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan
responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung
jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang
memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
b. Kebijakan pendidikan
perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik,
implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa
pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming
sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
c. Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah, yaitu:
1)
Islam menegaskan bahwa manusia
mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan
potensi yang mengandung berbagai kemungkinan.
2)
Karena masih merupakan potensi maka
fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan,
didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun
demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku
sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas
tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan. Karenanya,
lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa
fitrah tidak berarti kosong atau bersih tetapi merupakan pola dasar yang
dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial.
|
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan
apa yang telah disebutkan di atas, bahwa teori-teori pendidikan itu antara lain
yaitu teori nativisme, teori behaviorisme, teori konvergensi dan fitrah.
Nativisme
adalah bakat yang diturunkan sejak lahir. Behaviorisme adalah tingkah laku baru
seseorang yang merupakan hasil dari adanya stimulus dan respon. Konvergensi
adalah bakat yang dimiliki oleh seseorang yang dipengaruhi juga oleh lingkungan.
Fitrah merupakan pola
dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial.
Post a Comment for "PERBANDINGAN TEORI-TEORI PENDIDIKAN"