Kebenaran Epistemologis
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Ukuran Kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Apa yang disebut benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi orang lain.
Kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu kebenaran epistemologis (kebenaran
yang berhubungan dengan pengetahuan manusia), kebenaran ontologis (kebenaran
sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau
diadakan), dan kebenaran semantis (kebenaran yang terdapat serta melekat dalam
tutur kata dan bahasa).
Dalam pembahasan ini, dibahas kebenaran epistemologis. Teori yang
menjelaskan kebenaran epistemologis yaitu:
1.
Teori Korespondensi
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesuatu itu sendiri. Contohnya: “Jakarta adalah ibu kota Republik
Indonesia”. Pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya Jakarta memang ibu
kota Republik Indonesia. Kebenarannya terletak pada hubungan antara pernyataan
dengan kenyataan.
Teori ini umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Pelopornya
antaranya yaitu Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski. Teori
ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). K. Roders, seorang penganut
realisme kritis Amerika, berpendapat bahwa keadaan benar ini terletak dalam
kesesuaian antara “esensi atau arti yang kita berikan” dengan “esensi yang
terdapat di dalam objeknya”.
Seorang ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada
sesuatu secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar
nyata terjadi, bukan hanya pandangan semu belaka. Penelitian sangat penting
dilakukan dalam teori korespondensi, karena untuk mengecek kebenaran suatu
teori perlu penelitian ulang. Contohnya: “Bodrek adalah obat sakit kepala”.
Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini tidak hanya memakan obat tersebut,
tetapi juga meneliti ulang kebenaran unsur-unsur yang terdapat dalam obat
“Bodrek”. Dengan demikian, suatu pernyataan tidak hanya diyakini sedemikian
rupa, tetapi diragukan untuk diteliti.
2.
Teori Koherensi Tentang Kebenaran
Menurut teori ini, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang
baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui
kebenarannya terlebih dahulu. Dengan kata lain, putusan yang satu dengan yang
lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Karenanya
lahirlah rumusan: Truth is a systematic coherence (kebenaran adalah saling
hubungan yang sistematis); Truth is consistency (kebenaran adalah konsistensi
dan kecocokan).
Suatu teori dianggap benar apabila tahan uji. Artinya suatu teori yang
sudah dicetuskan oleh seseorang kemudian teori tersebut diuji oleh orang lain,
tentunya dengan mengkomparasikan dengan data-data baru. Oleh karena itu apabila
teori itu bertentangan dengan data yang baru, secara otomatis teori pertama
gugur atau batal. Sebaliknya, kalau data itu cocok dengan teori lama, teori itu
semakin kuat (Karl Popper).
Selain itu, diantara bentuk pengetahuan yang penyusunannya dan
pembuktiannya didasarkan pada teori koherensi adalah ilmu Matematika dan turunannya.
Contohnya, 3 + 3 = 6 adalah benar, karena sesuai dengan kebenaran yang sudah
disepakati bersama, terutama oleh komunitas matematika. Jadi ukuran kebenaran
pada teori koherensi ini adalah konsistensi dan presisi.
3.
Teori Pragmatisme Tentang Kebenaran
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, yang artinya dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan,
tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika
Serikat.
Suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Bagi para
penganut pragmatis, kebenaran ialah kegunaan dapat dikerjakan, akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan. Menurut pendekatan ini, tidak ada apa yang disebut
kebenaran yang mutlak.
Yang dimaksud sesuatu yang memuaskan, antara lain dikemukakan oleh
penganutnya:
a. Sesuatu itu benar apabila
memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
b. Sesuatu itu benar apabila
dapat diuji benar dengan eksperimen.
c. Sesuatu itu benar apabila ia
mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
Contoh pandangan para
penganut teori pragmatis tentang Tuhan. Bagi pragmatisme, suatu agama itu bukan
benar karena Tuhan yang disembah oleh penganut agama itu sungguh-sungguh ada,
tetapi agama itu dianggap benar karena pengaruhnya yang positif atas kehidupan
manusia; berkat kepercayaan orang akan Tuhan, maka kehidupan masyarakat berlaku
secara tertib dan jiwanyasemakin tenang.
Kemudian dalam dunia sains,
suatu ilmu bermanfaat apa tidak bagi kehidupan sehari-hari. Ilmu botani, benar
bagi para petani karena mendatangkan manfaat, tetapi belum tentu bagi pedagang
karena yang ia perlukan adalah matematika. Ilmu perbintangan bermanfaat bagi
para nelayan karena dapat memberi petunjuk arah dan keadaan cuaca pada saat dia
sedang mengarungi lautan luas.
4.
Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama, dengan jalan mempertanyakan atau mencari
jawaban tentang berbagai masalah asasi dari atau kepada Kitab Suci.
Sesuatu
dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu
kebenaran mutlak. Oleh karena itu, ketika Imam Al-Ghazali merasa tidak puas
dengan penemuan-penemuan akalnya dalam
mencari suatu kebenaran, akhirnya ia sampai pada kebenaran yang kemudian dalam
tasawuf setelah dia mengalami proses yang amat panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan
tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum
sufi sebagai kebenaran mutlak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu
gugat lagi.
Post a Comment for "Kebenaran Epistemologis"