BIOGRAFI DAN KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN TOTO SUDARTO BACHTIAR
|
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sastrawan seperti penyair
merupakan orang penting bagi negara kita, Indonesia. Mereka adalah pejuang bagi
negara kita. Karena merekalah juga, Indonesia merdeka. Mereka tidak sedikit
perannya bagi perjuangan dan pertahanan kemerdekaan bangsa dan negara, walaupun
tidak berupa fisik atau senjata, melainkan berupa karya-karyanya. Salah satu
karya Toto Sudarto Bachtiar yang memiliki peran dalam perjuangan dan pertahanan
kemerdekaan yaitu berupa sajak yang berjudul Tentang Kemerdekaan. Selain itu ada sajak Sapardi Djoko Damono yang
berjudul Atas Kemerdekaan, dan masih
banyak penyair lain yang berperan penting bagi negara kita.
Oleh karenanya, alangkah
baik dan bijaknya jika kita mau mengapresiasi mereka para sastrawan yang juga merupakan
pahlawan bagi negara kita, yaitu dengan kita mengtahui tentang biografi dan
karya-karya dari para sastrawan Indonesia tersebut.
B.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mahasiswa calon guru diharapkan mampu mengetahui biografi
dari Sapardi Djoko Damono dan Toto Sudarto Bachtiar.
2.
Mahasiswa calon guru diharapkan mampu mengetahui karya-karya
dari Sapardi Djoko Damono dan Toto Sudarto Bachtiar.
|
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana biografi dari penyair yang bernama Sapardi Djoko
Damono dan Toto Sudarto Bachtiar?
2.
Apa saja karya yang dihasilkan dari Sapardi Djoko Damono dan
Toto Sudarto Bachtiar?
BAB III
PEMBAHASAN
Biografi Sastrawan dan Karyanya
1.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr.
Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 maret 1940 sebagai anak pertama dari pasangan
Sadyoko dan Sapariah.
Ia tinggal di Ngadijayan, Surakarta, Jawa Tengah. Sapardi
bersekolah di Sekolah
Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton Kasatriyan. Setelah itu ia
melanjutkan ke SMP Negeri 2 Surakarta. Pada saat itulah kegemarannya terhadap sastra mulai nampak.
Ia suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang waktu itu banyak terdapat di
kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo
Djauhar Arifin, William Saroyan, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, R.A.
Kosasih dan lain-lain. Ia lulus SMP tahun 1955. Kemudian ia
melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Surakarta. Sejak ia duduk di kelas dua SMA, ia mulai
menulis puisi. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah suat kabar
di Semarang. Sapardi lulus dari SMA pada tahun 1958.
Setelah lulus
SMA, Sapardi melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan
Kebudayaan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, selain
menjadi penyair ia juga melaksanakan cita-cita lamanya untuk menjadi dosen. Lulus dari UGM ia cepat-cepat
berumah tangga. Ia meraih gelar sarjana sastra tahun 1964. Sapardi pernah
mendapat beasiswa studi di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat
(1970-1971) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Ia pernah
mengajar di IKIP Malang cabang Madiun (1964-1968), Fakultas Sastra Budaya di
Universitas Diponegoro, Semarang (1968-1974) dan sejak tahun 1975, ia mengajar
di Fakultas Sastra UI. Ia juga pernah menjadi direktur majalah “Basis”
(1969-1975) dan sejak tahun 1973 menjadi redaktur majalah “Horison”, merangkap
sebagai direktur pelaksana “Yayasan Indonesia”.
Beberapa
karyanya antara lain DukaMu Abadi (kumpulan
sajak, 1969), Mata Pisau dan Aquarium (kumpulan sajak, 1974), Perahu Kertas (kumpulan sajak, 1984),
dan Sosiologi Sastra (teori sastra,
1979).
Sapardi juga
aktif menulis esai, kritik sastra, artikel, serta menerjemahkan berbagai karya
sastra asing.
Karya-karya
terjemahannya antara lain Lelaki Tua dan
Laut (novel Hemingway, 1973), Puisi
Brasilia Modern (kumpulan sajak, 1973), Daisy
Manis (novel Henry James, 1975), Sepilihan
Sajak George Seferis (kumpulan sajak, 1975), Puisi Klasik Cina (kumpulan sajak, 1076), dan Lirik Klasik Persi (kumpulan sajak, 1977). Dengan terjemahannya
itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah
Air.
Sapardi dikenal sebagai tokoh imajis dengan
puisi-puisi naratif yang pendek-pendek dan menggantung seperti belum selesai.
Kegiatannya di bidang
karang-mengarang telah memberinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award
(1978) dari Austrlia, Anugerah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write
Award (1986) dari Thailand, Anugerah Seni (1990) dari Pemerintah RI.
Kegiatannya sebagai guru menghasilkan gelar doktor dan guru besar. Disamping ia
mempunyai jabatan dalam struktural antara lain Dekan Fakultas Sastra UI
(1995-1999), ketua bidang humaniora di Majlis Penelitian Pendidikan Tinggi dan
menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Ditjen Pendidikan
Tinggi, Depdiknas. Ia tinggal di Perumahan Dosen UI di Ciputat.
Sajak Sapardi antara lain yaitu:
Akulah
Si Telaga
Akulah si telaga
Akulah si telaga
Berlayarlah di atasnya
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma
Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
Perahumu biar aku yang menjaganya
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma
Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
Perahumu biar aku yang menjaganya
(Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982)
Aku
Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
2.
Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto
Bachtiar lahir di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, pada tanggal 12 Oktober 1929,
dan
meninggal di Cisaga, Banjar, Jawa Barat pada 9 Oktober 2007 dikarenakan serangan
jantung yang dideritanya. Karya-karyanya diterima oleh masyarakat Indonesia
dengan bangga.
Pendidikan yang
ia tempuh yaitu di Cultuur School
Tasikmalaya (1946), MULO Bandung (1948), SMA di Bandung (1950), Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Penyair ini telah mulai
menulis sajak-sajak sebelum terbitnya majalah Kisah, yakni sekitar tahun 1950. Namun sebagian besar
sajak-sajaknya ditulis setelah tahun 1953. Sajak-sajaknya
itu kemudian dikumpulkan dalam buku yakni Suara (1956), Etsa (1958) dan Desah. Kumpulan
sajaknya yang berjudul Suara (1956)
memperoleh hadiah Sastra BMKN tahun 1957. Ia merupakan catatan sejarah
sastra tahun 1950-an dengan warna romantik, yang pada zamannya penuh
perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan
melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan
Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta,
Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.
Selain menulis sajak, Toto juga menulis esai dan
menerjemahkan sastra dunia diantaranya adalah Pelacur (drama Jean Paul Sartre, 1954), Sulaiman yang Agung (Harold Lamb, 1958),
Bunglon (kumpulan cerpen, Anton
Chekov, 1965), Bayangan Memudar
(novel Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, 1975), Pertempuran Penghabisan (novel Ernest
Hemingway, 1976), dan Sanyasi
(Rabindranath Tagore, 1979).
Pengalaman
kerjanya antara lain yaitu Penyair, Redaktur majalah Angkasa, Redaktur Menara
Jakarta, Pendiri majalah Sunda di Bandung, dan Ketua Dewan Pertimbangan
Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Subagio
Sastrowardoyo menyebut Toto dengan “Hati Sabar Toto Sudarto Bachtiar”.
Nada-nada duka mewarnai hampir seluruh puisinya, yakni duka, murung, dan lembut namun
menunjukkan pula adanya ketabahan dan kepercayaan pada kemanusiaan. Toto punya
perhatian besar terhadap kehidupan orang-orang melarat seperti pengemis, tukang
becak, kehidupan lorong-lorong Jakarta, gelandangan pinggir kali, dan pahlawan-pahlawan
mati muda. Ia menyanyikan nasib mereka yang malang dan menarik perhatian
pembaca karena keharuan nasibnya.
Pada
sajak-sajak Toto bukan hanya baris-baris yang berdiri sendiri, tanpa ada
hubungan langsung dengan baris yang ada dalam bait yang sama, tapi juga
terlihat terjadi hubungan antara satu bait dengan bait lainnya. Toto juga
menunjukkan ciri khas lain berupa penggunaan tanda baca pada tengah baris
puisinya,yaitu berupa tanda titik.
Sajak
Toto Sudarto Bachtiar antara lain yaitu:
Gadis Peminta-minta
Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa.
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa.
Ingin
aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang.
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang.
Duniamu
yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku.
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku.
Kalau
kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.
Pahlawan Tak
Dikenal
Sepuluh
tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang.
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang.
Dia
tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang.
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang.
wajah
sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda.
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda.
Hari
itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya.
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya.
Sepuluh
tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Sapardi Djoko Damono dan Toto Sudarto Bachtiar adalah
sama-sama seorang penyair. Perbedaan dari sajak mereka yaitu: sajak Sapardi
Djoko Damono bersifat imajinatif dan sajak Toto Sudarto Bachtiar bersifat
realitas.
Post a Comment for "BIOGRAFI DAN KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN TOTO SUDARTO BACHTIAR"